Kedua proses tersebut adalah penyusunan suatu traktat mengenai pandemi (pandemic agreement) dan amendemen terhadap regulasi kesehatan internasional (International Health Regulations/IHR) agar menjadi lebih sesuai dan efektif dengan tujuannya dalam pencegahan dan penanganan kedaruratan kesehatan.
Dalam beberapa minggu terakhir ini, 194 negara anggota dan para negara pengamat WHO di Geneva tengah berjibaku melawan waktu menyelesaikan kedua negosiasi penting tersebut. Kedua proses penguatan arsitektur kesehatan global ini yang telah dimulai sejak dua tahun lalu masih menyisakan beberapa minggu lagi hingga WHA mendatang. Tak kurang, perundingan-perundingan di atas menjadi perhatian para Menteri Kesehatan G20 yang bertemu secara daring baru-baru ini.
Baca juga: Tata Ulang Kesehatan Global
Ekuitas
Ekuitas, sebagai simbol prinsip ”fairness dan justice” merupakan masalah utama yang dihadapi dunia saat pandemi Covid-19 dan menjadi pemicu utama dimulainya proses kedua negosiasi penting tersebut.
Meskipun mudah dilafalkan, ekuitas yang mencerminkan keadilan dalam tata kelola global yang mengatur kesiapan, penanganan, maupun respons terhadap pandemik sulit diwujudkan dan memiliki beragam arti bagi banyak pihak.
Sejumlah negara berpendirian bahwa untuk jangka pendek, solusi paling mudah permasalahan tersebut adalah dengan memastikan alokasi produk kesehatan untuk penanganan pandemi lebih berkeadilan dengan memperhatikan keterbatasan sentra produksi dan rantai pasok produksi berbagai produk tersebut.
Namun bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, alokasi dan distribusi yang lebih berkeadilan tidaklah cukup.
Sementara, dalam jangka menengah dan panjang, masih sangat dibutuhkan upaya lebih kuat lagi untuk meningkatkan resiliensi kesehatan pada tingkat lokal dan regional.
Karena itu, perundingan fokus pada isu-isu strategis yang meliputi: peningkatan kapasitas surveilans penyakit; penguatan riset dan pengembangan produk vaksin, obat dan alat diagnostik; pengembangan, penguatan, dan pemerataan sentra produksi produk kesehatan; akses dan alih teknologi dan know-how; pendanaan yang berkelanjutan serta tata kelola yang transparan dan akuntabel.
”Pathogen access and benefit sharing”
Bagi Indonesia, penerapan sistem access and benefit sharing merupakan pengejawantahan prinsip ekuitas, yakni dengan memastikan bahwa akses terhadap patogen penyebab penyakit ataupun data sequene-nya diimbangi dengan pembagian manfaat yang setimpal. Manfaat dalam hal ini dapat berbentuk moneter seperti kontribusi tahunan wajib ataupun sukarela maupun nonmoneter seperti kerja sama pengembangan produk, alih teknologi dan alokasi produk kesehatan di saat krisis kesehatan.
Elemen-elemen penting ekuitas lain yang Indonesia perjuangkan adalah pembangunan kapasitas riset, akses terhadap teknologi dan alih teknologi.
Dunia menyaksikan bahwa salah satu keterbatasan pada saat pandemi Covid-19 lalu adalah masih terpusatnya sentra produksi vaksin, terapeutik, dan alat diagnostik di negara-negara maju.
Hal tersebut merupakan salah satu penyebab ketimpangan akses karena biar bagaimanapun, kapasitas produksi dunia saat ini sangat terbatas dan perlu diperluas secara geografis dan diperbanyak jumlahnya.
Proses tersebut membutuhkan pergeseran paradigma dari pendekatan yang berbasis derma dan kemurahan hati menjadi pendekatan yang berbasis kesetaraan dan kemitraan.
Indonesia juga telah memperjuangkan agar vaksin menjadi barang publik global yang aksesnya harus dimiliki semua negara secara merata.
Peran kunci Indonesia
Sejak awal pandemi Covid-19, Indonesia telah secara lantang menyuarakan equity di berbagai forum internasional saat negara-negara, khususnya negara berkembang kesulitan memperoleh vaksin, alat diagnostik, maupun produk kesehatan terkait Covid-19 lainnya.
Presiden Joko Widodo bersama 24 kepala negara lainnya dan Dirjen WHO juga telah menjadi co-author artikel opini yang mendorong pentingnya pembentukan Pandemic Treaty untuk memastikan kesiapsiagaan dan penanganan pandemi berikutnya yang lebih berkeadilan.
Indonesia juga telah memperjuangkan agar vaksin menjadi barang publik global yang aksesnya harus dimiliki seluruh negara secara merata. Tentu vaksin tersebut harus aman dan dengan harga yang terjangkau.
Untuk kepentingan nasional, saat itu Indonesia telah mengamankan kebutuhan vaksin nasional melalui berbagai kerja sama bilateral maupun multilateral. Indonesia juga telah menjembatani kepentingan nasional dengan tanggung jawab kontribusi kepada dunia yang direalisasikan melalui penandatanganan kesepakatan kerja sama industri farmasi.
Salah satu wujud nyata peran aktif Indonesia adalah kepemimpinan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, bersama Menteri Kesehatan Ethiopia dan Menteri Kerja Sama Pembangunan Kanada, sebagai Co-Chair Covax Advance Market Commitment (AMC) Engagement Group (EG).
Partisipasi aktif Indonesia telah memastikan negara berkembang mendapatkan vaksin. Hingga akhir 2023, Covax telah mendistribusikan lebih dari 2 miliar vaksin kepada 146 negara. Indonesia telah mendapatkan lebih dari 110 juta dosis dari Covax.
Rekam jejak peran kepemimpinan dan bridge-building Indonesia juga tertanam kuat di Jenewa.
Pada 2021, Indonesia bersama Amerika Serikat memimpin Kelompok Kerja untuk memperkuat peran WHO dalam kesiapsiagaan dan penanganan kedaruratan kesehatan. Kelompok kerja tersebut merupakan cikal bakal kedua proses negosiasi instrumen yang kini berlangsung.
Baca juga: Membenahi Arsitektur Kesehatan
Pada kedua proses negosiasi tersebut juga, Indonesia merupakan wakil Asia Tenggara di Biro Proses Negosiasi Amandemen IHR, dan berperan sebagai co-facilitator dalam pembahasan pasal-pasal terkait produksi berkelanjutan, alih teknologi dan distribusi produk pada Proses Negosiasi Traktat Pandemi.
Kini, batas waktu semakin dekat, tekanan politis semakin tinggi, perbedaan tajam antarposisi negara masih kental. Namun, semua negara masih berpacu menyelesaikan proses ini sebelum batas akhir pada Mei 2024, termasuk melakukan perundingan siang hingga malam.
Dengan sekitar 60 hari lagi yang tersisa hingga pembukaan Majelis Kesehatan Dunia, semua pihak—negara maju dan berkembang serta para pemangku kepentingan terkait—perlu dan harus bekerja sama untuk mewariskan arsitektur kesehatan global yang lebih responsif dan berkeadilan saat kondisi krisis, bagi kita dan anak cucu kita.
Febrian A Ruddyard,Duta Besar /Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional Lainnya di Geneva
Instagram: febrian.ruddyard