Jokowi memang sedari awal sudah menyiapkan ”dinastinya” sehingga ia membiarkan saja dirinya dijadikan obyek perdebatan.
Oleh
JB KLEDEN
·4 menit baca
Opini Asvi Marwan Adam, ”Metamorfosis Seorang Presiden” (Kompas, 27/3/2024), merangsang untuk melihat kekuasaan Presiden dengan cara lain.
Penggambarannya mengenai campur tangan Presiden Joko Widodo dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres berpasangan dengan Prabowo Subianto mengingatkan pada proses Gus Dur (Abdurrahman Wahid) menjadi presiden pada tahun 1999. Gus Dur menjadi presiden saat itu tak dibayangkan banyak orang.
Akan tetapi, apa yang tidak mungkin itu menjadi mungkin karena campur tangan kekuasaan melalui Poros Tengah.
Tokohnya adalah Amien Rais. Semula, Amien Rais mendukung Megawati Soekarnoputri, tetapi kemudian berbalik. Kemunculan Gus Dur mengejutkan karena yang amat dijagokan saat itu adalah BJ Habibie dan Megawati. Singkat cerita, Amien Rais dengan kekuasaannya sebagai Ketua Umum MPR melakukan semacam penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Apakah Jokowi melakukan abuse of power untuk Gibran? Jawaban yang beretika, Jokowi adalah king maker-nya. Wawan Sobari dalam artikelnya, ”Reinterpretasi King Maker 2024” (Kompas, 24/9/2022), mendefinisikan king maker sebagai individu yang menentukan kepemimpinan melalui pengaruh politiknya karena memiliki kuasa besar untuk menjadikan seseorang sebagai kandidat di pemilu.
Kandidat yang dipilih bisa searah dengan dukungan publik atau tak searah.
Seperti Gus Dur, kemunculan Gibran terkesan ad hoc. Kalau Amien, politikus partai yang dengan mudah memanfaatkan Poros Tengah, Jokowi politikus non-partai, tetapi ia masuk dalam keputusan elektoral warga. Ini yang menyebabkan partai koalisi Prabowo seperti kehilangan kuasa untuk menolak Gibran sesuai dengan aspirasi king maker.
Meskipun demikian, terpilihnya Prabowo-Gibran tidak seluruhnya ditentukan pengaruh Jokowi jika dibandingkan dengan perolehan suara PSI yang dinakhodai Kaesang Pangarep, putra Jokowi juga. Kita percaya bahwa mayoritas rakyat memilih Prabowo-Gibran karena program mereka lebih realistis dan menjanjikan.
Hal ini tampaknya disadari betul oleh kubu 01 dan 03 sehingga dalam sengketa pilpres lebih banyak memunculkan Presiden sebagai obyek perdebatan. Namun, Presiden tidak dihadirkan untuk menjelaskan sikap dan kebijakan politiknya. Bahkan, ia seperti tak menggubrisnya.
Psikopolitik Jokowi
Kenapa Presiden diam saja? Kemungkinan yang paling masuk akal karena 01 dan 03 sama-sama berjasa untuknya. Jokowi bukan orang yang tak tahu jasa PDI Perjuangan untuknya dan Gibran. Alasan lain, Jokowi memang sedari awal sudah menyiapkan ”dinastinya” sehingga ia membiarkan saja dirinya dijadikan obyek perdebatan.
Psikopolitik yang dimainkan ini berhasil menarik simpati publik sehingga ketika ia disebut-sebut melakukan nepotisme pencalonan Gibran, publik tetap mendukungnya.
Kebutuhan dasar pilpres adalah agar kita memiliki seorang presiden memimpin negeri ini. Bukan kekuasaan.
Jokowi paham betul, kekuasaan bukan subyektivitas, bukan leadership, melainkan struktural dan simbolis. Kekuasaan menjadi kuat kalau bekerja dalam jaringan sehingga ia mengatur subyek, obyek, dan proses kekuasaan. Dominasi ini tidak hanya menembus tubuh sosial, tetapi juga merangsek sampai pada perilaku yang paling individual dan intim.
Cawe-cawe, duduk makan bersama dengan ketua umum partai, adalah upaya penjinakan parpol. Alasannya klise. Presiden ingin menjamin agar pilpres dan pemilu legislatif berjalan lancar demi kepentingan bangsa dan negara. Dan, kita semua seperti terpukau dengan gestur ini.
Memang, sangat sukar dinalar dari perspektif pembangunan kehidupan perpolitikan yang sehat dan bermartabat melihat seorang Jokowi bermetamorfosis seperti itu. Namun, dalam proses politik kekuasaan di mana-mana di muka bumi ini, tak ada yang mustahil.
Maka, sudahlah. Dari hiruk pikuk ini, ada pelajaran penting yang perlu dicermati. Pertama, Jokowi amat mahir memainkan psikopolitik menarik simpati publik. Ia memadukan penggunaan kekuasaan otoritatif yang bersifat maskulin dengan kekuasaan kooperatif yang feminin. Ia mengandalkan kekuatan penguasaan diri, kekuatan tindakan nyata, dan kekuatan hubungan-hubungan.
Prabowo-Gibran akan melanjutkan pola ini untuk mempertahankan dukungan publik yang bersimpati dan mencintai Jokowi. Maka, jika 01 dan 03 memutuskan menjadi oposisi, hendaknya berusaha lebih keras memainkan psikopolitik tandingan merebut simpati publik dan dengan itu lebih kapabel mengoreksi sikap dan kebijakan Prabowo-Gibran nantinya.
Melancarkan kecaman seperti yang dilakukan dalam kampanye/debat Pilpres 2024 sudah terbukti tidak mampu menarik simpati publik.
Kedua, metamorfosis Presiden menunjukkan persatuan politik itu amat rentan kepentingan. Konstruksi keindonesiaan kita adalah hasil rekonfigurasi terus-menerus. Rekonfigurasi ini kadang melahirkan luka dan peradangan yang bisa membuat bangsa ini terkoyak. Kebutuhan dasar pilpres adalah agar kita memiliki seorang presiden memimpin negeri ini. Bukan kekuasaan.
Pemilu sudah selesai. Di saat negeri ini menghajatkan ketenangan agar rakyat bisa membangun hidupnya dengan nyaman, kita berharap apa pun keputusan MK diterima dengan lapang dada. ”Masa depan Indonesia adalah 200 juta mulut yang menganga”, tulis penyair Taufiq Ismail, ”Kembalikan Indonesia padaku”.
JB Kleden,Dosen Institut Agama Kristen Negeri Kupang