Pulau terbesar kedua di dunia ini mempunyai banyak nama. Indonesia menyebutnya “Pulau Papua”, di dunia internasional disebut New Guinea (Niugini). Ikuti perjalanan Agustinus Wibowo dalam "Indonesia dari Seberang Batas".
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Dari angkasa, barisan perbukitan hijau mendominasi Port Moresby, seperti gulung-gemulung ombak yang berlomba mencapai pantai. Di selanya, permukiman penduduk bertebaran bagai hamparan noktah yang tiada akhir. Di selatan, samudra biru kristal mengelilingi tanjung kecil dan pelabuhan. Begitu tenang, begitu damai, Samudra Pasifik di sini memang tak mengingkari makna namanya: Lautan Teduh.
Berangkat dari Cairns, Australia, pesawat kecil Qantas Airways yang saya tumpangi hanya setengah penuh. Setelah pesawat menyentuh Bandara Internasional Jackson, para penumpang berjalan kaki melintasi tarmak menuju gedung yang berhias ukiran cenderawasih raksasa.
Sama seperti Papua di sisi Indonesia, Papua Niugini (PNG) juga membanggakan cenderawasih. Di mana-mana saya melihat cenderawasih: di dinding bandara, di badan pesawat Air Niugini, juga di bendera nasional mereka.
Balairung imigrasi bandara adalah ruangan kecil dengan hanya empat konter, yang untuk sebagian besar waktunya kosong tanpa petugas. Para petugas baru bermunculan dengan langkah santai setelah dua puluhan penumpang dari pesawat kami sudah gelisah mengantre di depan konter. Setelah negosiasi cukup panjang, saya berhasil mendapatkan visa untuk 60 hari, gratis. Pada stiker visa yang tertempel di paspor, juga tergambar burung cenderawasih.
Saya mengambil ransel dari pita bagasi yang lengang tepat di belakang konter imigrasi, dan melangkah melewati tulisan besar di dinding: “SELAMAT DATANG DI PAPUA NIUGINI”.
“Kalau kau bisa percaya, saya akhirnya tiba di Niugini,” tulis pemuda Michael Rockefeller, putra mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Nelson Rockefeller, dalam suratnya pada tahun 1961. Saat itu dia baru tiba di Biak, hendak mengawali ekspedisi ke pedalaman Asmat yang eksotik. Dia kemudian menghilang, kemungkinan besar dibunuh penduduk setempat.
Wilayah yang disebutnya Niugini itu sekarang adalah bagian Papua Indonesia.
Jadi, mana yang benar, Papua ataukah Niugini?
Pulau terbesar kedua di dunia ini memang punya banyak nama, dan terkadang membingungkan. Kita di Indonesia menyebutnya “Pulau Papua”, tetapi nama yang lebih lazim di dunia internasional adalah New Guinea (Niugini).
Nama “Papua”, menurut penjelasan yang paling umum, berasal dari bahasa Melayu Kuno yang berarti rambut keriting, merujuk pada bentuk rambut penduduknya. Sedangkan Niugini atau “Guinea Baru” adalah dari penjelajah Spanyol, Yñigo Ortiz de Retez, yang singgah di pulau ini tahun 1545, dan terkejut menemukan penduduk asli berkulit sangat hitam seperti warga Guinea di Afrika Barat. Kedua nama itu melebur dalam nama Papua Niugini.
Kedua nama itu melebur dalam nama Papua Niugini.
Belahan timur pulau itu semula terdiri atas dua daerah jajahan terpisah. Di selatan adalah “Papua” yang merupakan koloni Inggris, sedangkan di utara adalah “Niugini” yang di bawah kendali Jerman. Tahun 1920 Australia memegang kontrol atas Niugini Jerman, dan tahun 1949 seluruh wilayah di sebelah timur belahan pulau itu disatukan dengan nama “Teritori Papua dan Niugini”. Kata “dan” dihapus pada 1971, menjadi “Papua Niugini”. Tahun 1975 wilayah itu merdeka sebagai satu negara.
Sementara belahan barat pulau, “Papua”-nya Indonesia, semula pada masa pendudukan Belanda dikenal sebagai Nederlands-Nieuw-Guinea (“Niugini Belanda”).
Presiden Soekarno yang memimpin perjuangan merebut Papua dari Belanda, selalu menyebutnya “Irian Barat”. Nama “Irian” pertama kali dicetuskan Frans Kaisiepo (yang wajahnya menghiasi uang Rp 10.000) pada 1946, dari bahasa Biak yang berarti “sinar yang menghalau kabut”. Nama itu juga bisa diartikan singkatan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.
Dengan gelora semangat nasionalisme saat itu, penyebutan “Papua” dan “Niugini” sangat dihindari karena dianggap nama warisan penjajah. Belahan timur pulau, yang sekarang negara PNG, pada masa itu di Indonesia disebut sebagai “Irian Timur”—istilah ini sama sekali tidak dikenal di PNG sendiri.
Pada masa Soeharto, “Irian Barat” berganti menjadi “Irian Jaya”, sedangkan “Papua” menjadi nama tabu karena identik dengan gerakan Papua merdeka. Barulah pada 1 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan kembali penggunaan “Papua” menggantikan “Irian Jaya”.
Kini, ketika orang Indonesia menyebut “Papua”, maknanya bisa bermacam-macam. Itu bisa berarti Provinsi Papua. Atau kedua provinsi Papua dan Papua Barat. Bisa pula keseluruhan pulau yang termasuk PNG.
Sementara di PNG, yang dimaksud dengan “Papua” adalah separuh bagian selatan negara mereka. Sedangkan belahan barat pulau yang berada di bawah Indonesia mereka sebut West Papua, “Papua Barat”.
Karena itu, ketika kita mendengar nama Papua, kita harus memastikan betul, siapa yang menyebutnya, dan Papua manakah yang dimaksud.