Pangkal perselisihan hasil pilpres kali ini nepotisme level tertinggi. Putusan MK tak boleh mengingkari jiwa anti-KKN.
Oleh
YONKY KARMAN
·4 menit baca
Apa pun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan hasil pemilihan umum nanti bukan semata-mata soal hukum, melainkan juga masa depan demokrasi Indonesia. Dalam praktiknya, hukum dan demokrasi tidak harus berkelindan, tetapi kelindan itu suatu keniscayaan sebagai jalan kemajuan Indonesia pascareformasi.
Negara satu partai seperti China tidak demokratis, tetapi penegakan hukumnya lebih baik dari Indonesia. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) China pada 2023 adalah 42 (peringkat ke-76 dari 180 negara). Tidak heran negeri itu sudah lama menjadi tujuan investasi negara-negara demokratis dan kini menjadi salah satu negara dengan perekonomian terkuat. Belakangan, relokasi investasi dari China menyasar Vietnam, juga bukan negara demokratis dengan skor IPK 41 (peringkat ke-83).
Skor IPK Indonesia 34 (peringkat ke-115), jauh tertinggal 32 peringkat dibandingkan dengan Vietnam. Membandingkan dengan skor IPK Singapura 83 (peringkat ke-5), juga bukan negara demokratis, semakin terlihat memang tiada korelasi antara demokrasi dan kualitas negara hukum (dalam hal ini pemberantasan korupsi).
Orang tetap berani berinvestasi di Singapura meski biaya investasinya tinggi dan margin keuntungannya lebih kecil dibandingkan dengan di Indonesia, tetapi tingkat kepastian hukum di sana terjamin. Berinvestasi di negara yang masih terbelit korupsi birokrasi, tidak hanya berbiaya tinggi, tetapi juga iklim kompetisi bisnisnya tidak sehat karena hukum yang berlaku adalah siapa yang berani menyuap pejabat.
Produk reformasi
Apakah tidak berlebihan harapan untuk MK memutus perkara pemilu yang menyangkut demokrasi? Wewenang MK tidak hanya menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan memutus perselisihan hasil pemilu, tetapi juga memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 dan memutus pembubaran partai politik.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu anak kandung reformasi yang lahir pada 2003 (negara ke-78 di dunia yang memiliki institusi sejenis), yang pertama lahir pada abad ke-21. Pascareformasi, pemilu di Indonesia baru terhitung demokratis (pengecualian Pemilu 1955).
Dengan begitu, MK juga anak kandung demokrasi pascareformasi. Salah satu produk hukum reformasi adalah TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Salah satu pertimbangan hukumnya berbunyi, ”Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden … yang berakibat tidak berfungsinya dengan baik lembaga tertinggi negara dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, serta tidak berkembangnya partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Produk putusan hukum MK seharusnya tidak boleh mengingkari jiwa anti-KKN dalam pertimbangan dan putusannya.
Putusan hukum Pasal 2 berbunyi, ”Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara” dan untuk itu ”penyelenggara negara harus jujur, adil, terbuka, dan tepercaya serta mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Putusan hukum Pasal 4 berbunyi, ”Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”.
Mengingat tingginya kedudukan produk hukum MPR, bahkan kelahiran produk hukum ini dijiwai semangat reformasi, maka produk putusan hukum MK seharusnya tidak boleh mengingkari jiwa anti-KKN dalam pertimbangan dan putusannya.
Legasi buruk
Hal yang menjadi pangkal perselisihan hasil pilpres kali ini adalah nepotisme pada level tertinggi. Nepotisme di level daerah dan struktur pemerintah yang lebih rendah sudah sering terjadi, menjadi bahan omongan tetapi nyaris tanpa koreksi.
Sebagian pemilih Pilpres 2024, termasuk kaum terpelajar, berargumentasi bahwa tidak ada yang keliru dengan pencalonan putra presiden ketika sang ayah masih menjabat karena praktik serupa sudah lazim di mana-mana. Kelaziman menjadi kebenaran.
Dengan pilpres kali ini, sempurna sudah nepotisme dan ke depan bakal lebih merajalela. Efek cawe-cawe presiden yang di luar kepatutan politik bukan hanya pada hasil pemilu, melainkan pada robohnya independensi institusi penunjang negara demokratis. Pertama, robohnya independensi MK, pengaman fondasi bernegara. Ketua MK mengetok palu sebuah putusan kontroversial yang mengubah aturan kompetisi.
Kedua, robohnya independensi tripartit penyelenggara pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam keputusan menerima pendaftaran calon wakil presiden di atas tanpa merevisi peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Malaadministrasi itu tanpa koreksi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Akhirnya, ada ”sanksi peringatan keras” dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), tetapi itu diberikan ketika sembilan hari sebelum pencoblosan.
Ketiga, partai politik yang sangat sadar dengan norma-norma demokrasi pun memanfaatkan putusan cacat konstitusional hanya untuk kepentingan elektoral yang bersifat jangka pendek (mendudukkan wakilnya di Senayan). Pengkhianatan di lingkungan partai pun menjadi tontonan vulgar, dilakoni sosok-sosok yang seharusnya menjadi teladan dalam merawat kepeloporan partai, agar menurut visi Bung Karno, yang idealnya membidani kelahiran masyarakat baru.
Indonesia maju membutuhkan kompetisi sehat dalam berdemokrasi yang akan membuat bangunan demokrasi Indonesia semakin kuat dan berkualitas (tidak hanya prosedural), menghasilkan pemimpin terpilih yang terbaik dan kuat legitimasinya. Sangat disayangkan, presiden meninggalkan legasi yang bertolak belakang dengan semangat anti-KKN.
Alih-alih mengurangi cacat-cacat pemilu sebelumnya, kecacatan itu dieksploitasi dan dipertontonkan secara vulgar. Di tengah masih kuatnya paternalisme dan feodalisme birokrasi kita, cawe-cawe presiden merusak netralitas bawahan. Tidak perlu instruksi atau intervensi langsung presiden, bawahan yang baik akan menangkap dan menerjemahkan restu presiden. Rusak pula a free and fair election (Dahl).
Indonesia maju membutuhkan kompetisi sehat dalam berdemokrasi yang akan membuat bangunan demokrasi Indonesia semakin kuat dan berkualitas.
Pemilu demokratis bukan hanya soal rakyat punya pilihan, tetapi layaknya suatu kompetisi, penyelenggaraannya juga harus bebas dan adil. Bebas dari pengondisian yang dilakukan pihak berkuasa. Pemilih bebas dari intimidasi atau iming-iming atau penggiringan pilihan di luar kampanye resmi. Semua kontestan berangkat dari titik yang sama.
Menyalip di tikungan terakhir bak Valentino Rossi mengundang decak kagum karena dilakukan dengan keterampilan tingkat tinggi, tetapi bukan dengan perubahan aturan kompetisi. Dengan menjunjung sportivitas dan keterampilan, gelar juara raihan atlet yang terbukti doping pun akan dianulir.
Moto Olimpiade citius, altius, fortius (lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat) bukan cuma slogan, hasilnya adalah rekor demi rekor prestasi olahraga pecah. Pemilu demokratis kita seyogianya semakin baik dari waktu ke waktu.
Yonky Karman, Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta