Presiden terpilih perlu memprioritaskan penyelesaian berbagai hal yang menjadi catatan semua hakim MK.
Oleh
AZIS KHAN
·2 menit baca
Dalam Tajuk Rencana Kompas digarisbawahi seruan presiden terpilih 2024. Seruan itu mengajak elite meninggalkan perbedaan (Kompas, 25/4/2024).
Kini saatnya bangsa Indonesia bersatu, sama-sama menatap ke depan. Visi-misi dan tujuan memajukan negara dan bangsa perlu dilakukan bersama dalam semangat persatuan (dan kesatuan). Diakui, sudut pandang dalam cara menyelesaikan persoalan dapat berbeda. Kompas berorientasi pada horizon enam bulan menuju waktu pelantikan dan persoalan yang harus diantisipasi lebih fokus pada isu global terkait.
Surat pembaca ini coba menyelisik sedikit lebih jauh: horizon 2024-2029 dan mengajak fokus pada isu dalam negeri. Jujur, isu di level ini tidak kalah banyak dan beratnya. Kita tahu, proses Pilpres 2024 ini tidak datar-datar saja dan butuh penyelesaian serius terutama oleh presiden terpilih dan jajarannya.
Seberapa jauh bacaan proses ini tidak datar-datar saja, dapat dicermati setidaknya dari adanya beda pendapat (dissenting opinion) tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK), relatif atas mayoritas lima hakim MK lainnya saat MK membacakan amar putusannya pada 22 April 2024.
Beda pandangan ini terkait (pengakuan adanya) berbagai dugaan menyimpang selama proses pemilu, mulai dari prapencoblosan, pencoblosan, hingga pascapencoblosan. Lemahnya fungsi Bawaslu dinilai memperparah situasi kontestasi.
Berbagai aspek penyimpangan yang diungkapkan dalam persidangan adalah termasuk yang ditolak seluruhnya oleh mayoritas lima hakim MK lainnya. Alasannya, keseluruhannya tidak terbukti karena para pihak pemohon dianggap tidak cukup saksi dan ahli untuk bisa membuktikan dalam persidangan. Karena itu, berbagai dugaan para pemohon tersebut dinilai tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Meski begitu, kelima hakim memberikan pula sejumlah catatan ”perlunya perbaikan” atas semua hal—yang diklaimnya tidak terbukti dalam persidangan. Catatan-catatan itu mencakup, antara lain, pembentukan norma hukum. Ini untuk membatasi penggunaan dan pengaitan program pemerintah (disebut khusus bansos) dengan kepentingan pribadi—terutama dalam kaitan kontestasi pemilu ke depan. Catatan lain, pembentukan sistem untuk antisipasi netralitas aparat ke depan sekaligus menjaga demokrasi agar tidak berujung pada otoritarianisme.
Maka, presiden terpilih dalam seruannya itu perlu memprioritaskan penyelesaian berbagai hal yang menjadi catatan ke semua hakim MK—jauh sebelum merumuskan detail visi-misi dan program jadi janji-janji kampanye. Itulah PR kebangsaan sesungguhnya. Ini patut jadi fondasi dan seruan kunci presiden terpilih dan sejatinya menjadi perhatian para elite politik yang jadi target utama seruan itu. Bila ini dipenuhi, tidak mustahil seruan itu akan beroleh sambutan yang luar biasa hangat dan masif—tidak saja dari para elite, tetapi juga dari rakyat kebanyakan.
PR kebangsaan macam itu perlu segera mulai dipikirkan bersama sejak saat seruan tersebut disampaikan pada pidato perdana presiden terpilih dalam Rapat Pleno KPU pada 24 April 2024.