Semua Pintu Terbuka (Bagian 26)
Tanpa perbedaan kepemilikan harta, maka tak ada alasan untuk cemburu, dan tak ada dorongan untuk mencuri. Suasana ini didapat Agustinus Wibowo di Tais dalam serial perjalanan ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Kami melanjutkan perjalanan ke Tais, kampung halaman Sisi. Jaraknya cuma sepuluh kilometer, tapi perjalanan tidaklah semudah yang dibayangkan.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 23: Rindu Terpisah Garis Batas Bagian 24: Bermalam di Alam Liar Bagian 25: Sejarah Berdarah
- Bagian 23: Rindu Terpisah Garis Batas
- Bagian 24: Bermalam di Alam Liar
- Bagian 25: Sejarah Berdarah
Tais terletak di pedalaman daratan. Perahu kami harus berbelok dari Laut Arafura menuju mulut sungai kecil Kotanya. Arafura, laut yang sangat dangkal. Air surut antara pukul sepuluh pagi hingga empat sore, dan sialnya kami datang terlambat. Sekarang laut hanya sedalam mata kaki, mustahil dilewati perahu motor kami. Sedangkan mulut sungai masih dua kilometer lagi.
Semua penumpang turun. Para lelaki menaruh tambang di haluan perahu. Sebagian mereka menarik kuat-kuat, sisanya mendorong. Tapi, setiap tarikan dan dorongan mereka hanya mampu menggerakkan perahu tak lebih dari lima sentimeter.
Tiga jam terdampar, kami akhirnya mencapai muara. Perahu kami perlahan menyusuri Sungai Kotanya. Sejak memasuki sungai, tak seorang pun berani sekadar menaruh tangan di pinggiran perahu. Sungai ini penuh buaya.
Hampir satu jam kemudian, sampailah kami di hadapan tebing berlumpur yang cukup landai. Inilah dermaga menuju Tais. Begitu turun dari perahu, saya terbenam dalam lumpur sedalam pinggang.
Desa Tais sungguh terpencil. Saya yakin, satu sebab utama mereka tak mau tinggal di dekat sungai adalah nyamuk. Luar biasa banyaknya, berdengung bising di samping telinga. Dalam beberapa tepukan saja, saya sudah menewaskan lebih dari dua puluh nyamuk malaria.
Kami berjalan bersama melintasi hutan, melintasi rawa-rawa dengan meniti jembatan dari batang pohon. Satu jam berjalan, pemandangan mendadak terbuka. Padang luas menghampar, hijau segar sejauh mata memandang. Tais bagai taman surga yang tersembunyi di balik pekatnya rimba belantara.
Memasuki Tais adalah kejutan besar bagi saya. Sebuah jalan utama membentang rata selebar empat meter, dari titik awal desa hingga ujungnya. Tepian jalan dibatasi tanaman perdu warna-warni yang seragam tingginya. Di samping kiri dan kanan jalan adalah barisan rumah panggung para penduduk, semuanya terbuat dari kayu dan daun kering, dengan bentuk dan ukuran yang sama persis. Setiap rumah juga memiliki petak halaman yang hampir sama luasnya.
Yang lebih mengejutkan, semua rumah tidak memiliki daun pintu. Dengan begitu, semua orang bebas keluar masuk rumah orang lain. Juga bebas melihat siapa saja atau barang apa saja yang ada di dalam rumah mana pun.
Ini mungkin fenomena yang paling mendekati imajinasi saya akan sebuah dunia tanpa tembok, surga yang tanpa garis batas. Itu adalah kemewahan yang mustahil diterapkan dalam kehidupan modern kita.
Penduduk Tais hanya puluhan keluarga, saling kenal, dan berkerabat dekat. Keseragaman bentuk dan ukuran rumah mereka menunjukkan tidak ada orang yang lebih kaya atau lebih miskin daripada yang lain. Tanpa perbedaan kepemilikan harta, maka tidak ada alasan untuk cemburu, dan tidak ada dorongan untuk mencuri. Perasaan aman yang luar biasa itulah yang membuat mereka bisa membiarkan semua pintu senantiasa terbuka.
Saat terdampar di muara Sungai Kotanya tadi, Sisi menemukan seekor kepiting besar dan seekor ikan kakap yang tersangkut di jaring nelayan. Ia mengambil batu, menghancurkan kedua capit kepiting, lalu melemparkan kepiting dan ikan kakap itu ke dalam perahu.
Saya terkejut melihat itu, dan bertanya mengapa dia mengambil barang punya orang. Sisi dengan santai menjawab, ”Di sini semua orang berbagi.”
Di Desa Tais, saya baru menyadari betapa hidup mereka kental bernapaskan prinsip kesukuan. Segala yang dimiliki anggota suku itu adalah milik bersama, dan dinikmati bersama. Itu termasuk hasil buruan, tangkapan ikan, atau segala hasil ladang mereka.
Kedamaian itu membuat desa ini memang terlihat begitu lambat dan malas. Orang-orang hanya duduk tanpa berbuat apa-apa. Bahkan anjing pun terlalu malas untuk menggonggong. Semua tampaknya sedang menikmati keindahan hidup.
Kemeriahan seketika tercipta ketika Sisi pulang ke desanya ini. Dia langsung dilayani, bak nyonya besar yang baru kembali dari negeri jauh. Ayahnya buru-buru mempersiapkan kursi, dan ibunya langsung membakar ikan dan pisang untuknya.
Datang bersama Sisi, saya pun seperti menjadi tamu agung. Ayah Sisi, yang saya panggil Daddy, langsung memetik setandan pisang yang telah menguning untuk saya. Ibunya, yang saya panggil Mommy, juga ramah.
Daddy kebetulan baru membangun rumah panggung yang baru, dan masih kosong. Ini adalah rumah bagi saya selama tinggal di desa ini. Sisi menyiapkan matras, bantal, dan guling bayi, khusus untuk saya. Dia juga membawa setimba air, mempersilakan saya mandi di dalam rumah itu.
Sisi juga meminta saya menyerahkan baju-baju saya yang kotor, untuk dia cuci. Saya merasa ini sudah terlalu berlebihan. Saya menolak, tapi Sisi memaksa. Saya bertanya, ”Mengapa semua ini?”
Sisi menjawab enteng, ”Di sini semua orang berbagi!”
Baca juga: Cermin Identitas di Antara Garis Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.