Revisi UU Desa dan Kemiskinan Perdesaan
Dana desa terus meningkat, berbanding lurus dengan peningkatan korupsi desa.
Sepuluh tahun Undang-Undang Desa belum memberikan perubahan fundamental dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Sistem tata kelola desa masih buruk, disharmoni pembangunan, hingga inovasi yang minim turut menyumbang ragam masalah desa. Implikasinya, pelayanan publik rendah dan praktik korupsi meningkat.
Revisi UU Desa yang kini sedang dibahas tak menyentuh aneka persoalan mendasar ini.
Capaian lambat
Sejak UU Desa disahkan, tingkat ketimpangan desa masih tinggi. Merilis data BPS tahun 2024, ketimpangan desa tahun 2014 angkanya 0,34 dan tahun 2023 sebesar 0,313. Artinya, penurunan ketimpangan desa sangat lambat dan dalam 10 tahun hanya berkurang 0,027.
Hal sama terjadi pada indikator kemiskinan desa, yakni dari 13,76 persen (2014) menjadi 12,36 persen (2023), atau hanya berkurang 1,4 persen dalam 10 tahun terakhir.
Semua ini menandakan pembangunan desa melalui dana desa belum tepat sasaran. Pembangunan desa belum sepenuhnya menyentuh masyarakat rentan, dan penguasaan kapital berpusat hanya pada oknum tertentu, sehingga hasilnya tak mendorong penguatan ekonomi desa. Tak ada skala prioritas dalam pembangunan desa juga menjadi masalah lantaran persoalan data yang tak akurat.
Baca juga: Revisi UU Desa Disahkan DPR, Masa Jabatan Kepala Desa Jadi Delapan Tahun
Hanya saja, kondisi di atas berbanding terbalik dengan capaian Indeks Desa Membangun (IDM). Tahun 2015 jumlah desa sangat tertinggal mencapai 13.453 desa dan pada 2023 tinggal menjadi 4.850 desa.
Keberhasilan pembangunan desa berbasis IDM tampaknya tak signifikan memengaruhi tingkat ketimpangan dan kemiskinan perdesaan yang masih di atas tingkat kemiskinan perkotaan, baik dari sisi kedalaman maupun keparahan kemiskinan. Kondisi seperti ini akan memicu terjadinya kemiskinan ekstrem di perdesaan.
Perintah Inpres No 4/2022 agar desa mempercepat pengurangan kemiskinan ekstrem melalui dana desa tampaknya masih menemui jalan terjal.
Ilustrasi/Supriyanto
Tata kelola bermasalah
Dalam pelaksanaan program pembangunan desa dibutuhkan tata kelola pemerintahan yang baik. Desa masih dihadapkan pada beberapa catatan dari sisi perencanaan, penganggaran, kebijakan, dan kelembagaan desa.
Dari sisi perencanaan desa, ruang partisipasi masyarakat perlu dibangun dan diakomodasi, bukan hanya kelompok elite tertentu. Tujuan awal pembentukan UU Desa adalah mendorong pembangunan desa yang bersifat bottom-up. Artinya, masyarakat desa seharusnya berfungsi sebagai pelaksana, pengawas, pendukung, dan peninjau pembangunan.
Penganggaran juga masih bermasalah, khususnya aspek pembinaan dan pengawasan yang berimplikasi pada meningkatnya praktik korupsi di desa. Dana desa terus meningkat, berbanding lurus dengan peningkatan korupsi desa. Banyaknya kepala desa terjerat kasus korupsi menandakan lemahnya fungsi pengawasan dan menunjukkan tak semua kepala desa memiliki integritas.
Data KPK 2023, pada periode 2015-2022 ada 601 kasus korupsi di desa dengan total tersangka 686 orang. Perlu dipikirkan mekanisme pemilihan kepala desa berkualitas sebelum revisi UU Desa diketok.
Tak ada skala prioritas dalam pembangunan desa juga menjadi masalah lantaran persoalan data yang tak akurat.
Di sisi kebijakan, beberapa studi menyebutkan desa kurang produktif dalam menyusun peraturan desa di luar Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes). Artinya, kewenangan desa belum dimanfaatkan secara penuh, padahal banyak urusan yang diatur oleh desa sendiri (ruang inovasi desa rendah).
Masih banyak desa yang belum memiliki pendamping. Di beberapa kasus, satu pendamping berkewajiban mendampingi tiga desa atau lebih sekaligus. Idealnya setiap desa memiliki satu pendamping.
Terakhir kelembagaan. Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) belum terlihat (check and balances). BPD tak memiliki kedudukan apa pun dalam penyelenggaraan pemerintah desa dan seakan berada di bawah kepala desa, padahal fungsi BPD mirip DPRD. Peran BPD perlu dikuatkan agar dapat mengawasi kinerja kepala desa dan perangkatnya.
Substansi revisi UU Desa
Per 7 Februari 2024, UU Desa telah masuk dalam proses pembahasan tingkat I antara Badan Legislasi dan pemerintah. Revisi bertujuan mempercepat keberhasilan dan memperkuat pembangunan desa. Perlu kajian mendalam apa saja yang akan direvisi.
Melihat substansi yang diatur di revisi UU, tampaknya masih berfokus pada periodisasi jabatan kepala desa dan tuntutan penambahan dana desa, bukan bagaimana mendapatkan kepala desa dan perangkat desa yang memiliki kapasitas dan berintegritas. Sebab, desa akan memperoleh manfaat dari perpanjangan masa jabatan jika kepala desa berkualitas.
Tuntutan peningkatan dana desa maksimal 10 persen per tahun berimplikasi pada penyesuaian komponen dana lain yang ditransfer ke daerah. Ini akan memperbesar komponen belanja negara, sementara pendapatan negara tak naik signifikan. Mendesakkah peningkatan dana desa di tengah ketidakpastian global saat ini?
Baca juga: Simpul Revisi UU Desa dan UU Statistik
Revisi UU Desa juga tak mengubah sistem penyelenggaraan pemerintah desa dalam UU sebelumnya. Praktiknya, implementasi UU Desa juga masih dihadapkan pada persoalan kewenangan dengan supra desa di mana desa tak memiliki kekuatan untuk menjalankan pembangunan berdasar prakarsa masyarakat desa. Semestinya revisi diarahkan ke sana.
Idealnya, revisi diperlukan untuk menguatkan, pertama, percepatan standar pelayanan minimal, penanggulangan kemiskinan/ketimpangan, dan pengembangan usaha ekonomi desa berbasis masyarakat.
Kedua, perbaikan tata kelola desa dengan mendorong ruang partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan desa sekaligus menjadi check and balances pemerintahan, termasuk proses mendapatkan kepala desa berintegritas. Terakhir, mendorong inovasi desa untuk akselerasi pelayanan publik desa.
Sarah Nita Hasibuan,Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah