Sentralitas ASEAN yang menempatkan ASEAN sebagai pemain utama, atau paling tidak pemain penting, di Asia Tenggara, memudar. Filipina yang menghadapi ancaman kedaulatan di Laut China Selatan atau LCS tidak lagi meminta tolong ASEAN.
Dalam pertemuan pada 11 April 2024, Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr sepakat melakukan patroli angkatan laut bersama. Sebelum itu, Filipina melakukan kesepakatan dengan Australia (November 2023), dan dengan Vietnam (Januari 2024).
Sebelumnya, ASEAN gagal menjadi pemain penting dalam penyelesaian masalah di Myanmar. Padahal, ASEAN sudah mengajukan ”Konsensus Lima Butir”. Isinya lebih kurang penghentian kekerasan, dan peran sentral ASEAN dalam penyelesaian masalah.
Baca juga: Pertemuan AS-Jepang-Filipina, Arsitektur Baru Keamanan Indo-Pasifik
Konsensus diajukan beberapa bulan setelah militer mengambil alih kekuasaan pada Februari 2021. Rezim militer di bawah Min Aung Hlaing bahkan tidak berpura-pura tunduk pada konsensus itu. Perang saudara terus berlangsung dan meluas, demikian pula pelanggaran hak asasi. Berbagai kelompok perlawanan muncul di seluruh negeri, melawan rezim.
Perang saudara di halaman depan ASEAN ini mengakibatkan kesengsaraan dan pengungsian domestik. Sementara tetangganya hanya bisa menjadi penonton. Ditambah kegagapan Indonesia menangani kedatangan pengungsi Rohingya, lengkap sudah ketidakmampuan ASEAN (dan Indonesia) menangani masalah krusial di kawasannya.
Sentralitas ASEAN
Sentralitas adalah menonjolnya suatu unit. Unit itu menonjol karena posisi struktural, status, prestise, atau keterlihatannya dalam berbagai keadaan (Peter Marsden, 2005, Encyclopedia of Social Measurement). Sentralitas unit terefleksikan dalam intensitas interaksi dengan lingkungannya.
Sentralitas ASEAN termaktub dalam berbagai dokumen seperti Piagam ASEAN dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. Intinya, antara lain, ”ASEAN jadi pendorong utama dalam hubungan dan kerja sama dengan kekuatan luar kawasan; berperan penting dalam arsitektur kawasan yang ditujukan untuk saling mendukung dan memperkuat; serta jadi pijakan untuk mengatasi tantangan bersama”.
Dua terjemahan ”sentralitas” itu menunjukkan bahwa saat ini ASEAN bukan aktor sentral. Memudarnya sentralitas karena ASEAN tidak berani bersikap tegas walaupun masalah ada di hadapannya.
Di LCS, publik Indonesia sudah mengemukakan apa sumber ancamannya. Hasil survei (Maret 2024) Indonesia Strategic and Defence Studies bersama dengan Litbang Kompas menunjukkan 80 persen masyarakat percaya bahwa kehadiran China di LCS menjadi ancaman bagi negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Keterlibatan secara terbuka membutuhkan keberanian dan ketegasan secara politis.
ASEAN berlindung di balik prinsip tak berpihak dalam pertarungan negara besar. Inilah prinsip ”bebas-aktif”- nya Indonesia; ”tiga tidak”-nya Vietnam; ”bambu bengkok mengikuti angin”-nya Thailand; kebijakan meminimalisasi kerugian atau risiko (hedging)- nya Singapura (sebelumnya Filipina juga); dan kebijakan menjaga jarak yang sama (equidistant)-nya Malaysia.
Di LCS, ASEAN takut bersikap tegas. Sikap itu identik dengan keberpihakan pada kekuatan tertentu. Di Myanmar yang menjadi medan persaingan negara besar, ASEAN hanya menjadi penonton.
Persaingan bisa dilihat dari Laporan Dewan HAM PBB (Juni-Juli 2023) yang menyebutkan dominannya perusahaan negara Rusia dan China dalam impor persenjataan rezim militer Myanmar. Sebaliknya, AS lewat Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional Desember 2022, memberikan bantuan pada kekuatan anti-pemerintah.
Setelah Konsensus Lima Butir menguap, pilihan ASEAN antara jalan China (dan Rusia) dan cara Amerika. Sulit memilih mendukung rezim mengingat pelanggaran HAM rezim Naypyidaw. Pilihan logis dengan mendukung kelompok perlawanan.
Ini pilihan feasible mengingat belakangan ini rezim militer kalah di berbagai wilayah. Sementara kekuatan perlawanan relatif kian bersatu. Aktor luar, termasuk ASEAN, perlu mempersiapkan Myanmar pasca-rezim militer. Thailand sudah membuat jalur bantuan formal, dan Jepang sudah menawarkan bantuan.
Kembalikan sentralitas
LCS dan Myanmar adalah halaman depan ASEAN. Adalah keharusan bagi ASEAN untuk terlibat dalam situasi di wilayahnya, dan berani memilih siapa pun yang bisa membantunya. ASEAN harus berperan aktif di pihak yang paling condong pada prinsip kebebasan dan demokrasi. Inilah pilihan terbaik di antara yang terburuk.
Di LCS, ASEAN belajar dari Filipina yang bersikap tegas untuk memitigasi ancamannya. Di Myanmar, ASEAN harus mendukung pihak mana pun yang mendukung perlawanan terhadap rezim pelanggar hak asasi manusia.
Baca juga: Isu Kawasan Uji Kekompakan ASEAN
Bersikap tegas dengan memihak secara terbuka menunjukkan yang bersangkutan bukan aktor periferal, melainkan aktor yang bisa mengarahkan atau memengaruhi situasi. Keterlibatan secara terbuka membutuhkan keberanian dan ketegasan secara politis.
Keberanian dan ketegasan ASEAN di wilayahnya adalah hakikat sentralitas ASEAN. Pilihlah!
Adrianus Harsawaskita, Dosen FISIP Universitas Katolik Parahyangan