Supersemar, Transisi Kekuasaan Soekarno kepada Soeharto
Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar lahir dalam situasi politik Indonesia pasca G30S 1965 dan aksi mahasiswa yang menuntut Tritura. Supersemar kemudian berujung pada transisi kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Proses lahirnya Supersemar pada bulan Maret 1966 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Pembunuhan enam jenderal dan satu perwira serta isu kudeta Presiden Soekarno menjadi awal dari perubahan politik Indonesia.
Hal ini kemudian membuat Presiden Soekarno mengangkat Mayor Jenderal Soeharto menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965 untuk mengamankan jalannya pemerintahan dari gerakan kontra revolusioner.
Sepanjang bulan Oktober-Desember 1965, situasi di Jakarta maupun di daerah bergejolak. PKI dianggap sebagai dalang atas pembunuhan para jenderal sehingga harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Di berbagai daerah, terjadi pembubaran dan pembekuan PKI, termasuk di Jakarta.
Harian Kompas sepanjang bulan itu juga mengabarkan terjadinya pembunuhan massal dan berbagai penangkapan anggota dan simpatisan PKI. Situasi di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali menjadi tidak terkendali sehingga aparat militer bersama dengan masyarakat sipil bekerja sama untuk mengamankan daerah-daerah seiring. Selain itu, diberlakukan pula jam malam.
Namun, tuduhan terhadap PKI tidak membuat Presiden Soekarno segera membubarkan partai kiri tersebut. Soekarno masih belum mempercayai keterlibatan PKI dalam gerakan kontra revolusioner. Malahan, Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga-harga. Kebijakan yang diharapkan dapat mengalihkan fokus dari masalah politik tersebut malahan membuat gelombang kekecewaan kepada Soekarno semakin besar pada tahun 1966.
Demonstrasi Mahasiswa
Politik kenaikan harga di tengah situasi Indonesia yang masih belum kondusif setelah peristiwa G30S 1965 direspons oleh mahasiswa. Pada bulan Januari-Februari 1966 terjadi aksi-aksi demonstrasi yang dikoordinasi oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Ketua Presidium KAMI, Cosmas Batubara, menekankan bahwa mahasiswa akan mogok kuliah apabila harga-harga tidak diturunkan karena berdampak pada ongkos angkutan umum yang ikut naik.
Aksi turun ke jalan oleh mahasiswa sebelumnya telah mendapatkan restu dari aparat militer. Pada 10 Januari 1966, Kolonel Sarwo Edhie yang menjabat sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) memberikan pidato di depan massa KAMI di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Peter Kasenda dalam bukunya Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 menuliskan bahwa Sarwo Edhie menyetujui tuntutan yang ingin disampaikan para mahasiswa dalam demonstrasi.
Harian Kompas, 15 Januari 1966 memuat tiga tuntutan mahasiswa yang disebut sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura):
- Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya dan penolakan terhadap neo PKI
- Pencabutan peraturan-peraturan kenaikan harga yang merupakan akibat dari kebijaksaan moneter/ekonomi yang diambil oleh Kabinet Dwikora khususnya presidium
- Retooling kabinet (pembersihan Kabinet Dwikora dari simpatisan PKI)
Keadaan Jakarta yang semakin memanas akibat aksi-aksi mahasiswa membuat Presiden Soekarno memindahkan Sidang Kabinet Dwikora ke Istana Bogor. Namun, tanpa diduga, Istana Bogor juga dikepung oleh mahasiswa yang berasal dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Di depan istana terjadi kericuhan karena mahasiswa memaksa masuk ke dalam istana, tetapi cepat dihalau oleh pasukan Tjakrabirawa.
Dalam sidang tersebut, Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang membuat kecewa sejumlah mahasiswa yang hadir karena tuntutan mereka tidak dikabulkan. Hal inilah yang membuat para mahasiswa tetap bersikukuh untuk melakukan aksi-aksi kembali dan menyerukan untuk tetap mogok kuliah.
Cosmas Batubara, sebagai perwakilan dari KAMI, menyatakan bahwa aksi-aksi mahasiswa akan terus berlanjut sampai PKI dibubarkan karena PKI dianggap sebagai dalang dari gerakan kontra revolusioner. Cosmas juga meminta kepada Presiden Soekarno untuk merombak Kabinet Dwikora karena masih terdapat simpatisan PKI di dalamnya yang dianggap sebagai aktor dari politik kenaikan harga (Kompas, 15/2/1966).
Pada 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan perombakan Kabinet Dwikora. Namun, Bung Karno menyatakan bahwa pergantian menteri-menteri bukan disebabkan karena tuntutan dari KAMI. Hal ini membuat KAMI tidak terima sehingga pada 24 Februari 1966 terjadi demonstrasi di Istana Negara dalam pelantikan Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan.
Suasana di depan Istana Negara semakin kacau karena mahasiswa memaksa masuk sehingga terjadi bentrokan dengan pasukan Tjakrabirawa. Suara tembakan dari pasukan Tjakrabirawa membahana sehingga membuat mahasiswa kocar-kacir. Arif Rachman Hakim, mahasiswa anggota dari KAMI tewas tertembak. Keadaan ini kemudian membuat Presiden Soekarno pada 26 Februari 1966 membubarkan KAMI dan melarang aksi demonstrasi mahasiswa.
Lahirnya Supersemar
Ketika keadaan Jakarta semakin kacau, Presiden Soekarno mengumpulkan para menterinya di Istana Merdeka pada 11 Maret 1966 dalam Sidang Kabinet Yang Disempurnakan. Peter Kasenda dalam bukunya Hari-Hari Terakhir Sukarno mencatat bahwa dalam sidang tersebut Soeharto merupakan satu-satunya menteri yang tidak hadir dengan alasan sakit.
Ketika sidang berlangsung, Brigjen Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa menerima laporan anak buahnya bahwa ada pasukan tidak dikenal yang tergabung dalam demonstrasi mahasiswa di depan istana. Pasukan Tjakrabirawa mengindikasikan kelompok tidak dikenal tersebut adalah personel RPKAD.
Melihat situasi semakin gawat, Brigjen Sabur kemudian melapor kepada Presiden Soekarno dan menyarankannya untuk meninggalkan sidang. Bung Karno kemudian menyerahkan pimpian sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II J Leimena dan menuju Istana Bogor menggunakan helikopter.
Sementara itu, tiga orang jenderal bergerak menuju kediaman Letjen Soeharto. Ketiga jenderal tersebut adalah Menteri Perindustrian Dasar Brigjen M. Jusuf, Menteri Veteran dan Demobilisasi Mayjen Basuki Rachmat, serta Panglima Kodam V Jaya Mayjen Amir Machmud. Mereka meminta izin untuk menemui Presiden Soekarno untuk memberikan penjelasan situasi terkini supaya presiden tidak merasa ditinggalkan oleh Angkatan Darat.
Menurut M. Jusuf dalam biografinya Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo, sebelum berangkat Soeharto berpesan, “…bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura…”.
Ketiga orang tersebut kemudian bergerak menggunakan mobil menuju Istana Bogor. Sesampainya di Istana Bogor, mereka tidak langsung menemui Presiden Soekarno karena sedang beristirahat sehingga mereka baru dapat bertemu pukul 14.30. Kemudian, Jenderal Basuki Rachmat menjelaskan kepada Bung Karno mengenai maksud kedatangannya sesuai dengan petunjuk dari Soeharto. Pembicaraan yang memakan waktu berjam-jam ini mengerucut pada persoalan tentang pemberian kewenangan.
Menurut cerita M. Jusuf, opsi pemberian perintah baru muncul dalam diskusi setelah Bung Karno melihat hal tersebut sebagai satu-satunya alternatif yang dapat diterima semua pihak. Setelah Presiden Soekarno setuju dengan konsep pemberian kewenangan kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto, mereka kemudian merumuskan konsep Supersemar dengan memperhatikan benar kata-kata yang tepat.
Setelah selesai, Presiden Soekarno mencoret kata-kata yang tidak dikehendakinya. Kemudian, Presiden mengundang Waperdam J. Leimena, Soebandrio, dan Chaerul Saleh yang sedang berada di Paviliun Istana Bogor untuk ikut mengoreksi. Ketiga orang kepercayaan Bung Karno ini kemudian mencoret beberapa kata dan diberikan langsung kepada Presiden Soekarno.
Soebandrio dalam autobiografinya Kesaksianku tentang G-30-S menulis bahwa isi surat tersebut terdapat empat hal. Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk: pertama, mengamankan wilayah Jakarta dan sekitarnya untuk itu harus menjalin kerja sama dengan unsur-unsur kekuatan lainnya; kedua, penerima mandat wajib melapor kepada Presiden atas semua tindakan yang dilaksanakan; ketiga, penerima mandat wajib mengamankan Presiden serta seluruh keluarganya; keempat, penerima mandat wajib melestarikan ajaran-ajaran Bung Karno.
Namun, ketiga jenderal tersebut tidak menyetujui langsung perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Soekarno dan ketiga Waperdam. Kemudian, terjadilah dialog di antara mereka semua untuk saling menyempurnakan konsep surat perintah tersebut. Setelah disetujui, konsep surat tersebut diberikan kepada Brigjen Sabur untuk diketik bersih.
Surat yang telah selesai diketik langsung diberikan kepada Presiden Soekarno yang berada di gedung utama Istana Bogor. Presiden tidak langsung membubuhkan tanda tangannya. Bung Karno berdiskusi terlebih dahulu dengan ketiga Waperdamnya. Setelah dirasa cukup yakin, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah tersebut.
Soeharto Bergerak
Berbekal naskah Surat Perintah 11 Maret 1966 yang telah dibubuhi tanda tangan Presiden Soekarno, ketiga jenderal tersebut meninggalkan Istana Bogor menuju Jakarta. Sesampainya di Jakarta, mereka kemudian menyerahkan surat tersebut kepada Letjen Soeharto.
Soeharto yang menerima mandat dari Presiden Soekarno berdasarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 langsung bergerak dengan cepat. Harian Kompas, 14 Maret 1966 mencatat bahwa Soeharto atas nama Presiden Soekarno memutuskan untuk membubarkan PKI termasuk organisasi di bawahnya dari tingkat pusat sampai ke daerah. Dituliskan juga bahwa keputusan ini diambil dengan memperhatikan hasil-hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh G30S.
Peter Kasenda dalam bukunya Soeharto, Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun? menuliskan bahwa perintah pembubaran PKI telah diinginkan Soeharto dan Angkatan Darat sejak Oktober 1965. Namun, Presiden Soekarno selalu menolak karena masih memuji-muji jasa PKI di masa lampau dan berusaha menyakinkan kembali ajarannya mengenai Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom).
Keputusan Presiden Soekarno memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto juga mendapatkan dukungan baik dari mahasiswa maupun masyarakat secara luas. Organisasi-organisasi mahasiswa mengharapkan berbagai tindakan yang dilakukan Soeharto harus mencerminkan Tritura yang selalu digaungkan sejak awal 1966. Organisasi massa dan partai politik juga mendukung kebijakan tersebut dengan tidak menerima anggota dari eks PKI.
Menurut Peter Kasenda dalam buku Hari-Hari Terakhir Sukarno, perintah pembubaran PKI oleh Soeharto tidak pernah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden Soekarno. Bung Karno yang kecewa dengan perintah tersebut kemudian meminta kepada Soeharto untuk menghadap. Namun, Soeharto menolak untuk datang dan memberikan alasan bahwa pembubaran PKI adalah sebuah tindakan untuk mengembalikan ketertiban serta keamanan.
Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan Soekarno semakin digembosi sehingga muncul istilah kudeta yang dilakukan Soeharto. Namun, dalam harian Kompas, 17 Maret 1966, Letjen Soeharto menegaskan bahwa tidak ada kudeta terhadap pemerintahan yang sah. Dalam keterangan persnya, Soeharto mengatakan bahwa Presiden Soekarno tetap dalam fungsinya sebagai kepala negara.
Akan tetapi, pengaruh Soeharto semakin besar di dalam pemerintahan setelah ia “mengamankan” lima belas orang menteri Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Alasannya adalah menteri-menteri tersebut terindikasi telah terlibat dalam gerakan kontra revolusioner G30S yang membahayakan pemerintahan.
Pemerintahan Soekarno semakin tersudutkan setelah pidato pertanggungjawabannya tentang situasi Indonesia sepanjang tahun 1965/1966 atau Nawaksara tidak diterima dalam Sidang Umum MPRS 22 Juni 1966. Sebagian golongan berpendapat bahwa Soekarno tidak mampu untuk menunaikan tugas-tugasnya berdasarkan UUD dan ketetapan-ketetapan MPRS.
Atas dasar itulah, sejak 5 Juli 1966 MPRS mencabut Ketetapan MPRS No. III tahun 1963 yang mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Sidang Umum MPRS kemudian mengangkat pemegang Surat Perintah 11 Maret, yakni Letjen Soeharto, sebagai pejabat presiden sampai terbentuknya MPR hasil pemilihan umum. MPRS juga menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang dan ajaran mengenai komunisme/marxisme/leninisme dianggap tabu melalui Ketetapan No. XXV/MPRS/1966.
Kontroversi Supersemar
Supersemar menimbulkan berbagai kontroversi, mulai dari perbedaan pemberi perintah dan pelaksananya, adanya keterlibatan Central Intelligence Agency (CIA), hingga naskah asli yang belum ditemukan hingga saat ini.
Surat Perintah Sebelas Maret yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dianggap digunakan oleh Soeharto untuk mengambil kekuasaan Bung Karno. Bung Karno sempat memberikan tanggapan atas hal itu dalam pidato peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1966. Bung Karno menegaskan bahwa Surat Perintah 11 Maret adalah perintah pengamanan bukan penyerahan pemerintahan atau transfer of authority (Kompas, 18/8/1966). Namun, penegasan tersebut tidak dapat menyelamatkan posisi Bung Karno hingga kemudian Soeharto diangkat menjadi Presiden secara penuh pada 1968.
Baskara T. Wardaya dalam bukunya Membongkar Supersemar dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno menjelaskan bahwa sudah sejak lama Amerika Serikat ingin menurunkan Presiden Soekarno dari jabatannya. Amerika Serikat khawatir dengan berbagai kebijakan Bung Karno yang cenderung didukung oleh PKI serta kedekatan Bung Karno dengan Uni Soviet-China yang membawa pengaruh komunisme pada saat Perang Dingin. Oleh karena itu, terdapat indikasi keterlibatan agen rahasia AS CIA dalam penyingkiran Presiden Soekarno.
Di sisi lain, naskah asli Supersemar masih menjadi misteri dalam historiografi Indonesia. Azmi, Direktur Pengolahan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dalam opininya di harian Kompas, 10 Maret 2015 menuliskan bahwa naskah asli Supersemar masih belum dapat ditemukan. ANRI sendiri menyimpan tiga versi Supersemar yang masing-masing diterima dari Sekretariat Negara, Pusat Penerangan TNI AD, dan Yayasan Akademi Kebangsaan. Ketiga versi tersebut memiliki perbedaannya masing-masing.
Terlepas dari belum ditemukannya naskah Supersemar yang asli, sejarawan Baskara T. Wardaya dalam pendahuluan bukunya Membongkar Supersemar dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno mengatakan bahwa kita tidak perlu fokus pada masalah asli atau tidaknya naskah surat itu. Namun, perlu ditekankan pada latar belakang kondisi yang melahirkan Supersemar dan dampak dari berbagai macam tindakan yang timbul atas nama surat perintah tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Catatan Akhir
- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
- Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknya
- Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
IV. Selesai
Jakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN BESAR REVOLUSI/MANDATARIS MPRS
(tanda tangan)
Sukarno
Sumber: Pemberitaan Kompas, 14 Maret 1966, hlm. 3.