Globalisasi di Garis Batas (Bagian 37)
Produsen tak tahu apa yang mereka produksi. Perantara tak tahu manfaat barang yang mereka beli dan jual. Konsumen tak tahu asal barang yang dikonsumsi. Itulah keajaiban globalisasi yang ditemui Agustinus di Marukara.
Bersama para pedagang gelap dari Indonesia, kami bersiap berlabuh di pulau kecil Marukara di seberang pesisir selatan Papua Niugini untuk bermalam. Ternyata pulau itu tidak kosong. Para lelaki yang ada di pulau itu berteriak marah kepada kami, dalam bahasa daerah yang tidak dimengerti seorang pun dalam perahu kami.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 34 : Merauke di Mata Mereka Bagian 35: Kasuari dalam Kurungan Bagian 36: Pedagang Gelap Indonesia
- Bagian 34 : Merauke di Mata Mereka
- Bagian 35: Kasuari dalam Kurungan
- Bagian 36: Pedagang Gelap Indonesia
Kemungkinan mereka adalah suku pemilik sah pulau ini. Jika benar, maka itu berbahaya. Di negeri yang masih kental adat kesukuannya ini, menginjakkan kaki di tanah adat milik suku lain tanpa izin adalah sebuah pelanggaran serius yang bisa menimbulkan konflik. Kemungkinan yang lebih mengerikan, mereka bisa jadi adalah perompak yang tersohor keganasannya di Laut Arafura.
Sisi berteriak dalam bahasa Inggris ke arah mereka. ”Kami bukan musuh. Kami dari Tais. Apakah kalian dari Mabadauan? Di masa lampau, leluhur kita pernah bersama menangkap ikan di daerah ini.”
Dari arah pulau itu terdengar teriakan balik, juga dalam bahasa Inggris. ”Ya! Kami dari Mabadauan. Selamat datang!”
Dalam sekejap, dari pulau itu bermunculan para lelaki yang penuh senyum persahabatan, membantu menggiring perahu kami melintasi karang hingga benar-benar berlabuh di pantai Marukara. Mereka bahkan menyiapkan api unggun dan mendirikan tenda, khusus untuk kami.
Kami memang tamu tak diundang, tetapi mereka justru menyambut kami bak kerabat dekat. Ini keberuntungan luar biasa. Andaikan leluhur Sisi tak pernah menangkap ikan bersama leluhur mereka, entah nasib mengerikan apa yang akan kami alami malam ini.
Mereka adalah para pemuda Mabadauan yang datang ke pulau ini beberapa minggu sekali untuk menangkap lobster. Marukara diberkahi lobster karena dasar lautnya berbatu-batu, merupakan habitat favorit lobster. Mereka menunjukkan lobster tangkapan mereka, ratusan jumlahnya, masing-masing sepanjang lengan. Hasil tangkapan ini akan mereka jual ke Pulau Saibai di Australia.
Faisal, pemimpin rombongan pedagang gelap asal Indonesia yang datang bersama kami, tidak henti-hentinya berdecak kagum. ”Gila! Ini king lobster grade A super!” ujarnya. ”Harganya Rp 150.000 per ons. Kalau disajikan di restoran di Jakarta, harganya bisa Rp 1 juta seekor.”
”Saya tak pernah lihat lobster dengan kualitas sebagus ini seumur hidup,” sambung Abdul teman seperjalanannya. ”Di Indonesia, kita orang biasa mana sanggup makan lobster sebagus ini. Tapi lihat, di sini mereka punya banyak sekali!”
Faisal terus berdecak memuji alam PNG. ”Sungguh negeri yang kaya. Tanah ini benar-benar perawan dengan potensi luar biasa,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Para pemuda Mabadauan itu memanggang ikan dan lobster untuk kami. Sebagai bentuk terima kasih, para pedagang Indonesia juga membanjiri mereka dengan berbagai hadiah dari Merauke: pinang, biskuit tentara, mi instan, beras.
Suasana menegangkan di pantai tadi sudah terlupakan, berganti menjadi pesta persahabatan antarbangsa, di tepi pantai berpasir putih, di tengah malam yang penuh keceriaan.
Faisal bersyukur kami tadi tidak jadi bermalam di desa, yang sangat berbahaya bagi mereka, pelintas batas ilegal. Sebaliknya, Pulau Marukara ini bukan hanya aman dan menyenangkan, melainkan juga memberinya peluang bisnis. Para nelayan Mabadauan itu menawari Faisal untuk membeli gelembung ikan kakap putih seharga 100 kina (Rp 500.000) sebuah.
Gelembung ikan, disebut juga gelembung renang, adalah gelembung udara yang membungkus organ dalam ikan. Gelembung ini harus diambil ketika ikan masih segar dan untuk mengambilnya diperlukan teknik operasi yang khusus. Gelembung kemudian dijemur hingga menjadi selaput bening yang elastis dan kuat.
Ini adalah barang spesifik yang diincar para pedagang Indonesia. Selain pedagang Indonesia, tidak ada pembeli lain yang tertarik pada barang ini. Para pedagang Indonesia pula yang secara khusus mengajari penduduk desa pesisir tentang proses rumit untuk mendapatkan gelembung renang dari ikan tangkapan mereka.
Sebenarnya warga PNG juga bingung kenapa pedagang Indonesia sangat antusias mencari gelembung ikan. Namun, mereka tidak pernah bertanya, yang penting dibeli mahal, hingga sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada harga ikannya sendiri.
Para pedagang dari Merauke itu akan mengekspornya, utamanya ke Singapura dan China, di mana konsumen sesungguhnya berada. Di sana, gelembung ikan bisa diolah menjadi bahan perekat yang kuat dan tahan air, terutama dipakai dalam pembedahan medis. Gelembung ikan juga merupakan makanan kuliner mewah bagi orang China, dipercaya berkhasiat bagi kesehatan. Gelembung ikan bisa dijual ke Singapura seharga 800 dollar AS per kilogram.
Itulah ajaibnya globalisasi. Produsen tidak tahu apa yang mereka produksi. Perantara juga tidak tahu apa gunanya barang yang mereka beli dan jual. Konsumen akhir, ribuan kilometer jauhnya, tak pernah tahu dari mana asal benda-benda yang mereka konsumsi.
Kami tidur bersama di hamparan pasir putih pantai Marukara. Angin malam sejuk menyapu wajah. Serangga menyanyikan kidung alam nan membuai. Dalam pelukan senyap subuh, sayup-sayup terdengar pemuda Mabadauan menyanyikan lagu peninggalan leluhur:
Perahu kami menyeberangi selat
Kami datang bersama angin
Lihatlah layar perahu kami
Kami berlayar menuju Mabadauan
Suara mereka bagai alunan mantra yang mengiring datangnya fajar.
Baca juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.