Cerita Sakral (Bagian 29)
Dalam antropologi, cerita yang menjelaskan asal mula semesta beserta kehidupannya disebut ”mitos asal”. Agustinus Wibowo juga menemukan cerita itu di Papua Niugini, saat menyusuri ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Dari mana kita berasal? Mengapa kita berbeda-beda? Orang Tais di pedalaman Western Province, Papua Niugini, menjawab pertanyaan universal umat manusia itu dengan sebuah cerita.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 26: Semua Pintu Terbuka Bagian 27: Rumah di Sini dan di Sana Bagian 28: Aku Juga Mau ke Merauke
- Bagian 26: Semua Pintu Terbuka
- Bagian 27: Rumah di Sini dan di Sana
- Bagian 28: Aku Juga Mau ke Merauke
Alkisah, ada sebuah pohon ara raksasa. Semua manusia pertama di seluruh dunia hidup bergelantungan di ranting dan dahan pohon itu. Mereka tidak mengenal api, sehingga menyantap daging mentah.
Hanya satu di antara mereka, yaitu seorang perempuan yang tinggal di kaki pohon, yang mengetahui cara membuat api. Tapi dia merahasiakannya.
Suatu hari, ada seorang lelaki yang tinggal di salah satu ranting pohon menemukan api rahasia, saat perempuan itu sedang memasak daging. Perempuan tersebut jadi murka sehingga dia membakar seluruh pohon itu dengan apinya. Api itu merambat cepat dari kaki pohon hingga ke puncaknya.
Orang-orang panik, berloncatan ke segala arah dan beterbangan untuk menyelamatkan diri. Mereka yang tinggal di bagian atas pohon itu meloncat ke tempat yang jauh sekali, sedangkan yang tinggal di bawah ke tempat yang lebih dekat.
Itulah bagaimana leluhur umat manusia menyebar memenuhi seluruh bumi. Keturunan mereka menjelma menjadi beragam bangsa yang bicara berbagai bahasa.
Cerita ini sakral, semula diturunkan dari generasi ke generasi orang Tais melalui ritual upacara istimewa. Cerita ini dituturkan kepada saya oleh Nabaiwa Yewane, lelaki tertua di desa, dan diterjemahkan oleh Singai Suku, kepala desa Tais.
Dalam perjalanan menyusuri pedalaman PNG, saya menemukan bahwa hampir setiap desa di daerah ini punya cerita penciptaan mereka. Ada yang percaya bahwa leluhur manusia berasal dari dalam batang pohon. Ada yang bilang manusia berasal dari dalam tanah. Suku lain bilang manusia itu turun dari langit, dan yang lain lagi mengatakan manusia berasal dari seekor buaya.
Sebenarnya bukan hanya orang Papua yang punya cerita penciptaan. Orang Yahudi mengatakan manusia diciptakan Yahweh dari tanah liat, mirip cerita China bahwa manusia berasal dari boneka lempung yang diberi napas oleh Dewi Nüwa. Orang Jepang percaya pencipta alam semesta adalah dewa Izanagi dan dewi Izanami, sedangkan orang India percaya jagat raya berasal dari sebutir telur emas.
Dalam ilmu antropologi, semua cerita yang menjelaskan asal mula semesta beserta kehidupannya itu disebut ”mitos asal” (origin myth) atau ”mitos penciptaan”.
Akar dari cerita ini adalah keingintahuan abadi manusia tentang asal mula semesta dan kehadiran manusia di muka bumi ini. Sebelum adanya sains modern, semua misteri fenomena alam itu hanya bisa dijawab dengan cerita.
Kita di zaman sekarang terbantu oleh sains—terutama di bidang arkeologi, antropologi, dan genetika—untuk menyingkap asal mula leluhur. Tapi, itu bukan berarti segala mitos penciptaan adalah dongeng omong kosong belaka. Dalam setiap cerita itu, kita tetap bisa menemukan serpihan kebenaran.
Cerita sakral dari Tais juga mengandung sejumlah kebenaran ”ilmiah”. Sains telah membuktikan bahwa leluhur umat manusia memang berasal dari satu sumber yang sama, yang kemudian berpindah dan menyebar hingga memenuhi seluruh bumi. Migrasi dan penyebaran itulah yang menyebabkan manusia menjadi sangat beragam, dalam hal fisik, budaya, maupun bahasa.
Selain itu, manusia juga mengalami evolusi panjang sebelum akhirnya menjadi Homo sapiens, manusia modern. Leluhur primata kita memang hidup bergelantungan di pohon, dan makan makanan mentah. Penggunaan api merupakan babak penting dalam perjalanan evolusi manusia.
Cerita Tais tentang perempuan yang menyimpan rahasia api itu mungkin merupakan refleksi dari memori masa silam manusia yang sudah jauh terpendam.
Cerita itu belum selesai.
Alkisah, setelah sekian lama berselang, datanglah dua pemburu kakak-beradik ke tempat pohon raksasa itu pernah berdiri dan terbakar. Si kakak berkulit hitam, dan si adik berkulit putih.
Di sana masih tersisa satu batang pendek sisa dari pohon itu. Sang kakak yang berdiri di utara menemukan batang itu berdenyut seperti jantung. Dia lalu memanah batang pohon itu. Seketika, air bah menyembur dari batang itu. Sang kakak kulit hitam terus berlari ke utara, membawa busur dan panahnya.
Adapun si adik kulit putih, sempat mengambil sesuatu (yang ternyata pensil dan bedil) dari pohon keramat itu, berlari ke selatan.
Laut Arafura dalam cerita ini digambarkan tercipta dari air bah, yang menyebabkan Pulau Papua terpisah dari Australia.
Itulah kenapa orang Papua berkulit hitam masih hidup di tengah hutan dengan busur dan panah, sedangkan orang kulit putih di Australia hidup makmur dan modern. Selain itu, tidaklah salah jika orang di pedalaman Papua itu mengatakan: orang kulit hitam adalah ”kakak”, dan orang kulit putih adalah ”adik”.
Baca juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.