Melihat peta Indonesia, sejak kecil Agustinus Wibowo sering bertanya: Mengapa negara kita harus berakhir dengan sebuah garis? Jadilah bagian dari perjalanannya dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Oleh
Agustinus Wibowo
·4 menit baca
Pengantar Redaksi
”Keberagaman Indonesia yang tecermin lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika hendaknya diatur dalam suatu kebersamaan karena itu merupakan realitas Indonesia. Mengenal diri adalah hal yang mutlak perlu.” Demikian disampaikan salah satu pendiri ”Kompas”, Jakob Oetama, pada 2005.
Sebagai salah satu upaya untuk terus mengenal diri, setiap Senin sampai Jumat, Kompas.id memuat serial perjalanan Agustinus Wibowo. Inilah edisi perdana seri tulisan tersebut.
Melihat peta Indonesia, sejak kecil saya sering bertanya: Mengapa negara kita harus berakhir dengan sebuah garis?
Garis itu membentang di tepian kanan peta negara, pada 141 derajat Bujur Timur, lurus lempeng dari utara ke selatan seperti digambar dengan penggaris. Siapa yang menggambarnya? Sejak kapan dia ada?
Pada ruang sempit tersisa antara garis itu dan bingkai peta, terkadang tertera tulisan ”PAPUA NIUGINI”. Tapi lebih sering tak ada tulisan apa-apa sehingga banyak orang Indonesia mengira Pulau Papua benar berakhir pada garis itu. Seorang kawan pernah bertanya, Papua Niugini itu masuk Provinsi Papua ataukah Papua Barat?
Papua Niugini atau PNG adalah tetangga istimewa. Namanya jarang disebut dalam berita kita. Dia hampir tak pernah jadi bagian percakapan kita. Padahal, PNG berbatasan langsung dengan Indonesia sepanjang 770 kilometer. Dia begitu dekat, sekaligus begitu asing, bagaikan tetangga di apartemen yang tak pernah bertegur sapa.
Keasingan itu membuat saya selalu mendamba mengunjunginya. Namun, walau negara tetangga, tak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Port Moresby, ibu kota PNG. Cara termudah ke sana ialah lewat Australia.
Kesempatan itu datang tanpa terduga. Agustus 2014, saya mendapat undangan menjadi pembicara dalam sebuah festival sastra di Australia. Daripada jauh-jauh ke Australia hanya untuk bicara dua hari di festival, saya meminta panitia mengalihkan tiket pulang saya ke Port Moresby. Dan mereka setuju.
Begitulah takdir antara saya dan PNG bermula.
Saya pergi ke PNG sesungguhnya adalah untuk mengenal Indonesia.
Mengenal negara sendiri kenapa harus jauh-jauh ke negara tetangga? Begitu mungkin Anda bertanya.
Pertama-tama, saya pencinta garis batas. Sebelumnya saya banyak melakukan perjalanan menembus garis batas negara-negara Asia Tengah pecahan Uni Soviet. Semua negara itu, beserta garis batasnya, diciptakan secara artifisial oleh Stalin antara tahun 1920-an dan 1930-an. Garis-garis batas itu memecah penghuni Asia Tengah menjadi bangsa-bangsa baru, yang tak jarang saling bersaing dan berseteru.
Saya pun pernah tinggal di Afghanistan, negara yang semua garis batasnya juga digambar bangsa asing: Inggris dan Rusia. Garis batas itu memerangkap bermacam etnik dalam satu wilayah negara Afghanistan yang sama, memaksa mereka menjadi satu ”bangsa Afghan”. Walaupun demikian, mereka sebenarnya tak pernah benar menyatu. Sejak awal berdirinya hingga hari ini pun Afghanistan terus dirundung konflik. Sesama orang Afghan bisa saling membenci bahkan membunuh karena perbedaan etnik, agama, pandangan politik, ataupun bahasa.
Garis batas itu pulalah yang menentukan takdir kita sebagai sebuah bangsa yang plural.
Saya menemukan refleksi Indonesia dari negara-negara itu. Sama seperti mereka, seluruh garis batas negara kita juga adalah peninggalan kolonialisme Eropa. Garis batas itu pulalah yang menentukan takdir kita sebagai sebuah bangsa yang plural. Namun, keberagaman juga bisa jadi sumber masalah, yang membuat kitab sejarah bangsa kita diselingi banyak lembar hitam pertumpahan darah.
Sejak menjelang akhir Orde Baru hingga tahun-tahun awal Reformasi, Indonesia diguncang beragam konflik berdarah. Banyak pengamat asing meramalkan Indonesia bakal menjadi Uni Soviet atau Yugoslavia berikutnya: bubar dan tercerai-berai.
Namun, itu tidak terjadi. Selain Timor Timur yang terpisah dan menjadi negara merdeka, wilayah Indonesia masih utuh dari Sabang hingga Merauke.
Bagi saya ini misteri besar. Indonesia adalah salah satu negara yang paling beragam di dunia. Taburan 17.000 pulau yang dihuni 300-an etnik yang berbicara sekitar 700 bahasa dan memeluk bermacam-macam agama, kekuatan apa yang merekatkan itu semua hingga kita bisa bertahan sebagai sebuah bangsa?
Saya ingin belajar mengenali Indonesia, memahami apa makna menjadi Indonesia dan bangsa Indonesia. Namun, saya tak ingin memulai proses ini dari sudut pandang pusat. Alih-alih, saya ingin melihat Indonesia dari seberang garis batasnya. Saya percaya, sudut pandang pinggiran ini adalah perspektif penting untuk melihat Indonesia agar kita bisa mengenali diri kita sendiri dari ”luar kotak”.