Yudhis
Selepas tengah dekade 1990-an, Yudhis agak terlihat sepi dari kegiatan sastra. Namun, pada 2000, dia gaspol lagi.
Yudhistira ANM Massardi, sastrawan ikonik, wafat pada 2 April 2024 lalu. Sebelum dimakamkan di TPU Pedurenan, Bantar Gebang, Yudhis disemayamkan di rumah kediamannya di kawasan Bekasi Selatan. Di hadapan jenazah sang suami yang telah pergi selamanya, Siska, istrinya, seperti menggenggam puisi Yudhis yang mendadak hening tiada terkira:
Ah, Sayangku/Masa lalu sudah tercatat di buku tamu/Kita tak tahu alamat si empunya hajat/Kartu undangan pun tak pernah datang/Kita harus berani kondangan... Ya Sayangku/Sampai tertulis nama di tiang listrik/Pada bendera kuning di belokan/Dan, mungkin saja, nanti ada sesendok derai air mata.
Yudhis, kelahiran 28 Februari 1954, meninggalkan jejak-jejak jelas di dunia sastra Indonesia. Ratusan puisinya yang fenomenal, serta novel-novelnya yang menabrak “batas kejam” sastra pop dan sastra serius, adalah bagian dari langkah progresif yang dikenang banyak orang. Yudhis memang produk sastra pemberontak yang puitis. Dan itu dimulai dari ketika ia bertualang di Yogyakarta, kota guyup yang selalu ia rasakan “berurai gerimis”.
Syahdan pada tahun 1972-1974 Yogyakarta memang sedang dibasahi oleh kata-kata. Suatu kenyataan yang oleh penulis dan ahli filsafat Dick Hartoko disebut sebagai gejala dari renaissance berbagai cipta seni, termasuk karya sastra. Satu era yang akan selalu ditandai berbagai perubahan, yang ujungnya akan termonumeni oleh temuan-temuan, yang mungkin saja gila-gilaan. Kisah-kisah sejarah kecil (le petit histoire, istilah Dick) lantas terbaca demikian.
Kala itu sejumlah sudut kota Yogyakarta dijadikan tempat berjumpa para budayawan dan peminat kebudayaan, serta seniman dan calon seniman. Mereka meriung di kedai-kedai sambil membuka lembaran-lembaran masalah ke dalam arena diskusi. Di situ ada Yudhis.
Di ujung Malioboro, di depan Gedung Seni Sono (sekarang sudah tidak ada), para penyair dan penyuka syair berkutat pikiran bersama biangnya, Umbu Landu Paranggi. Seniman asal Sumba ini menstimulasi anak-anak muda untuk mencipta puisi dalam Persada Studi Klub, dengan spirit pasang badan dan hati berani, dengan “menjauhkan” puisi yang diruwetkan metodologi. Di sana juga ada Yudhis.
Baca juga: Sastrawan Serba Bisa Itu Telah Berpulang
Pada tengah malam sampai menjelang subuh, di kawasan Jalan Wates, di warung kopi Pak “Jon Win” Wongso (Pak Wongso memang mirip bintang film Hollywood John Wayne), kerap berkumpul para seniman berbagai bidang. Novelis Ashadi Siregar, aktor Landung R Simatupang, dramator Adi Kurdi, kadang sosiolog Umar Kayam, bisa kongkow berlama-lama. Aha, di sela-sela mereka tampaklah Yudhis.
Rohaniwan, arsitek, dan sastrawan YB Mangunwijaya memperhatikan keramaian ubek-ubekan ini. Dan itu dianggap femonenal. Maka kepada para seniman muda Romo Mangun lantas berujar: dalam berkesenian jangan pernah takut keliru. Karena ketakutan sering menawarkan jalan buntu. Namun apabila ada yang keliru, jangan pernah patah hatinya. Errare humanum est, keliru adalah sifat manusia! Nasihat itu dicamkan benar oleh Yudhis.
Kita akan gampang menghitung, Yudhis waktu itu berusia belum pula 20 tahun. Ia masih tercatat sebagai pelajar sekolah menengah atas di Yogyakarta. Maka, jika sedang tidak berani berkata-kata, ia hanya menguping. “Aku lagi sinau,” katanya sekali-sekali dalam bahasa Jawa yang kaku, lantaran ia kelahiran Subang, Jawa Barat.
Syahdan pada jam-jam sepulang sekolah, atau pada hari libur, Yudhis sering terlihat membawa kertas yang tergulung di tangan. Ke mana ia pergi gulungan itu digenggam ringan. Sebagian orang tahu bahwa yang dibawa itu adalah kertas kosong yang sedang menyasar ke mesin ketik nganggur di rumah teman atau di kantor redaksi koran Kedaulatan Rakyat atau Pelopor Yogya. Ia tentu dengan sopan pamit menumpang mengetik kepada si empunya: “Cuma beberapa belas menit saja.”
Yudhis termasuk penulis yang punya mata banyak. Pasalnya, mripat kesusastraannya mampu melihat segala hal untuk dijadikan obyek dalam cerpen, esai, atau puisi. Dari kuda nil, pohon kapuk, cicak, bibir Yati Oktavia, sampai tingkah laku aparat tentara. Yang ajaib, apa yang ia ketik selalu menjelma jadi naskah final dan siap muat.
Tahun 1975 Yudhis meninggalkan Yogya untuk menuju rimba Jakarta. Di kota ini ia bergabung dengan Gelanggang Remaja Bulungan. Progresivitasnya ia tularkan kepada segenap teman. Sementara ia sendiri meluncur dengan santai, dan tetap dengan semangat ugal-ugalan, dengan prinsip tidak perduli dengan “yang sudah kelamaan”. Sosoknya selalu terlihat di tempat yang ada keramaian dan bacaan. Di Taman Ismail Marzuki sampai di berbagai rumah pusat kebudayaan.
Hasilnya berujung nyata. Pada tahun-tahun kemudian ia memublikasikan puisi Biarin dan Sajak Sikat Gigi, yang hadir sebagai ikon sastra perubahan. Begitu juga kumpulan puisinya, Rudi Jalak Gugat, yang gagah berani melawan kemapanan. Dalam prosa ia mencipta Arjuna Mencari Cinta, novel jenaka dan blingsatan, yang mendapat penghargaan sebagai Bacaan Remaja Terbaik 1977 oleh Yayasan Buku Utama. Juga novel Arjuna Wiwahahaha...! serta Yudhistira Duda, yang seru yang memancing tawa.
Tapi meski sangat progresif, ia sesungguhnya tak pernah pergi dari khazanah lama. “Saya tetap terkesiap melihat kuku rapi dan bersih seorang gadis. Saya tetap kagum melihat desir angin melepaskan daun-daun kering dari ranting pohon.”
Maka di tebaran kata rampok, dosa, mencang-mencong, badut politik, brengsek, adu jotos, dan hantu, muncul kata-kata rembulan, hujan, poci, camar, mawar, burung, laron, dan embun. Di antaranya dentuman kata meriam dan guman orang mabuk, muncul melodi Nessun Dorma, Recondita Armonia, disertai nama Pavarotti, Julio Iglesias, Linkin Park. Karena itu ia juga menghasilkan cerita yang khusyuk dan mencekam, seperti Mencoba Tidak Menyerah, yang dimuat secara bersambung di harian Kompas.
Selepas tengah dekade 1990-an, Yudhis agak terlihat sepi dari kegiatan sastra. Ia bekerja sebagai wartawan seraya membuat lirik-lirik lagu indah untuk penyanyi Franky dan Jane. Lalu menyibukkan diri sebagai pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa TK dan SD Batutis Al -Ilmi di Bekasi. Namun memasuki dekade pertama tahun 2000, roda sastranya mulai digaspol lagi. Dan, mungkin lantaran Yudhis, apa yang dikerjakan dengan cepat mencapai tujuan. Buku kumpulan puisinya, 99 Sajak, dijunjung sebagai Kumpulan Puisi Terbaik 2015 oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud.
Pada 2019 (tiba-tiba) Yudhis menerbitkan buku Penari dari Serdang. Di situ ia menulis: Perempuan itu tersenyum dengan sepasang mata bundar dan setangkup bibir tipis. Hidungnya yang bangir bertahta di wajah tirus putih..... “Ini setangkup buku penting tentang memudarnya sejarah Melayu, yang ingin dicerahkan kembali oleh dua perempuan penari,” jelas Noorca Marendra Massardi, saudara kembar Yudhis, yang berwajah sangat mirip.
Novel yang historis dan manis itu menutup perjalanan sastra Yudhistira ANM Massardi yang begitu dinamis.*
Agus Dermawan T, Pengamat seni rupa, peminat sastra, sahabat Yudhis