Tekanan terhadap rupiah dan kenaikan harga minyak saat ini lebih bersumber dari faktor eksternal.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Perekonomian dalam negeri kembali menghadapi tekanan akibat terus melemahnya nilai tukar rupiah, menembus level Rp 16.000 per dollar AS, dan naiknya harga minyak mentah.
Pelemahan nilai tukar rupiah, yang juga dialami mata uang banyak negara lain saat ini, terkait erat dengan kebijakan suku bunga di tingkat global. Dalam hal ini, langkah bank sentral AS, The Fed, untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25-5,50 persen, sejalan dengan kondisi ekonominya.
Komite Pasar Terbuka Federal menyatakan pihaknya akan melakukan tiga kali penurunan bunga acuan tahun ini, masing-masing 25 basis poin, dalam rangka menekan inflasi ke 2 persen. Namun, Ketua The Fed tak menutup kemungkinan bunga acuan akan dipertahankan selama mungkin. Ketidakpastian kapan The Fed memangkas bunga acuan ini membuat tekanan pelemahan rupiah belum akan segera berakhir.
Melemahnya rupiah juga dipicu meningkatnya kebutuhan akan dollar AS, baik untuk pembayaran dividen maupun impor BBM dan pangan, yang sifatnya musiman.
Dibandingkan dengan negara Asia lain, pelemahan rupiah relatif terkendali. Kurs rupiah saat ini juga dinilai sesuai dengan nilai fundamentalnya. Cadangan devisa 140 miliar dollar AS cukup solid, memadai untuk menutup 6,4 bulan impor. Namun, pelemahan rupiah yang menembus level psikologis baru bisa memicu sentimen negatif yang dapat kian menekan rupiah.
Kalangan dunia usaha mencemaskan dampak pelemahan rupiah ini pada daya saing mereka, terutama dengan manufaktur yang sangat bergantung pada bahan baku impor. Pelemahan rupiah membuat beban utang dalam dollar AS pun meningkat. Kurs rupiah juga memengaruhi inflasi dalam negeri melalui barang yang diimpor sehingga berdampak terhadap daya beli masyarakat, fiskal, dan perekonomian secara keseluruhan.
Karena itu, kalangan pengamat mengingatkan pentingnya mengantisipasi dampak ini. Apalagi, melemahnya rupiah terjadi berbarengan dengan terus naiknya harga minyak mentah dan masih tingginya harga pangan dunia. Ini pukulan ganda bagi Indonesia sebagai importir neto minyak dan negara yang masih sangat bergantung pada energi fosil dan pangan impor.
Harga Brent dan WTI mendekati 100 dollar AS per barel, dan bukan tak mungkin kembali menyentuh 120-130 dollar AS per barel jika eskalasi konflik di Timur Tengah sampai mengganggu jalur logistik penting minyak. Pemerintah menyatakan harga BBM tak akan naik sampai Juni 2024. Namun, jika kenaikan harga minyak mentah global berlanjut, bukan tak mungkin Indonesia dipaksa melakukan penyesuaian harga BBM dalam negeri dengan konsekuensi pembengkakan subsidi energi apabila harga BBM bersubsidi dipertahankan.
Pemerintah kemungkinan harus menambah belanja sosial guna melindungi kelompok rentan dari imbas kenaikan harga dan menerapkan kebijakan pengendalian konsumsi BBM.
Kendati tekanan terhadap rupiah dan harga minyak saat ini lebih bersumber dari faktor eksternal, kita tetap perlu fokus memperkuat fundamental ekonomi dalam negeri.
Mengakhiri ketergantungan yang terlalu besar pada komponen, barang jadi, dan pangan impor, serta mempercepat transisi energi fosil ke energi baru dan energi terbarukan yang potensinya melimpah di dalam negeri akan memperkuat resiliensi Indonesia menghadapi tekanan serupa di masa mendatang.