Mikroprosesor atau cip menentukan kemenangan dalam persaingan geopolitik.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Rivalitas Amerika Serikat dan China dapat dilihat di berbagai bidang, antara lain teknologi. Dalam bidang tersebut, AS mengeluhkan, China bisa mencapai kemajuan teknologi seperti sekarang—mampu membuat cip dan produk berbasis kecerdasan buatan seperti ponsel serta drone—berkat ”bantuan” dari AS. Bantuan itu berupa produk cip yang dihasilkan perusahaan AS atau layanan pendidikan tinggi bidang teknologi yang dinikmati mahasiswa China.
Maka, dalam upaya menghambat China menguasai teknologi pembuatan cip, pejabat Kementerian Perdagangan AS untuk urusan Industri serta Keamanan, Alan Estevez, dijadwalkan bertemu pejabat Belanda pekan ini. Dilaporkan Kompas.id edisi 5 April 2024, pertemuan mereka bakal dihadiri pemimpin perusahaan penghasil mesin pencetak layout sirkuit cip asal Belanda, ASML. Intinya, AS hendak meminta ASML berhenti merawat mesin pencetak layout sirkuit cip yang dimiliki China.
Cip sangat penting karena menentukan proses komputasi rumit pengolahan big data serta algoritma yang dibutuhkan kecerdasan buatan. Dalam pembuatan cip, proses yang krusial ialah mencetak layout sirkuit pada materi cip, yakni pasir silika, yang berukuran sangat kecil. Sebelumnya, AS meminta agar penjualan mesin ASML ke China dihentikan.
AS beralasan, jika China mampu memproduksi cip yang kian canggih, keamanan nasional AS terancam. China akan bisa membuat senjata pintar yang menyaingi AS.
Pada 2022, AS juga menerapkan US CHIPS and Science Act yang melegalkan pemberian subsidi bagi perusahaan AS yang bergerak di sektor pembuatan cip. Syaratnya, penerima subsidi tidak boleh memiliki kaitan apa pun dengan China.
Semua itu sebenarnya bagian dari fenomenatechno-nationalism, yakni upaya menghambat pertukaran dan penyebaran teknologi atas dasar nasionalisme. Techno-nationalism bertolak belakang dengan sifat pengembangan teknologi serta ilmu pengetahuan yang selama ini dipahami, yakni dilakukan terbuka, tak kenal batas negara, dan tak kenal kebangsaan. Techno-nationalism justru melarang ekspor dan menghambat alih teknologi, serta menyeleksi super ketat pertukaran ilmuwan/mahasiswa asing.
Kondisi ini menyebabkan ketidakmenentuan bagi perusahaan-perusahaan di dunia. Tukar-menukar teknologi dan perdagangan tak bisa lagi dilakukan hanya berdasarkan alasan ekonomi. Dunia telah memasuki era techno-geopolitical uncertainty atau ketidakpastian geopolitik teknologi (Luo & Assche, ”The Rise of Techno-geopolitical Uncertainty: Implications of the United States CHIPS”, Journal of International Business Studies, 2023).
Sampai kapan hal ini berlangsung? Sulit dipastikan. Hal yang jelas Indonesia dan banyak negara lain harus beradaptasi dalam situasi yang tak mudah itu.