Sebelum meninggal, sastrawan Yudhistira Massardi dan kembarannya, Noorca Massardi, meluncurkan dua buku puisi.
Oleh
ASVI WARMAN ADAM
·2 menit baca
Tanggal 2 April 2024, sastrawan Yudhistira Massardi berpulang setelah dirawat karena sakit. Pada 28 Februari 2024, saya menghadiri peringatan ulang tahunnya yang ke-70 bersama saudara kembarnya, Noorca Massardi, di Galeri Indokaya, Jakarta. Pada kesempatan itu, keduanya meluncurkan buku puisi Noorca dengan judul Dari Paris untuk Cinta, sementara Yudhistira memilih judul Akhirnya Kita seperti Daun.
Peringatan tersebut sudah direncanakan setahun sebelumnya walaupun Yudhis (Yudhistira Massardi) mengaku waswas juga, apakah ia akan sampai 70 tahun mengingat riwayat kesehatannya. Noorca yang enam kali Lebaran bermukim di bawah lindungan Menara Eiffel (1976-1981) sengaja beberapa hari napaktilas situs kenangan di Kota Paris untuk keperluan menulis kumpulan sajak bertema cinta yang semua judulnya memakai kata Perancis.
Ketika buku itu diluncurkan, muncul pertanyaan, apakah ini merupakan karya puncak mereka? Belum tentu apabila dibandingkan dengan karya-karya mereka sebelumnya. Namun, untuk Yudhistira, jelas ini karya terakhir. Dalam sajak penutup pada kumpulan ini yang berjudul ”70”, ia mengakui /Tapi di titik ini/ Apalah masih ada puncak/Atau hanya jalan turun?/
Karya mereka berdua berulang kali memenangkan lomba sastra dan menerima penghargaan. Ada pula yang difilmkan kemudian, seperti Arjuna Mencari Cinta (Yudhistira) dan Sekuntum Duri (Noorca). Bagi saya, terdapat dua novel mereka yang saling melengkapi mengenai Malapetaka 1965, yaitu Mencoba Tidak Menyerah (Yudhistira) dan September (Noorca).
Mencoba Tidak Menyerah mengisahkan sebuah keluarga yang menjadi korban peristiwa 1965. Sang ayah yang bekerja sebagai pemilik bengkel sepeda tidak pulang ke rumah setelah meletus G30S/1965. Rumahnya dihancurkan oleh sekelompok orang yang ingin menumpas PKI. Tidak jelas sangkut paut sang ayah dengan organisasi terlarang itu, kecuali pernah jadi agen surat kabar Harian Rakyat dan Warta Bhakti.
Sang ayah baru beberapa bulan kemudian ditangkap dan ditahan di kodim. Lalu, dipindahkan ke tahanan yang terletak di pegunungan dengan hutan kina setelah beberapa lama pindah lagi ke kodim. Setelah September 1966, ditangkap kembali. Dibawa oleh dua orang dari tempat tahanan entah ke mana, dan akhirnya hilang tak jelas rimbanya.
Mungkin cerita ini tidak pernah dialami oleh keluarga Yudhistira Massardi, kecuali imajinasinya sendiri. Namun, itu sebetulnya dialami oleh puluhan ribu, bahkan ratusan ribu keluarga Indonesia yang dituduh terkait peristiwa 1965.
September yang tebalnya 700 halaman berkisah tentang kehidupan seorang wartawan pada 1965 yang bisa merasuk kepada tubuh dan pikiran tokoh dan pejabat negara, bahkan presiden. Dengan demikian, ia mengetahui dengan jelas seluk-beluk kasus peralihan kekuasaan itu.
Dalam kata pengantar novel tersebut, saya menulis, meskipun ”seratus ratus persen fiksi, namun serasa membaca buku sejarah”. Novel ini karya yang signifikan membantu proses dekonstruksi dan rekonstruksi sejarah Indonesia kontemporer. Tokoh Niko dalam novel ini adalah pemimpin redaksi majalah Novum, kita tahu istilah ini berarti bukti baru di pengadilan.
Pembaca buku ini diberi semacam kuis oleh pengarang dengan menyodorkan nama tokoh yang betul-betul ada dalam sejarah dengan memelesetkannya, misalnya Tasnio Hanu (AH Nasution), Mahya Nida (Ahmad Yani), Arbie Djamhari (Ibrahim Adjie), Armandhio (Omar Dhani), Bowo Sitonu (Ibnu Sutowo), Malka Dilma (Adam Malik). Dalang peristiwa berdarah itu adalah Theo Rosa. Siapa dia? Pembedaan antara karya sastra dan sejarah kian menipis.