Depresi yang dialami para calon dokter spesialis menunjukkan ada masalah dalam sistem pendidikan dokter spesialis.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Depresi yang dialami para calon dokter spesialis tidak bisa dilihat semata sebagai masalah pribadi para mahasiswa tersebut. Penting melihat sistem pendidikan para calon dokter spesialis.
Hasil penapisan kesehatan jiwa terhadap mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) yang dilakukan Kementerian Kesehatan tersebut (Kompas, 16/4/2024) memang belum sampai mengungkap penyebab depresi. Namun, dengan banyaknya mahasiswa PPDS yang mengalami gejala depresi, menjadi penting melihat bagaimana para mahasiswa tersebut menjalani pendidikannya. Ada apa dengan sistem pendidikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan milik Kemenkes?
Dari skrining terhadap 12.121 mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit milik Kemenkes pada Maret 2024, sebanyak 22,4 persen mahasiswa mengalami gejala depresi. Sebanyak 3,3 persen atau 399 orang di antaranya mengalami gejala depresi berat. Mereka mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri.
Angka-angka ini bukanlah jumlah yang sedikit untuk kasus kesehatan mental dalam satu jenjang pendidikan dan tentu juga bukan sebuah kebetulan para mahasiswa tersebut sama-sama mengalami depresi.
Jika kita tengok ke belakang, kondisi para mahasiswa tersebut relevan dengan pemberitaan di media massa pada medio 2023. Saat itu, sejumlah media memberitakan kasus perundungan yang dialami para mahasiswa PPDS, pelakunya terutama para senior di PPDS. Terkait hal ini, Kemenkes juga membuka dua saluran pelaporan kasus perundungan melalui kanal di situs web Kemenkes dan nomor telepon (hotline).
Hasilnya, dalam jumpa pers Kemenkes yang juga diunggah di kanal Youtube pada 21 Juli 2023, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap adanya praktik perundungan terhadap mahasiswa PPDS di sejumlah rumah sakit milik Kemenkes. Para mahasiswa PPDS tersebut mendapat tekanan secara fisik, mental, juga finansial dari para senior.
Kemenkes pun menegur tiga rumah sakit atas kasus perundungan terhadap mahasiswa PPDS tersebut (Kompas.id, 17/8/2023). Tiga rumah sakit itu adalah RS Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin, dan RS H Adam Malik.
Sejauh ini belum ada informasi bagaimana tindak lanjut teguran tersebut. Namun, yang jelas, dari hasil skrining kesehatan jiwa terhadap mahasiswa PPDS, mahasiswa dari RS Cipto Mangunkusumo dan RS Hasan Sadikin termasuk yang paling banyak terindikasi mengalami gejala depresi. Tentu ini juga bukan sebuah kebetulan.
Dari kasus tersebut, kita tidak bisa menafikan bahwa kasus perundungan dan depresi yang dialami para mahasiswa PPDS tersebut berkaitan. Korban perundungan, ketika tidak dapat membela diri dan terpaksa berada dalam situasi tersebut karena senior mempunyai andil menentukan nilai, berpotensi mengalami depresi.
Ini seperti terjadi pada kasus-kasus perundungan pada umumnya yang terjadi karena ada ketimpangan relasi kuasa. Dalam beberapa kasus, yang paling fatal, korban perundungan bunuh diri.
Dari kasus tersebut, kita tidak bisa menafikan bahwa kasus perundungan dan depresi yang dialami para mahasiswa PPDS tersebut berkaitan.
Bukan hanya menyebabkan mahasiswa PPDS depresi, perundungan juga bisa menyebabkan mahasiswa PPDS putus kuliah. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan sebuah platform edukasi kedokteran daring pada 30 April 2023 dan disiarkan di kanal Youtube, seorang dokter memberikan testimoni, dia berhenti kuliah calon dokter spesialis karena perundungan yang dialaminya.
Hal itu dia sampaikan dalam sesi tanya jawab dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin. Moderator acara tersebut, yang juga seorang dokter, membenarkan bahwa praktik perundungan terhadap mahasiswa PPDS nyata adanya dan sudah berlangsung puluhan tahun dan cenderung ditutupi.
Langkah Kemenkes untuk segera menangani para mahasiswa yang mengalami depresi dengan memberikan perawatan patut diapresiasi. Ini langkah mendesak agar tidak berdampak semakin parah, apalagi terhadap 339 mahasiswa PPDS yang mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri. Ini gejala depresi berat yang mendesak diatasi.
Lebih dari itu, kasus ini menunjukkan ada masalah dalam program pendidikan dokter spesialis di rumah sakit milik Kemenkes. Kasus ini bisa menjadi pijakan bagi pemangku kepentingan terkait untuk mengevaluasi sistem pendidikan dokter spesialis di rumah sakit-rumah sakit tersebut. Jika sumber masalahnya memang perundungan, ini masalah darurat yang perlu penanganan secara sistemik.
Perundungan di mana pun itu dan terhadap siapa pun tidak dibenarkan, apalagi ini terjadi di lembaga pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi tradisi ilmiah, juga moral. Perilaku perundungan juga bertentangan dengan kode etik kedokteran, kumpulan norma untuk menuntun dokter di Indonesia ketika berpraktik di masyarakat.
Karena itu, masalah ini tidak hanya menghambat upaya untuk mengatasi kekurangan jumlah dokter spesialis, tetapi juga memengaruhi layanan kesehatan bagi masyarakat. Bagaimana para dokter itu akan dapat melayani masyarakat dengan baik dan optimal jika dirinya sendiri juga bermasalah, baik korban maupun pelaku perundungan. Pemerataan layanan kesehatan juga sulit tercapai karena jumlah dokter spesialis kurang.