Profesor yang Produktif dan Profesor yang Mandul
Banyak penghargaan diberikan kepada dosen dan peneliti berdasarkan ”ter” sehingga banyak yang mengejarnya.
Saat ini ramai diperbincangkan, seorang profesor Indonesia, muda usia, baru dikukuhkan Januari 2024, mampu menerbitkan 160 artikel di jurnal selama tahun 2024 yang baru berjalan 3,5 bulan ini.
Ratusan artikel ini mudah dicari dengan menuliskan nama sang profesor dan 2024 di laman Google Scholar. Terlepas dari soal pencatutan nama dosen Malaysia yang masih dalam proses bantah-membantah, penulis lebih fokus pada angka 160.
Sekalipun tak semuanya terbit pada jurnal bereputasi dan merupakan terbitan bersama mahasiswa atau kolega dan proses submission-nya mungkin dimulai sejak beberapa bulan atau tahun lalu, 160 artikel dalam 100 hari adalah luar biasa.
Sayangnya, kita tak terbiasa kritis. Semua yang serba ”ter”— tercepat, termuda, terbanyak, terproduktif—masih menjadi dasar pemberian penghargaan (award). Banyak penghargaan diberikan kepada dosen dan peneliti berdasarkan ”ter” sehingga banyak yang mengejarnya sekalipun prosesnya tak wajar.
Baca juga: Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual
Penyematan gelar
Penulis tak ingin membahas lebih jauh para profesor atau mereka yang mampu menjadi terproduktif. Sebagai sesama profesor, penulis justru sedang becermin. Jelas penulis tak masuk kelompok terproduktif, tetapi juga tak berharap masuk kelompok termandul, tidak menghasilkan 160, tetapi nol.
Dari pengamatan penulis sebagai visiting scholar di Purdue University saat ini, di Purdue, seperti di universitas negara maju lain, gelar profesor tak disematkan di depan nama, tetapi di bawah nama. Terkadang bahkan tak disematkan.
Hal ini berbeda dengan profesor Indonesia yang gemar menyematkan tulisan ”prof” di depan nama, termasuk dalam penamaan profil Whatsapp, Telegram, atau media komunikasi lain. Gelar pendidikan melekat sampai mati dan diakui di mana pun sepanjang menempuh pendidikan secara resmi dan baku sehingga layak disematkan pada nama secara langsung.
Namun, keprofesoran sifatnya lokal dan hanya melekat saat masih terikat pekerjaan mengajar, riset, dan pengabdian. Gelar doktor penulis diakui di Purdue, dituliskan dalam setiap aktivitas yang penulis lakukan di sana, tetapi tidak dengan keprofesoran penulis.
Ketika mengisi seminar di internal Purdue, moderator yang juga profesor mitra, menyebut penulis doktor, bukan profesor. Sebelumnya, dia sempat mengonfirmasi, ”… and you are a professor of architecture, right?” Penulis mengiyakan dan bercerita bahwa profesor di Indonesia levelnya negara dan surat keputusan (SK) ditandatangani menteri.
”Really? Your professorship must be special then,” komentarnya. Mestinya demikian, tetapi benarkah? Terkait gelar ini, penulis pernah berdebat dengan tim kartu nama di kampus yang berkeras meletakkan ”prof” di depan nama, sementara penulis merasa tak perlu, atau maksimal di bawah nama. Bagi penulis, kartu nama untuk dibagikan kepada kolega asing guna menjajaki kesempatan kolaborasi riset internasional dengan negara maju, yang kurang mengenal ”prof” di depan nama.
Selain terlibat diskusi terkait angka 160 yang mengejutkan, sejak awal tahun ini penulis juga menerima berita mengejutkan, tapi menggembirakan.
Banyak penghargaan diberikan kepada dosen dan peneliti berdasarkan ”ter ” sehingga banyak yang mengejarnya sekalipun prosesnya tak wajar.
Ada cukup banyak teman di masa sekolah, teman masa kecil, dan teman kerja, dikukuhkan menjadi profesor. Sebenarnya tak mengejutkan karena sekarang proses pengusulan profesor sampai ke tingkat kementerian lebih transparan dan jelas waktunya.
Jangan menjadi mandul
Menjadi profesor adalah kebanggaan setiap dosen dan peneliti—yang bukan dosen dan peneliti pun bisa mendapatkannya di Indonesia—karena memberikan kesan mentereng.
Sayangnya, setelah bersusah payah mengejarnya, para profesor kemudian terkelompokkan menjadi tiga. Pertama, yang sangat produktif, dan agar makin mentereng kadang melakukan hal-hal yang tidak wajar.
Kedua, yang mandul, karena sudah merasa menang dan pengukuhan adalah puncaknya sehingga kurva produktivitas turun tajam. Bahkan, untuk keperluan pelaporan sertifikasi dosen, sampai memanipulasi buku dari sesuatu yang ”bukan buku”.
Ketiga, kelompok yang sedang-sedang saja.
Saya berharap berada di dalam kelompok terakhir, yaitu yang masih berusaha mempertahankan kelayakan sebagai profesor meski belum mampu berbuat luar biasa.
”Distinguished” tak sama dengan produktif
Di banyak negara maju dikenal istilah distinguished professor, yang baru penulis baca definisinya saat menerima undangan visiting scholar dari Purdue. Ketua departemen adalah seorang distinguished professor dan mitra riset saya seorang ”profesor biasa”.
Gelar mereka tertulis di bawah nama dalam undangan sehingga membuat penulis ingin tahu. Distinguished professor adalah profesor dengan produktivitas luar biasa dari aspek riset, publikasi, dan implementasi yang diakui secara internasional. Seperti pemberian gelar profesor yang jadi kewenangan setiap universitas, pemberian gelar distinguished pun bersifat internal, tetapi diikuti dengan tanggung jawab luar biasa, bukan sekadar mengejar ”terbanyak-tercepat”.
Bahkan, kalau penulis amati, banyak profesor di Purdue yang sangat aktif-produktif secara kualitas dan reputasi, tetapi masih tetap ”profesor biasa”. Inilah yang membuat penulis becermin, penulis yang sudah merasa aktif-produktif ternyata belum apa-apa. Merasa di kelompok ”profesor tengah” kalau di Indonesia, di Amerika ternyata jadi profesor nol.
Baca juga: Publikasi Ilmiah yang Kian Berfokus Kualitas dan Menjaga Integritas
Dengan rajin presentasi dan membagikan kartu nama saat bertemu kolega asing, semoga menjadi jalan untuk bisa terus berkolaborasi internasional. Tidak untuk menjadi distinguished professor lewat cara top-scorer, tetapi lebih untuk menjaga marwah sebagai profesor agar tidak masuk ke kelompok mandul yang harus memanipulasi sana-sini agar tunjangan sertifikasi tetap mengalir.
Christina Eviutam Mediastika, Dosen Universitas Ciputra Surabaya, Fulbright Visiting Scholar di Purdue University