logo Kompas.id
OpiniPetruk Jadi Ratu
Iklan

Petruk Jadi Ratu

Oleh
SUWIDI TONO
· 6 menit baca

Salah satu kisah dalam babad pewayangan yang populer di kalangan masyarakat Jawa adalah lakon Petruk Jadi Ratu. Lakon ini wujud sarkasme atas sebuah periode saat wibawa kerajaan ambruk, para bangsawan dan elite kerajaan sibuk berebut kuasa, adigang adigung adiguno (pamer jabatan dan kepongahan), dan nasib kawulo (rakyat) ditinggalkan. Pendeknya, situasi menggambarkan merajalelanya wabah ketidakpatutan.

Sebagai kawulo, Petruk geram dengan situasi ini, lantas muncul nafsu rumongso iso (merasa bisa dan memproklamasikan diri menjadi raja. Namun, seperti kondisi yang dikritiknya, ia juga segera jatuh terjerembap ke kubangan buruk kekuasaan: gila kuasa-hormat-kemewahan. Setelah ditegur ayah sekaligus gurunya, Kiai Semar, Petruk lantas sadar, iso rumongso (bisa merasa) dan kembali melakoni perannya sebagai rakyat biasa yang berupaya tidak jadi beban negara.

Perlambang kusut nilai yang melahirkan fenomena banyak ”Petruk” kini juga tengah melanda Republik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyeret ratusan pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, dan swasta ke penjara. Namun, tak ada tanda-tanda kejahatan luar biasa itu surut atau berkurang. Bahkan, mulai dijumpai dorongan melakukan korupsi dipicu sifat rakus, serakah, dan tamak akibat kewenangan tanpa kontrol kuat.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000