Pembangunan di perdesaan tersendat karena berkurangnya penduduk yang umumnya berusia produktif yang pindah ke perkotaan.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Momen Lebaran kerap menjadi kesempatan sebagian penduduk perdesaan pindah ke perkotaan. Fenomena itu amat dipahami pemerintah kota sehingga berbagai upaya dilakukan agar pendatang baru dapat dibatasi dan berada pada tingkat yang terkontrol. Artinya, pertambahan penduduk dari pendatang baru masih berada dalam batas kemampuan pemerintah kota untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Namun, peraturan terhadap pendatang baru belakangan ini tampaknya melunak. Pemprov DKI pasca-Lebaran 2022, misalnya, tak melakukan Operasi Yustisi terhadap pendatang baru, yang biasanya dilakukan secara rutin setiap tahun. Padahal, penduduk yang mudik kian meningkat.
Survei Kementerian Perhubungan memperkirakan 193,6 juta penduduk mudik pada 2024. Dengan kian besarnya arus mudik, potensi pendatang baru yang menyertai pemudik ketika kembali juga kian meningkat. Ditengarai, ada dua faktor yang mendasari melunaknya pemerintah kota terhadap pendatang, yaitu fenomena alamiah dan faktor keuntungan perkotaan.
Perpindahan penduduk perdesaan ke perkotaan merupakan fenomena alamiah dan berlaku secara universal. Urbanisasi merupakan suatu proses sosial-ekonomi yang kompleks dari kombinasi antara faktor pendorong di perdesaan dan faktor penarik di perkotaan.
Selain itu, urbanisasi juga merupakan hak menentukan pilihan hidup sehingga penolakan terhadap pendatang baru berpotensi melanggar HAM.
Maka, pembatasan pendatang tidak cukup hanya dengan pelarangan dan peraturan sebab nyatanya urbanisasi terus berlangsung. Dalam lima dekade terakhir, persentase penduduk perkotaan berkembang dari 17,29 persen (1971) menjadi 58,6 persen (2023); dan diperkirakan 66,6 persen pada 2035.
Secara faktual, perkembangan penduduk kota di Tanah Air berlangsung cepat, melebihi perkembangan perkotaan global. Secara global, persentase perkotaan meningkat dari 30 persen pada 1950 menjadi dua pertiga dari total penduduk pada 2050 (World Urbanization Prospects, The 2018 Revision).
Perkotaan diuntungkan
Melunaknya pelarangan pendatang baru ditengarai juga karena kehadiran mereka justru menguntungkan perkotaan.
Laporan UNDP (2005) menyebutkan, peningkatan persentase penduduk kota secara faktual akan menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pencapaian pembangunan manusia.
Dari sisi angka kemiskinan, hal itu antara lain dapat dicermati dari rendahnya angka kemiskinan di perkotaan. Hasil Susenas Maret 2023 menunjukkan angka kemiskinan di perkotaan 7,29 persen, dan di perdesaan 12,22 persen. Padahal, pendatang baru yang umumnya berstatus miskin terus mengalir ke perkotaan.
Fenomena lebih tingginya angka kemiskinan di perdesaan daripada perkotaan juga terjadi di banyak negara maju. Di AS, berdasarkan publikasi Departemen Pertanian, angka kemiskinan di perdesaan 16,1 persen, sedangkan di perkotaan 12,6 persen (USDA, 2020).
Penurunan angka kemiskinan di perkotaan sejalan dengan produktivitas penduduk perkotaan yang lebih tinggi daripada perdesaan karena faktor efisiensi, kelengkapan infrastruktur, dan aplikasi teknologi. Laporan Bank Dunia (2009) menyebutkan, rata-rata produktivitas pekerja perkotaan 3-5 kali lebih besar dibandingkan dengan perdesaan.
Pembangunan di perdesaan tersendat karena berkurangnya penduduk yang umumnya berusia produktif yang pindah ke perkotaan.
Tantangan perdesaan
Melunaknya peraturan terhadap pendatang baru di perkotaan dikhawatirkan akan kian meningkatkan arus urbanisasi. Padahal, sebelum ini tingkat urbanisasi di Tanah Air tergolong tinggi (4,2 persen) dibandingkan dengan sejumlah negara, seperti Filipina (3,4 persen), India (3,1 persen), dan Vietnam (3,1 persen) (World Urbanization Prospects, The 2009 Revision).
Secara faktual, derasnya arus urbanisasi di Tanah Air menimbulkan dampak serius di perdesaan, antara lain menyusutnya petani. Selama satu dekade (2003-2013) berdasar Sensus Pertanian, rumah tangga tani berkurang 5,1 juta atau 21 juta petani. Dikhawatirkan, menyusutnya petani akan mengancam masa depan pertanian.
Produksi pertanian dikhawatirkan kian berkurang dan menyebabkan kenaikan harga, kerawanan pangan, dan menurunkan asupan gizi masyarakat. Maka, perdesaan kini dihadapkan pada tantangan untuk mencegah agar penduduknya tak kian berkurang akibat pindah ke perkotaan. Secara faktual, ini sekaligus menegaskan bahwa ancaman urbanisasi yang semula di perkotaan karena khawatir tidak mampu mengelola pendatang baru kini bergeser ke perdesaan karena khawatir penduduknya menyusut.
Pembangunan di perdesaan tersendat karena berkurangnya penduduk yang umumnya berusia produktif yang pindah ke perkotaan. Sejumlah program pembangunan desa yang disertai gelontoran dana desa menjadi kurang optimal untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Revisi UU
Salah satu upaya yang kini diharapkan dapat memperbaiki ekosistem pembangunan perdesaan adalah melalui revisi UU No 6/2014 tentang Desa yang telah disahkan DPR. Ada 26 poin perubahan yang diadopsi, antara lain terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa dan sumber pendapatan desa.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berharap revisi UU itu mampu mewujudkan desa yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera untuk memberikan kontribusi tercapainya cita-cita Indonesia Emas 2045.
Namun, harapan itu boleh jadi sulit terwujud jika pemerintah desa tak melakukan terobosan untuk mengakselerasi pembangunan perdesaan. Pemerintah desa perlu mengidentifikasi potensi unggulan yang dapat dikembangkan di daerahnya. Tak cukup hanya dengan melakukan observasi atau asumsi, tetapi juga menggunakan data desa, seperti Potensi Desa serta hasil Sensus Pertanian 2023 dan Sensus Ekonomi 2016.
Salah satu aspek yang mungkin dapat dihasilkan atas kajian dari data desa ialah pengembangan desa wisata. Secara faktual, pengembangan desa wisata dapat meningkatkan perputaran uang, skala kegiatan usaha, dan kesempatan kerja. Ketersediaan tenaga kerja yang stabil dapat menjadi penopang keberlanjutan pembangunan di perdesaan.
Razali RitongaPemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan. Alumnus Georgetown University, AS, dan Lemhannas RI