Nepotisme terutama disorot dalam bisnis dan politik. Di Indonesia, belakangan nepotisme dihubungkan dengan peran Petruk.
Oleh
SENO GUMIRA AJIDARMA
·3 menit baca
Dengan kacamata tata negara 2024, kata-kata dalam iklan tentang komik Prabu Petruk yang bermaksud menunjukkan keburukan orang berkuasa itu bisa membingungkan: jika berkuasa, dan menjauhi keluarga, bukankah seperti menjauhi nepotisme, dan artinya baik-baik saja?
Kalau diklakklik, nep dalam nepotisme ternyata dari nephews, para keponakan, yang terasalkan dari Il nipotismo di Roma (The History of Popes’ Nephews), buku tentang perilaku Paus Sixtus IV. Semasa kepausannya pada abad ke-15, banyak proyek diberikan kepada keluarga, terutama keponakannya (https://www.merriam-webster.com/dictionary/nepotism).
Nepotisme terutama disorot dalam bisnis dan politik. Di Indonesia, belakangan nepotisme selalu dihubungkan dengan peran Petruk.
Namun, dalam wayang, nepotisme tidak terlalu keliru karena feodalisme berarti jika Prabu Samiaji menjadi raja di Amartapura, adik-adiknya pun mendapat jatah: Werkudara menjadi adipati Jodipati, Janaka menjadi adipati Madukara. Juga keponakan-keponakannya: Gatutkaca yang berkuasa di Pringgandani bisa dikecualikan karena kerajaan ini diwarisi Arimbi, ibunya; tetapi Abimanyu berkuasa di Plangkawati tanpa pilkada.
Dalam pewayangan Nusantara, bagaimana Petruk bisa menjadi raja? Salah satu varian, naskah sandiwara Petruk Djadi Radja (S Hardjosoemarto, 1963) berkisah, dalam pertarungan seru untuk memperebutkan pusaka Kalimahusada, antara Mustakaweni (tandingan Srikandi) dan Bambang Priyembada, pusaka tersebut berkali-kali pindah tangan. Demi keamanan, Priyembada menitipkannya kepada Petruk.
Membawa pusaka, Petruk tergoda menggunakannya, dan mampu merebut Kerajaan Sonyawibawa. Diungkap perilaku Raja Petruk dengan nama barunya, Bèlgeduwèlbeh Tongtongsot, yang tidak sesuai dengan ’keagungan raja’, antara lain rakus, sehingga kalau makan durian atau nangka selalu termasuk pongge dan beton-nya (biji-bijinya).
Namun, dalam wayang, nepotisme tidak terlalu keliru karena feodalisme berarti jika Prabu Samiaji menjadi raja di Amartapura, adik-adiknya pun mendapat jatah.
Dari atas, Batara Guru dan Batara Narada yang khawatir atas nasib pusaka itu segera berganti wujud untuk menjaga Petruk, dan Sonyawibawa lantas berjaya. Tak kurang dari Astina, Amarta, dan Dwaraka, negeri Sri Kresna, ketika menyerang dapat ditundukkannya. Sampai Kresna minta bantuan Semar dan Gareng untuk mengalahkan Bèlgeduwèlbeh.
Benar juga, tinju Gareng membuat mahkota Bèlgeduwèlbeh terlepas, dan pusaka Kalimahusada di dalamnya jatuh ke tanah. Hilang sudah segala keberdayaannya. Betapa pun, Batara Guru mengingatkan jasa Petruk yang menyelamatkan Kalimahusada.
Soal pusaka, perlu secuil hermeneutik berlapis: panakawan adalah local genius, yang sejak abad ke-12 terlacak melakukan subversi terhadap dominasi dewa-dewa dan satria dari India; tetapi Kalimahusada, kadang Kalimusada (dari ’kalimat syahadat’) adalah representasi keberadaan Islam di Jawa. Jadi, pusaka ’surat’ yang hilang atau jatuh ke tanah, dalam sistem penandaan berarti makna ’syahadat’ kembali ke titik nol: mengaku beragama, tetapi tidak mengamalkannya.
Gerilya nepotisme
Namun, jika hermeneutik (mencari makna ’sebenarnya’) diganti semiotik (membebaskan penanda dari sumber makna tersahih), karena dikaitkan konteks semasa, ada makna lain dalam konteks nepotisme. Komik Prabu Petruk, yang diiklankan sebagai ”…. melupakan keluarganya, tak mengenal saudaranya sendiri …” yang negatif, bentuk positifnya tentu ”… kalau berkuasa jangan lupa keluarga sendiri ....”
Ini bisa sekadar bermakna ’jangan sombong’, tetapi dalam kompensasi untuk menjadi positif dapat berlaku optimalisasi: ”… utamakan keluarga dalam kesempatan apapun, apalagi untuk memperkaya diri dan memperkukuh kekuasaan ....”
Dengan logika semacam ini, ketika dalam Petruk Djadi Radja ternyata memang hanya Semar dan Gareng yang mampu menundukkannya, sangat mendukung strategi bahwa kekuasaannya itu sungguh akan lebih kuat jika keluarga mengelilinginya. Kebersalahannya mendukung pembenaran bagi nepotisme.
Dari Nusantara ke Indonesia, apakah ’nepotisme tradisional’ bisa dimaklumi tapi tak bisa dibenarkan?
Di Indonesia, kiwari orang bicara tentang praduga tak bersalah (presumption of innocence: keluarga yang direkrut belum pasti korup) untuk peradilan; tetapi mestinya lebih efisien praduga kejatuhan (presumption of fallibility: kalau keluarga korup, emang mampu bersikap tegas?) sehingga nepotisme tidak perlu diberi tempat sama sekali.
Namun, etika sosial yang dibutuhkan Indonesia itu, seberapa mungkin bekerja dalam konstruksi kultural historis Nusantara, yang memuliakan keluarga pada ruang dan waktu Indonesia?
Konflik kepentingan (conflict of interest) akan terjadi saat konstruksi kultural historis berabad-abad Nusantara bersilang-bentur dengan etika sosial, dalam demokrasi (yang maunya) modern di Republik Indonesia. Ini juga membuat kritik atas perilaku individual membuka perspektif kritik budaya—tanpa harus membuat sang nepotis bisa bilang ’bukan salah saya’.
Naskah teater kolosal Danarto (1940-2018), Bèl Geduwèl Bèh (1977) bisa membingungkan pembaca dan penontonnya karena dari awal sampai akhir tidak ada peran Petruk maupun Bèlgeduwèlbèh Tongtongsot. Namun, naskah tiada tara ini memang menghadirkan pergulatan kekuasaan.
Dalam akhir cakapannya terbaca: ”Presiden, sih, gampang dibikin. Tiap kali kamu berak, kamu bisa menobatkan seorang presiden baru. Yang kita butuhkan adalah seorang pemimpin.” (Danarto 2015, 146).
Pemimpin terbaik mampu memberlangsungkan praduga kejatuhan: lebih baik tiada keluarga di ruang kerja, yang jika bermasalah akan sulit diganyangnya. Jika tidak, dia cuma presiden—siapa pun presidennya.
Seno Gumira Ajidarma, Penulis Partikelir di Jakarta