Per 24 Februari 2018 pemilik kendaraan bermotor harus menyesuaikan diri dengan penyesuaian harga bahan bakar khusus yang ditetapkan PT Pertamina (Persero). Bahan bakar nonsubsidi disesuaikan harganya untuk mengikuti rata-rata minyak dunia yang sedang naik.
Menurut laman resmi Pertamina, harga pertalite (RON 90) naik sebesar Rp 100 per liter dari Rp 7.500 per liter menjadi Rp 7.600 per liter. Begitu pula harga pertamax (RON 92) naik Rp 300 per liter dari Rp 8.600 per liter menjadi Rp 8.900 per liter.
Premium (RON 88) sebagai bahan bakar bersubsidi harganya Rp 6.450 per liter dan tidak berubah sejak ditetapkan pada 1 April 2016 lalu. Kenaikan harga ini diyakini tidak akan mengubah kebiasaan konsumen yang sudah menggunakan bahan bakar khusus untuk beralih ke bahan bakar bersubsidi karena mesin kendaraan yang dipakai mensyaratkan bahan bakar dengan RON paling rendah 91.
Kenaikan harga tersebut menimbulkan reaksi yang cukup keras di linimasa. Komentar yang muncul di Twitter, misalnya, mempermasalahkan keputusan yang diambil secara diam-diam karena sebelumnya keputusan untuk menaikkan harga jual bahan bakar minyak selalu didahului dengan pengumuman oleh pemerintah baik oleh presiden atau menteri terkait.
Meskipun bahan bakar khusus merupakan komoditas nonsubsidi yang harganya bergerak mengikuti dinamika harga minyak dunia, hal ini juga digunakan untuk mengkritik pemerintah sebagai bentuk kebijakan yang tidak berpihak kepada "wong cilik."
Presiden Joko Widodo dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi sasaran kekesalan warganet yang merasa kenaikan harga ini hanya akan menimbulkan efek domino. Mereka pun menggali rekam jejak partai ini di tahun 2012 saat menjadi partai oposisi dan memasang posisi yang keras dan berseberangan kepada keputusan pemerintah dalam menaikkan harga BBM.
Kebijakan ini juga diterima sebagai sebuah kelaziman mengingat harga yang mengikuti kondisi pasar dunia pasti akan terus berubah. Yang perlu diingatkan bahwa keputusan itu tidak diambil secara diam-diam, dan sebaiknya yang keberatan perlu membedakan dengan bahan bakar bersubsidi yang harganya tidak berubah hingga kini.
Komoditas bahan bakar minyak memang akan menjadi isu yang krusial dan selalu menimbulkan polemik di Indonesia. Namun perlu diingat bahwa politik memang dinamis, mereka yang kemarin menolak bisa saja hari ini memiliki posisi yang jauh berbeda.