Reinterpretasi ”King Maker” 2024
Penguatan arah dukungan politik rakyat terhadap politikus kandidat presiden belum tentu "sesuai" dengan aspirasi para king maker. Parpol tampak kehilangan kuasa terhadap opini yang mendukung politikus bakal kandidat itu.
Didie SW
Para penentu kepemimpinan (king maker) mulai unjuk kuasa menjelang suksesi 2024. Mereka itu semuanya ketua umum parpol, yang bermanuver membangun koalisi sekaligus mencari calon presiden 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Namun, ada situasi paradoks. Di satu sisi terjadi penguatan arah dukungan politik rakyat terhadap politikus kandidat presiden. Di sisi lain, parpol tampak kehilangan kuasa terhadap opini yang mendukung politikus bakal kandidat itu. Artinya, tak semua figur ”sesuai” dengan aspirasi para king maker. Mengapa king maker tidak sepenuhnya efektif?
Kepercayaan parpol
Literatur ilmu politik mendefinisikan king maker sebagai individu yang menentukan kepemimpinan melalui pengaruh politiknya. Mereka memiliki kuasa besar untuk menjadikan seseorang sebagai kandidat dalam kompetisi politik.
Terdapat dua kemungkinan arah keputusan politik sang penentu kepemimpinan. Pertama, ia memutuskan kandidat yang ia pilih sesuai arah dukungan politik rakyat. Kedua, keputusan politik king maker tak searah dengan opini publik.
Mengapa king maker tidak sepenuhnya efektif?
Pilihan kandidat dan kepentingan king maker memang tidak selamanya selaras. Dalam demokrasi, arah opini publik tidak mudah ”disesuaikan” dengan kepentingan elite. Berdasarkan pertimbangan rasional atau emosional, publik relatif mandiri menentukan keputusan politiknya.
Selain itu, situasi kepercayaan terhadap parpol berisiko terhadap peran eksklusif king maker dalam kandidasi. Survei nasional Indopol (Juni-Juli 2022) menemukan kepercayaan terhadap parpol 64,07 persen. Namun, sedikit sekali yang mengaku sebagai anggota (1,22 persen) ataupun simpatisan parpol (6,26 persen).
Data tersebut mengindikasikan keterikatan terhadap parpol lemah atau di sisi lain menunjukkan tingginya kemandirian publik. Oleh karena itu, sulit bagi para king maker untuk memaksakan pilihannya dalam kandidasi kepemimpinan 2024. Ia perlu mempertimbangkan pendapat publik.
Modal politik
Sebagai alternatif atas peran king maker, determinan kelayakan kandidasi bisa dijelaskan melalui konsep modal politik.
Dalam tulisan-tulisan Bourdieu, modal politik mengacu pada modal simbolik, yaitu reputasi yang terkait dengan kemasyhuran (Swartz, 2013).
Dalam kajian politik elektoral, dijelaskan sebagai kepemilikan sumber daya politik (kekuasaan) yang diakumulasikan melalui hubungan pengaruh. Dalam hal ini kepercayaan atau keuntungan antara politikus atau parpol dengan warga langsung ataupun tidak langsung.
Melalui riset opini, modal politik bisa diketahui melalui pengukuran kognisi berupa pengetahuan atau pengenalan dan afeksi berupa kesukaan yang berfungsi membentuk tingkat keterpilihan atau elektabilitas.
Bagi politikus, modal politik tidak cukup diinterpretasikan sebagai kemampuan mobilisasi dukungan. Indikasinya bisa dilihat dari tren elektabilitas capres 2024 yang didominasi politikus nonpejabat parpol.
Relevansi urgensi modal politik juga bisa diketahui dari fenomena sukarelawan politik pilpres dan pilkada.
Rangkaian data survei SMRC (Desember 2021-Agustus 2022) melalui simulasi tertutup lima nama menunjukkan tren peningkatan elektabilitas dua politikus nonstruktur parpol (Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan). Sebaliknya, tiga politikus pejabat parpol (Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, dan Puan Maharani) menurun.
Data lainnya, simulasi 10 nama politikus capres 2024 hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (Agustus 2022) menunjukkan dominasi tokoh nonpetinggi parpol. Bahkan, agregat elektabilitas enam politikus nonpejabat parpol (62,6 persen) jauh lebih tinggi dari agregat elektabilitas empat politikus pejabat parpol (28,8 persen). Ganjar, Anies, dan Ridwan Kamil adalah tiga politikus nonstruktur parpol dengan capaian elektabilitas dua digit.
Relevansi urgensi modal politik juga bisa diketahui dari fenomena sukarelawan politik pilpres dan pilkada. Empat dari delapan naskah jurnal terpublikasi menjelaskan musabab kemunculan sukarelawan. Mereka eksis karena mengkritik ruang demokrasi yang didominasi parpol dan perbedaan aspirasi kepemimpinan politik.
Muncul pula fenomena Jokowi sebagai politikus nonpejabat parpol yang tetap masuk keputusan elektoral warga. Meskipun secara konstitusional tidak bisa mencalonkan lagi, survei SMRC (Agustus 2022) menemukan dukungan spontan (12,6 persen) terhadap Jokowi sebagai capres. Angka elektabilitasnya memang turun, tetapi dukungan itu menunjukkan modal politik Jokowi sebagai king maker.
SMRC menggelar survei pada Februari 2022 guna mengetahui kecenderungan pilihan presiden pada pemilih kritis yang tidak mudah dipengaruhi dan bisa memengaruhi pemilih lain. Kesempatan mengakses informasi sosial-politik via ponsel menjadikan mereka kapabel menilai berbagai persoalan. Populasi pemilih kritis sekitar 72 persen dari pemilih nasional.
Baca juga : Wacana Presiden Rekandidasi Wakil Presiden
Pemilih kritis
Hasil riset opini tersebut tidak jauh beda dengan hasil survei nasional SMRC terbaru (Agustus 2022). Urutan politikus yang mendapat dukungan pemilih kritis, spontan maupun simulasi, tetap didominasi politikus nonpejabat parpol.
Revolusi teknologi informasi telah mengubah lingkungan komunikasi politik dan menumbuhkan pemilih kritis. Berita dan wacana politik tak lagi monoton satu sumber otoritatif, tetapi dari beragam sumber, platform, saluran, dan format komunikasi politik. Publik tidak hanya konsumen media, tetapi juga produsen pesan (Coleman dan Freelon, 2015).
Pentingnya memahami perilaku pemilih kritis menguatkan urgensi perubahan gagasan dan posisi penentu kepemimpinan.
Pentingnya memahami perilaku pemilih kritis menguatkan urgensi perubahan gagasan dan posisi penentu kepemimpinan. Pertama, king maker tak bisa lagi elite sentris. Publik semakin independen dan kritis menentukan pilihan.
Kedua, modal politik capres tak cukup hanya mobilisasi struktur parpol. Bekerjanya politik elektoral saat ini justru ditopang kekuatan politik nonparpol seperti sukarelawan.
Ketiga, gagasan king maker sebaiknya diperluas menjadi welfare maker—lebih banyak menawarkan gagasan kesejahteraan kepada rakyat—untuk mereduksi fungsi mobilisasi dukungan. Hasil exit poll Pilpres 2019 oleh SMRC menunjukkan dominasi nalar rasional saat memilih presiden-wapres. Mayoritas memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf (47 persen) dan Prabowo-Sandi (41 persen) karena program yang mereka janjikan lebih meyakinkan.
(Wawan Sobari Dosen Bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya)