Air, Mata Uang Baru yang Diabaikan
Nilai ”mata uang” seperti emas dan minyak, bisa berfluktuasi radikal. Namun, nilai air bersih tetap di atas segalanya.
![Neli Triana, Wartawan <i>Kompas</i>](https://cdn-assetd.kompas.id/pVZOwCfci8OxDAgBRohgQeRA2Mc=/1024x575/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F05%2F80b574f3-a340-469c-813e-b79571f406df_jpg.jpg)
Neli Triana, Wartawan Kompas
Pagi baru saja muncul, tetapi hawa dingin entah pergi ke mana. Kesibukan pun dimulai. Ada yang siap-siap pergi ke sekolah, bersiap berangkat kerja, dan aktivitas lain. Namun, apa daya, mesin pompa air ngadat. Aliran bening segar yang biasanya baik-baik saja tak kunjung terkucur. Panik!
Air galon isi ulang pun jadi sasaran untuk membersihkan segala hajat pagi itu. Lalu, bergegas mengecek nomor telepon tukang reparasi pompa air. Sial seperti sempurna di pagi itu. ”Babang” tukang tak bisa segera datang, ada panggilan reparasi pompa air dan membuat sumur bor dari pelanggan lain.
Ketika akhirnya air kembali mengucur setelah perbaikan atau pendalaman sumur, hingga membuat sumur baru, ingatan kita akan nilai penting air dengan cepat memudar lagi. Air kembali seperti sesuatu yang pasti tersedia.
Baca juga: Menyelisik Status ”Hijau” dan Multidampak Kereta Cepat
Ratusan ribu bahkan jutaan rumah tangga di kawasan aglomerasi urban Jabodetabek mengandalkan sumur bor sebagai sumber air satu-satunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk minum, semakin banyak yang tergantung pada air kemasan, termasuk air galon bermerek ataupun isi ulang. Dalam benak banyak orang, sepertinya tertanam bahwa air bersih memang urusan sendiri dengan sumur bor dan air galon.
![Warga memperlihatkan sumur bor di RW 022, Blok Eceng, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (15/11/2022).](https://cdn-assetd.kompas.id/ZOCUktFTTSGSRlCMBWag0YWMVeo=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F15%2F2d070ae8-0be4-4c20-ad00-d23625e3cf0c_jpg.jpg)
Warga memperlihatkan sumur bor di RW 022, Blok Eceng, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (15/11/2022).
Di banyak kota lain di Indonesia, kondisi serupa terjadi. Ketersediaan air bersih perpipaan sebagai layanan publik untuk semua warga belum menjadi program yang serius diwujudkan. Secara umum, air bersih masih saja dianggap sebagai kebutuhan nomor sekian oleh sebagian kita dan juga pemerintah.
Padahal, tanpa air, orang hanya bisa bertahan hidup selama 3-4 hari. Kebersihan dan kesehatan keluarga terancam. Air penentu hidup matinya semua bahan dasar makanan yang kita butuhkan sehari-hari. Berbagai bidang industri, bahkan pertambangan, lumpuh tanpa pasokan air memadai yang berkelanjutan.
Di kawasan perkotaan, realisasi janji pembangunan air bersih perpipaan berjalan bagai siput. Di Jakarta, cakupan layanan air perpipaannya tahun ini baru menjangkau 930.000 pelanggan atau sekitar sepertiga dari total rumah tangga di kota yang mencanangkan diri menjadi kota global setelah tak lagi berstatus ibu kota negara tersebut. Merujuk data Badan Pusat Statistik tahun 2023, ada sekitar 2,8 juta rumah tangga di Jakarta.
Baca juga: Di Balik Antre Bahagia ”Salt Bread” hingga ”Merchandise” BTS
Di luar wilayah urban, tata kelola irigasi untuk pertanian dan agroindustri di Indonesia masih sarat masalah. Pelaku industri mikro hingga skala raksasa di berbagai daerah sulit dipastikan memakai air dengan bijak dan berkelanjutan untuk usahanya. Pihak yang berwenang menegakkan aturan perihal tata kelola air belum bertindak maksimal.
Kondisi tersebut jelaslah memprihatinkan mengingat dunia telah benar-benar berubah.
![Warga menjinjing wadah berisi air bersih di Gang Bulak Cabe, RT 006 RW 009, Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (1/12/2023).](https://cdn-assetd.kompas.id/-wmqVTB8F2lg4gm77Ka5UF8AKSQ=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F01%2Fcfc4232b-1aab-4ef3-bcd7-0a3f19ef5097_jpg.jpg)
Warga menjinjing wadah berisi air bersih di Gang Bulak Cabe, RT 006 RW 009, Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (1/12/2023).
Pada abad ke-19, batubara dinilai sebagai sumber daya alam paling berharga karena menggerakkan berbagai industri. Di abad ke-20, orang mengelu-elukan minyak bumi karena tanpanya pergerakan roda negara-negara di seluruh dunia bakal berhenti.
Setelah eksploitasi besar-besaran menguras minyak bumi dan berbagai sumber daya alam lain, kerusakan lingkungan turut membuat ketersediaan air bersih terganggu. Sekarang, para pihak akhirnya menyadari air adalah sumber daya alam paling berharga. Namun, eksploitasi sumber daya alam juga susah beranjak dari kerakusan atas nama pertumbuhan bisnis.
Kompetisi tanpa garis finis
Di abad ini, air bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya dan bisa kapan saja digunakan. Gangguan dalam penyediaan air bersih makin sering dirasakan di tengah banjir yang kerap terjadi. Kekeringan pun melanda lebih dari separuh bumi.
Mengakses air menjadi sebuah kompetisi tanpa garis finis. Penguasa sumber air dan mereka yang mampu mengelolanya berarti menguasai ”mata uang” bernilai sangat tinggi di tengah dunia yang kekeringan dan kehausan.
Nilai mata uang moneter atau ”mata uang” lain, seperti emas, minyak, dan lainnya berfluktuasi secara radikal dan dapat ditukar dengan sesuatu yang bernilai lainnya. Namun, air tidak akan pernah mengalami penurunan nilai.
![https://cdn-assetd.kompas.id/MqoAkaalb231AOtTL4WstLiA1JY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F23%2F3a4033ae-e0dd-48fc-b20f-3db90305adc5_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/MqoAkaalb231AOtTL4WstLiA1JY=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F23%2F3a4033ae-e0dd-48fc-b20f-3db90305adc5_jpg.jpg)
Di wilayah yang kaya sumber air, air dapat dimanfaatkan untuk melahirkan usaha-usaha baru yang menumbuhkan perekonomian lokal, meningkatkan basis pajak, dan kualitas hidup masyarakat setempat.
Sebaliknya, kota atau negara yang terlambat berinisiatif memperbaiki tata kelola air dan enggan berinvestasi untuk mengadopsi teknologi pengelolaan air berkelanjutan, hampir pasti akan mengalami kebangkrutan. Investor pun bergegas mengucapkan selamat tinggal.
Oleh karena itu, tidak ada cara agar bisa bertahan selain dengan menguasai, mengelola, hingga memunculkan sumber air baru. Di selain memanfaatkan sungai, situ, dan danau, pemerintah perlu berinisiatif melakukan diversifikasi sumber air untuk meningkatkan ketahanan air di area urban.
Publikasi riset "Diversification of urban water supply: An assessment of social costs and water production costs" (Mei, 2022) menyebutkan bahwa desalinasi air laut serta penggunaan kembali air dari limbah industri patut dipertimbangkan oleh kota untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya.
Baca juga: Menikmati Hidup Tanpa Melakukan Apa-apa ala ”Niksen”
Suatu kawasan, seperti Jabodetabekpunjur yang memiliki kawasan hulu di Puncak (Kabupaten Bogor) dan Cianjur (Jawa Barat), serta bentangan hilir yang berbatasan dengan laut, perlu pula memahami aliran air dari sumber-sumber utama sampai ke konsumen.
![Di tengah ancaman El Nino yang memicu kekeringan berkepanjangan, petani membajak sawah di daerah Rorotan, Jakarta Utara, Jumat (8/9/2023).](https://cdn-assetd.kompas.id/AfYYvr3BXarHilDgI2JlU_M5ggk=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F08%2Fdfa80d29-01cf-4324-b59e-6defbb5b251f_jpg.jpg)
Di tengah ancaman El Nino yang memicu kekeringan berkepanjangan, petani membajak sawah di daerah Rorotan, Jakarta Utara, Jumat (8/9/2023).
Enam kota itu, yaitu Johannesburg, Nairobi, Jakarta, Manila, Mumbai, dan New Delhi, berada di kelompok kota dengan nilai terendah, sedikit di atas 40.
Laporan Forbes.com, terobosan teknologi seperti dilakukan dengan penerapan Hydro-BID, alat pemodelan dan pengelolaan data sumber daya air inovatif, diterapkan di Amerika Latin dan Karibia.
Hydro-BID memanfaatkan data puluhan tahun dan memberdayakan para pengambil keputusan, seperti data badan air, pemerintah kota, petani, lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan untuk membuat keputusan ”penganggaran air” yang cerdas beberapa bulan sebelum kekeringan terjadi.
Hydro-BID diujicobakan di Brasil, Peru, Haiti, dan Argentina yang berdampak pada lebih dari tiga juta orang di wilayah tersebut pada tahun 2017.
Dengan memanfaatkan kumpulan data yang luas, pemodelan hidrologi, sistem simulasi, dan fitur navigasi komprehensif, alat ini memvisualisasikan perkiraan ketersediaan air tawar di wilayah yang kekurangan air sesuai skenario iklim, populasi, dan penggunaan lahan.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Sistem pemodelan air sumber terbuka mengatur dan mengumpulkan data lokasi, konektivitas, dan arah aliran air di seluruh badan air permukaan. Hydro-BID dikembangkan untuk berinteraksi dengan hampir semua jenis model iklim atau sumber data dan dapat menentukan secara real time perubahan curah hujan, limpasan, suhu dan curah hujan, serta pengaruhnya pada pasokan dan alokasi air.
Pemerintah dan masyarakat dapat menyiapkan antisipasi bencana lebih awal juga lebih tepat.
![Anak-anak bermain air mancur yang menjadi salah satu daya tarik Taman Puring di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (1/5/2024).](https://cdn-assetd.kompas.id/ARKrab0GNQXzJaxEFguZWS-KeWM=/1024x681/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F01%2F94d69df8-d8b4-494c-8462-32c0b23f01f9_jpg.jpg)
Anak-anak bermain air mancur yang menjadi salah satu daya tarik Taman Puring di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (1/5/2024).
Indeks air kota berkelanjutan
Laporan "Sustainable Cities Water Index: Which Cities Are Best Placed to Harness Water For Future Success?", mengutip Forum Ekonomi Dunia (WEF), menyebut krisis air sebagai salah satu dari tiga krisis terbesar dengan dampak risiko global tertinggi terhadap perekonomian, lingkungan, dan manusia.
Kota-kota yang paling memahami ancaman krisis diikuti inisiatif, inovasi, dan tindakan cepat mengatasinya, tidak hanya membantu menyelamatkan planet ini dari bencana. Respons tersebut juga menjadi yang pertama menarik investasi dan meningkatkan posisi kompetitif mereka.
Indeks Air Kota Berkelanjutan hadir sekitar tujuh tahun lalu untuk memaparkan perbandingan antarkota dalam menciptakan kesadaran, wawasan, dan pandangannya ke depan. Tiga hal yang diperlukan demi membangun kota-kota hemat air dan berkelanjutan.
Baca juga: Banjir Dubai, Kota Paling Maju Pun Tunduk pada Krisis Iklim
Indeks keseluruhan mengkaji kelestarian air di 50 kota dari 31 negara di seluruh dunia. Kota diberi peringkat tidak hanya berdasarkan keberkelanjutan mereka dalam mengelola dan menjaga air. Akan tetapi, juga dalam melawan risiko dan kerentanan alaminya berdasarkan perhitungan tiga pilar air keberlanjutan, yaitu ketahanan, efisiensi, dan kualitas.
![Tangkapan layar laporan "Sustainable Cities Water Index: Which Cities Are Best Placed to Harness Water For Future Success?" oleh Arcadis.](https://cdn-assetd.kompas.id/kHpog6gIAyevh86dhznYx8I0KZI=/1024x1763/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F25%2F8308c3ed-b430-490c-bfa2-e5d68fdf3cb5_png.jpg)
Tangkapan layar laporan "Sustainable Cities Water Index: Which Cities Are Best Placed to Harness Water For Future Success?" oleh Arcadis.
Kualitas berhubungan dengan bagaimana kota menjaga sumber air, menekan risiko bencana dan kerentanan. Efisiensi terkait upaya menjaga kebocoran aliran air bersih, pengukuran penggunaan kembali air, kontinuitas cakupan, serta pembiayaan.
Pilar ketahanan mencakup cara kota meningkatkan kesehatan publik dengan mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan air dan sanitasi, menekan polusi, dan mengelola dampak lingkungan.
Hasilnya, tidak ada kota yang meraih nilai sempurna, yaitu 100. Namun, 44 kota telah memperoleh nilai di atas 50 dengan empat kota di antaranya mencapai nilai di atas 80.
Ada enam kota dengan nilai terendah, hanya sedikit di atas 40. Keenam kota tersebut ialah Johannesburg, Nairobi, Jakarta, Manila, Mumbai, dan New Delhi.
Baca juga: Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru
Dari indeks yang sama, Singapura, negara kota yang dulu kekurangan air, kini berada di posisi 22 dengan skor sekitar 70. Di Asia, ia kota dengan air lestari terbaik.
![Atap Marina Barrage atau Waduk Marina di kawasan Marina Bay, Singapura. Waduk ini dibangun untuk menjamin pasokan air tawar dan air baku serta mengendalikan banjir rob ataupun karena hujan lebat.](https://cdn-assetd.kompas.id/g9Nv5sduazAEdLiO8T9H692AhBE=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F24%2F79a50128-c3f7-432f-8049-9f7a16254ac4_jpeg.jpg)
Atap Marina Barrage atau Waduk Marina di kawasan Marina Bay, Singapura. Waduk ini dibangun untuk menjamin pasokan air tawar dan air baku serta mengendalikan banjir rob ataupun karena hujan lebat.
Negara yang dulu disebut Temasek atau Kota Laut itu baru benar-benar merdeka pada tahun 1965, dua dekade lebih lambat dari Indonesia. Namun, Singapura mampu fokus menempatkan kebijakan air lestari mendominasi program pembangunannya.
Negara itu mengadopsi ”lingkaran air tertutup”, yaitu memaksimalkan hasil dengan mengumpulkan setiap tetes air dengan memanen air hujan dibarengi berbagai upaya lain, menggunakan kembali tanpa henti, dan memproses air laut agar dapat dikonsumsi. Memang tidak murah, tapi demi bangsa tidak ada yang terlalu mahal.
Kota Singa kini menjadi negara maju, kaya, investor datang dari mana saja. Ia juga memelopori menjadi kota modern berkelanjutan.
Melihat Singapura, Indonesia yang baru saja menjadi tuan rumah perhelatan World Water Forum (WWF) 2024 di Bali, hendaknya menyadari ketertinggalan mereka karena belum juga bisa melihat urgensi air sebagai "mata uang" tertinggi. Patut disayangkan.
Baca juga: Catatan Urban