Traktat Pandemi
Traktat pandemi amat diperlukan agar dunia siap menghadapi wabah dan pandemi yang pasti akan melanda.
Sejak lama kita sudah mengetahui bahwa penyakit menular yang terjadi di salah satu tempat di satu negara ternyata dapat meluas, bahkan menyebar, ke negara-negara lain. Oleh karena itu, sejak 2005, dunia memiliki aturan untuk mengendalikannya, yaitu International Health Regulations (Regulasi Kesehatan Internasional/IHR).
Sejak diberlakukan secara resmi dan digunakan luas—termasuk di Indonesia—dunia sudah banyak mengalami wabah, dan juga dua pandemi, yaitu pandemi influenza (H1N1) pada 2009 sampai 2011, dan pandemi Covid-19.
Memang tadinya dunia berharap aturan dalam IHR akan mampu menangani dampak buruk dari wabah dan pandemi. Namun, kenyataannya justru berbeda, aturan yang ada belumlah memadai.
Pengalaman dunia yang nyaris luluh lantak akibat Covid-19 menunjukkan bahwa dunia tidak siap menghadapi pandemi dan perlu ada perbaikan nyata di masa depan. Apalagi kita tahu bahwa pasti akan ada pandemi lagi di masa datang, hanya kita belum tahu kapan akan terjadinya dan penyakit apa yang menjadi pemicu.
Baca juga: Mencegah Pandemi dengan Penguatan Instrumen Internasional
Karena ketidakberdayaan aturan yang ada, maka di tengah dunia menghadapi Covid-19, pertemuan kesehatan dunia, World Health Assembly (WHA), pada 1 Desember 2021 bersepakat meluncurkan proses untuk membentuk suatu kegiatan bersejarah dunia (historic global accord) untuk menangani pandemi, baik dalam hal pencegahan, persiapan, maupun respons global.
Untuk itu, akan dibentuk aturan dalam bentuk konvensi, kesepakatan, atau instrumen internasional lainnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di bidang ini.
Secara umum memang akan dihasilkan semacam pandemic accord atau pandemic agreement, atau secara lebih luas akan baik kalau dihasilkan pandemic treaty atau traktat pandemi, yang diharapkan dapat melindungi dunia dan kita semua dalam menghadapi wabah dan pandemi di masa datang.
Dunia menyepakati bahwa hasil pembuatan aturan ini akan dilaporkan pada WHA, Mei 2024.
Alotnya negosiasi
Untuk mewujudkan traktat pandemi, dibentuklah Intergovernmental Negotiating Body (INB) untuk menyusun draf dan melakukan negosiasi mendalam. INB diikuti semua negara anggota WHO, termasuk Indonesia tentunya.
Dalam perjalanan waktu dari 2021 sampai April 2024, INB sudah menyelenggarakan sembilan kali pertemuan dan masih terus berproses dan bernegosiasi dengan cukup alot.
Jurnal kesehatan internasional Lancet pada awal Maret 2024 mengeluarkan artikel berjudul amat pedas, ”The Pandemic Treaty: Shameful and Unjust” (Traktat Pandemi, Memalukan dan Tidak Adil). Jurnal Lancet menyebutkan, dalam lebih dari dua tahun rapat, negosiasi, dan diplomasi internasional tentang traktat pandemi, hasilnya belumlah memadai.
Padahal, traktat ini ditujukan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman. Untuk melindungi semua penduduk dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang, baik kaya maupun miskin.
Apalagi, dalam pandemi kita mengenal istilah ”tidak akan ada yang aman sampai semua aman” (no one is safe until everyone is safe).
Pada dasarnya, traktat pandemi amat diperlukan agar dunia siap menghadapi wabah dan pandemi yang pasti akan melanda.
Pertemuan INB kesembilan pada Maret 2024 awalnya dijadwalkan sebagai pembahasan terakhir. Namun, kenyataannya sampai selesai acara, masih banyak sekali hal yang belum disepakati. Karena itu, pada penutupan pertemuan kesembilan pada 28 Maret, akhirnya diputuskan akan diadakan pertemuan lanjutan pada 29 April hingga 10 Mei 2024.
Tentu harapannya akan ada negosiasi diplomatik yang lebih kondusif. Direktur Jenderal (Dirjen) WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sangat mengharapkan hal itu, dan menyebutkan bahwa ”negara anggota WHO sangat menyadari pentingnya pandemic agreement ini untuk melindungi generasi mendatang dari akibat buruk seperti yang sudah pernah dialami dunia ketika pandemi Covid-19 melanda”.
Dirjen WHO berterima kasih kepada negara anggota WHO atas komitmennya menemukan kesepakatan bersama dan dapat menyelesaikan perjanjian pandemi yang bersejarah ini pada akhir Mei saat berlangsung WHA 2024. Itu harapan dia, tentunya.
Sejalan dengan perkembangan INB, negara-negara di dunia juga bersepakat mengamendemen International Health Regulations (2005), suatu aturan internasional yang ditandatangani semua negara untuk menangani masalah penularan penyakit antarnegara.
Untuk hal ini dibentuklah Working Group on Amendments to the International Health Regulations/WGIHR (2005), yang pertemuan ketujuhnya berlangsung pada 5-9 Februari 2024. Peserta pertemuan ini praktis adalah semua negara anggota WHO, hampir 200 negara di dunia.
Pembahasan dan negosiasinya juga masih amat alot, dibahas pasal per pasal, bahkan terkadang kalimat per kalimat. Akan diadakan lagi pertemuan WGIHR kedelapan dalam waktu dekat ini, dan pertemuan ini diharapkan bisa menghasilkan sebuah kesepakatan yang lebih baik.
Selain pertemuan masing-masing INB dan IHR, juga dilakukan pertemuan bersama (joint session) antara WGIHR dan INB untuk menyusun draf dan menegosiasikan konvensi, kesepakatan, atau instrumen internasional WHO lainnya, untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi di masa datang.
Pertemuan bersama ini menjadi sangat penting karena secara umum dapat disebutkan bahwa hasil INB tentu akan menjadi semacam ”payung” dan sangat penting dalam konsep filosofi dan kebijakan mendasar, selain tentu isi pasal per pasal dari IHR yang akan menjadi acuan dalam kegiatan sehari-hari di lapangan, termasuk di negara kita.
Prinsip dasar
Sekarang kita betul-betul sampai pada hari-hari terakhir negosiasi diplomasi internasional untuk traktat pandemi ini, menjelang akhir Mei.
Harus diakui bahwa memang ada yang masih mempertanyakan aturan ini, seperti juga berita diKompas.id, 13 April 2024, yang berjudul ”Polemik Traktat Pandemi”. Karena itu, untuk menjamin manfaat traktat ini bagi dunia, kemanusiaan, dan bangsa kita, ada beberapa prinsip yang harus dijaga dan dijamin ada pada traktat atau dalam bentuk apa pun aturan yang ada nantinya.
Baca juga: Polemik Traktat Pandemi
Prinsip pertama adalah unsur utama dalam pengaturan kesehatan global yang harus menjadi pegangan dalam diskusi dan negosiasi di WHO, yakni kejujuran, kesetaraan, dan transparansi. Unsur ini harus dilengkapi dengan aspek kepemimpinan, inklusivitas, dan akuntabilitas.
Menghadapi berbagai masalah kesehatan antarnegara, perlu dipegang prinsip koordinasi kerja sama internasional, multilateralisme, solidaritas global, serta pengaturan di tingkat politis tertinggi dan lintas sektor yang relevan.
Sementara itu, harus dicamkan bahwa tujuan diplomasi kesehatan global seharusnya dapat mengatasi masalah ketidaksetaraan (inequities) dan juga menjamin keberlangsungan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang terjangkau, efektif, efisien, dan tersedia pada waktu yang diperlukan.
Prinsip lain yang harus dijamin adalah agar aturan baru ini dapat mengatasi kesenjangan dalam respons internasional, kejelasan peran, tanggung jawab negara dan organisasi internasional, serta pembentukan aturan dan norma yang jelas.
Kemudian, yang banyak sekali menjadi pembahasan adalah prinsip dasar pembagian yang adil antara akses ke patogen penyebab wabah/pandemi dan manfaat yang mungkin didapat dalam bentuk obat atau vaksin, atau dikenal sebagai pathogen access and benefit-sharing (P-ABS). Ini yang masih dirasa tidak adil.
Kalau ada kejadian penyakit yang berpotensi menjadi wabah/pandemi di suatu negara, negara tersebut diminta mengirimkan patogen penyebab penyakitnya ke dunia internasional. Namun, kalau kemudian patogen itu dibuat menjadi bahan obat atau vaksin, pembagiannya dirasa belum adil, belum menjamin prinsip ekuitas atau kesetaraan.
Tulisan di Lancet itu menyebutkan bahwa draf yang ada masih menyebutkan bahwa WHO hanya punya akses 20 persen terhadap manfaat yang ada untuk dibagikan kepada negara yang membutuhkannya sesuai dengan prinsip kesehatan masyarakat.
Sementara, 80 persen lainnya, baik dalam bentuk obat, vaksin, maupun alat diagnostik, diserahkan kepada pasar dagang bebas. Artinya, yang lebih punya uanglah yang bisa mendapatkannya.
Pada dasarnya, traktat pandemi amat diperlukan agar dunia siap menghadapi wabah dan pandemi yang pasti akan melanda. Namun, tentu traktat ini, atau apa pun bentuk aturan yang akan ada lainnya, harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar yang menjamin kesetaraan (equity).
Jangan sampai ada negara atau organisasi apa pun yang mendapat hak tertentu (privilese), sementara yang lain tidak diperlakukan setara sehingga ada yang harus dikorbankan dan perlindungan kesehatan seluruh masyarakat menjadi gagal dilakukan.
Semoga dunia akan lebih aman lagi ke depannya, dan lebih mampu melindungi umat manusia, di dunia, dan tentunya juga di negara kita.
Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara