Merauke di Mata Mereka (Bagian 34)
Mereka tak punya mimpi. Demikian kata Nyonya Singai tentang murid-muridnya di Tais, Papua Niugini, kepada Agustinus Wibowo saat menyusuri daerah itu dalam "Indonesia dari Seberang Batas.”
Aturannya, sekolah dimulai pukul 8 dan berakhir pukul 12. Tetapi tak seorang pun—termasuk Nyonya Singai, satu-satunya guru di desa terpencil di pesisir selatan Western Province, Papua Niugini ini—punya jam.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 31: Shaman dan Sihir Bagian 32: Iman Baru, Tradisi Baru Bagian 33: Kulit Hitam dan Kulit Putih
- Bagian 31: Shaman dan Sihir
- Bagian 32: Iman Baru, Tradisi Baru
- Bagian 33: Kulit Hitam dan Kulit Putih
Tapi, Nyonya Singai tahu waktu yang pas memulai kelas: setelah memasak ketela di rumahnya dan matahari sudah cukup tinggi. Dia lalu berkeliling desa dan berteriak memanggil para muridnya. Bocah-bocah itu kemudian bagaikan barisan bebek mengikutinya menuju bangunan sekolah di ujung desa. Tanpa jam, Nyonya Singai pun tahu kapan harus mengakhiri kelas. Yaitu jika sebagian besar muridnya sudah berisik merengek kelaparan, atau perutnya sendiri sudah keroncongan.
Nyonya Singai sempat berpikir alangkah baiknya andaikan dia bisa membelah diri. Lima puluh murid di desa ini semua adalah tanggung jawabnya. Bangunan sekolah, yang terbuat dari bilah kayu dan ditemboki kulit pohon itu dibagi menjadi dua ruangan. Satu ruangan untuk TK, dan yang satunya lagi untuk kelas I dan II.
Ketika Nyonya Singai mengajar para murid kecil yang duduk di tanah pasir atau di atas tikar anyaman daun kelapa untuk mengeja A-B-C-D, para murid besar di ruangan sebelah berteriak sambil jumpalitan dan berlarian keluar kelas. Ketika Nyonya Singai pergi ke ruangan sebelah yang hanya memiliki enam meja dan bangku kayu yang doyong untuk menenangkan para murid besar, giliran para murid kecil menjerit dan menangis karena lipan merayapi tanah di ruangan kelas mereka.
Hari ini, Nyonya Singai mengundang saya ke kelas, dan memperkenalkan saya sebagai markai—orang putih—yang berasal dari negara tetangga Indonesia. Kebanyakan murid itu ketakutan melihat saya.
Saya mulai dengan bertanya, “Apakah mimpi kalian?”
Nyonya Singai, yang berdaster dan bersandal jepit, menerjemahkan pertanyaan saya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa lokal Na. Tak satu bocah pun menjawab.
“Apa yang ingin kalian lakukan kalau besar nanti?” ulang saya.
Tetap tak ada jawaban dari para murid yang semuanya bertelanjang kaki itu. Pertanyaan saya bagaikan batu yang dilempar ke dasar danau.
“Mereka tak punya mimpi,” kata Nyonya Singai kecewa. “Dalam sistem pendidikan kami, para murid ini sudah digagalkan oleh orangtua mereka sendiri.”
Akhirnya Nyonya Singai mewakili para muridnya menjawab pertanyaan saya, “Kami ingin pergi ke Indonesia. Kami ingin belajar bahasa Melayu.”
Dia lalu bercerita panjang kepada para muridnya bahwa Indonesia itu negara hebat yang bisa membuat benda apa pun: baju, truk, makanan, pesawat terbang, sedangkan mereka di sini tidak bisa membuat apa-apa karena mereka tidak belajar dan tidak bekerja keras.
Barulah setelah itu, satu-satu murid kelas atas (kelas II SD tetapi usianya setara dengan murid SMP di negara kita) mengacungkan tangan dan mengatakan mimpi mereka: ingin jadi pilot, atau sopir, atau dokter, atau jurnalis yang bisa berkelana melihat dunia.
Nyonya Singai sendiri tidak pernah menyaksikan Merauke. Dia hanya mendengar tentang Merauke dari suaminya, yang sudah beberapa kali ke sana.
Hari itu saya duduk di balai-balai rumah keluarga Singai Suku, suami Nyonya Singai yang adalah kepala desa Tais. Kami berbincang tentang Merauke, tanah impian mereka.
“Kalau kau pergi ke Merauke, maka kau akan lihat sebuah tempat yang bagus, sangat bagus. Bukan cuma soal mobil dan gedung-gedung tinggi, di sana semua orang sibuk bekerja, menghasilkan sesuatu. Di sana, para perempuan dari Jawa pergi ke sawah dari pagi sampai tengah hari, lalu mereka makan siang, dan kembali bekerja di sawah sampai senja. Kau tidak akan melihat orang serajin itu di sini,” kata Singai.
Singai adalah lelaki bertubuh paling tambun di desa ini. Dia memakai sandal jepit hanya di kaki sebelah kiri, karena sandal kanannya sudah hilang bertahun-tahun. Walaupun hanya sebelah dan sudah menghitam, sandal itu sudah menunjukkan status sosialnya yang lebih tinggi daripada orang-orang sekampung yang kebanyakan bertelanjang kaki.
“Saya telah melihat dan memahami Merauke,” tutur Singai, bangga. Dia lalu menggambar sebuah lingkaran di buku catatan saya. “Ini kota Merauke, pusatnya, tempat beradanya gedung-gedung tinggi.” Lalu dia menggambar lingkaran lain mengelilingi lingkaran pertama. “Ini daerah setengah kota.” Lalu lingkaran besar yang mengelilingi lingkaran sebelumnya. “Dan ini desanya. Lihat, betapa cerdas mereka menata kota!”
“Lain kali kau harus bawa aku ke sana,” kata Nyonya Singai terpesona.
“Pasti. Aku akan perlihatkan padamu betapa cerdasnya orang Merauke,” jawab Singai.
Bagi saya, orang Indonesia yang belum pernah ke Merauke, mendengar cerita mereka tentang kabupaten perbatasan Indonesia itu rasanya seperti mendengar tentang kemegahan metropolis New York.
Tahun lalu Singai berkesempatan pergi ke Merauke, dan pulang membawa dendeng daging rusa.
Baca juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.