Peluang penyintas autoimun untuk mendapat vaksin Covid-19 tidak sama dengan mereka yang normal atau dalam kondisi sehat. Masih ada harapan dan optimisme bagi penyandang penyakit ini untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.
Oleh
Krishna Panolih
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Seorang lansia beraktivitas di pasar lama, Kota Tangerang, Banten, Minggu (31/1/2021). Nyeri pinggang inflamasi (peradangan) merupakan penyakit autoimun di mana kekebalan tubuh menyerang sel dan jaringan tubuh sehingga terjadi peradangan pada sendi tulang belakang. Nyeri ini patut diwaspadai karena dapat berakibat fatal. Tak hanya keterbatasan gerak, peradangan akibat autoimun bisa menyebabkan gangguan jantung dan pembuluh darah, saluran cerna, serta ginjal.
Perjalanan Indonesia dalam vaksinasi Covid-19 masih panjang. Data dinamis Kementerian Kesehatan per 15 Juli 2021 menunjukkan 19 per 100 penduduk sudah mendapatkan vaksin dosis pertama dan 7 per 100 penduduk sudah mendapatkan vaksinasi dosis kedua.
Di tengah belum meratanya target tersebut, target vaksinasi juga sempat menjadi perbincangan masyarakat. Pertengahan Juni lalu, pemerintah menyatakan, bahwa vaksin hanya diberikan pada orang sehat. Ada sederet kriteria bagi yang tidak bisa menerima, salah satunya adalah yang menderita autoimun (AI).
Penderita autoimun, misalnya, disarankan untuk menunda, atau tidak langsung divaksin. Banyak yang berpendapat, vaksinasi justru melemahkan dan membuat penyandangnya lebih rentan terinfeksi virus corona.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Sekitar 100 penderita penyakit lupus dari 5.000 orang yang terdata di Indonesia, Selasa (10/5/2005) petang, berkumpul di Taman Ismail Marzuki. Mereka mencanangkan 10 Mei sebagai Hari Lupus Nasional-sama dengan Hari Lupus Sedunia-yang dicanangkan 2004. Acara dipimpin Tiara Savitri, pendiri dan Ketua Umum Yayasan Lupus Indonesia.
Apa itu autoimun?
Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Kementerian Kesehatan menyebutkan terdapat lebih dari 80 penyakit yang digolongkan penyakit autoimun. Beberapa di antaranya memiliki gejala serupa, seperti kelelahan, nyeri otot, dan demam.
Pada kondisi orang normal, sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan organisme asing, seperti bakteri atau virus. Ketika terserang organisme asing, sistem kekebalan tubuh akan melepas protein yang disebut antibodi untuk melawan dan mencegah terjadinya penyakit.
Namun, pada penderita penyakit autoimun kondisi itu terbalik, yang terjadi adalah pelepasan sejumlah protein, yang disebut autoantibodi, yang menyerang sel-sel sehat. Sebagian ada yang menyerang organ tertentu, sebagian lain menginvasi seluruh sistem tubuh secara sistemik. Dengan kata lain, sistem kekebalan tubuh melihat sel tubuh yang sehat sebagai organisme asing, sehingga antibodi yang dilepaskan sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat tersebut.
Menurut American Autoimmune Related Diseases Association, ada sekitar 100 penyakit autoimun di dunia. Untuk Indonesia, jenisnya antara lain rheumatoid arthritis, sindrom sjögren, systemic lupus erythematosus (SLE), ankylosing spondilitis, myastenia gravis, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, trombositopenia autoimun (ITP), anemia hemolitik autoimun (AIHA), hepatitis autoimun, dermatomyositis, sindrom Guillain Barre, ensefalitis NDMA, dan berbagai kondisi autoimun lainnya.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) terbilang banyak diderita penduduk di berbagai negara. Penyakit ini pada awalnya lebih banyak terjadi di kawasan non tropis, namun sekarang juga banyak melanda wilayah tropis. Mengacu pada Lupus Foundation of America, diperkirakan ada sekitar 5 juta penduduk dunia yang mengalami penyakit.
Sejumlah referensi umumnya menyebut faktor komposisi genetik individu, lingkungan, dan hormonal sebagai penyebab Systemic Lupus Erythematosus ini. Dalam konteks autoimun, ada juga faktor lain seperti diet tinggi inflamasi. Contohnya, makanan ultra proses yang kaya dengan gula, lemak jenuh, gluten, dan berbagai zat inflamatorik lainnya.
Beragam penelitian tentang kasus infeksi kronik seperti Epstein Barr dan Cytomegalovirus menunjukkan bahwa ketidakseimbangan mikrobiom saluran cerna, kekurangan faktor nutrisi penting seperti Vitamin D, stres berkepanjangan, dan merokok yang berperan dalam timbulnya autoimun.
Vaksinasi dan autoimun
Perjalanan Indonesia dalam vaksinasi Covid-19 masih panjang. Data laman covid19.go.id per 12 Juli 2021 menunjukkan vaksinasi dosis tahap pertama telah mencapai 36.368.191 dan vaksinasi dosis kedua telah mencapai 15.036.468. Pemerintah menargetkan angka vaksinasi secara nasional sebesar 181.554.469. Jika mengacu angka ini maka posisi penerima vaksin secara lengkap atau dosis kedua baru mencapai 8,2 persen. Perjalanan vaksinasi masih jauh dari target untuk mencapai kekebalan komunal atau herd immunity.
Di tengah belum meratanya target tersebut, target vaksinasi juga sempat menjadi perdebatan. Pertengahan Juni lalu, pemerintah menyatakan, bahwa vaksin hanya diberikan pada orang sehat. Ada sederet kriteria bagi yang tidak bisa menerima, salah satunya adalah yang menderita autoimun (AI).
Penderita disarankan untuk menunda, atau tidak langsung divaksin. Berbagai kalangan di masyarakat berpendapat, vaksinasi justru melemahkan dan membuat penyandang autoimun lebih rentan terinfeksi virus corona.
Meskipun demikian, sejumlah dokter memberikan alasan yang berbeda apakah penderita autoimun bisa mendapat kesempatan yang sama. Perlu diketahui, salah satu hal mendasar dalam masalah penderita autoimun adalah konsumsi obat-obatan penekan sistem kekebalan tubuh atau imunosupresan.
Dengan ditekannya respons imun, berarti imunitas rendah. Faktor inilah yang diperlukan tubuh untuk merespons vaksin. Jika kondisi autoimun tidak berat, sebaiknya hentikan dulu imunosupresan. Kalau tetap mengonsumsi, vaksin tak bermanfaat dan tidak bekerja.