Mencari Keadilan Pilpres 2024
Kesaksian Presiden menjadi penting dan kritikal jika pembuktian kecurangan memang ingin mendapatkan jawaban lengkap.
Persidangan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024 sudah mulai bergulir di Mahkamah Konstitusi. Ada persoalan paradigmatik persidangan yang terus mengemuka dalam setiap sengketa pilpres kita: pendekatan kuantitatif (rekapitulasi suara) berhadapan dengan argumentasi kualitatif (kecurangan proses pemilu).
Penulis berpandangan, keduanya semestinya diuji dan diperiksa oleh MK, sambil fokus perhatian dicurahkan pada proses pembuktian, yang cukup menghadirkan keyakinan pada para hakim konstitusi. Yang paling rumit adalah bagaimana putusan MK pada ujungnya menghadirkan keadilan pemilu (electoral justice), yang menghormati suara pilihan rakyat, sekaligus tidak memberi ruang toleransi pada kecurangan pemilu (electoral frauds).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di setiap sengketa pemilu di MK, bukan hanya pilpres, sejak 2004 hingga 2024, selalu saja terjadi pertarungan antara pendekatan Mahkamah Konstitusi dan ”Mahkamah Kalkulator”. Mahkamah Konstitusi (constitutional court) pendekatannya lebih substansial, kualitatif, menyoal hingga prinsip pemilu yang jujur dan adil. Mahkamah Kalkulator (calculational court) lebih prosedural, kuantitatif, membatasi persoalan hanya pada besar-kecil selisih suara.
Ketimbang menyoal pendekatan kuantitatif atau kualitatif, semua pihak seharusnya fokus menilai bukti-bukti yang dihadirkan di hadapan meja merah MK.
Dalam paradigma Mahkamah Konstitusi, semua proses dan tahapan pilpres dapat dinilai konstitusionalitasnya, apakah sudah sesuai asas dan prinsip pemilu yang luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur, adil).
Menurut pandangan ini, MK harus bisa memeriksa dan mengadili proses pelanggaran administrasi, pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, masif) yang menurut UU Pemilu menjadi kompetensi kuasi-peradilan Bawaslu. Pemeriksaan demikian dimungkinkan karena MK tidak boleh dibatasi kewenangannya untuk menjaga konstitusi (guardian of the constitution). Terlebih bila Bawaslu tidak optimal, bahkan cenderung gagal menjalankan fungsi pengawasannya.
Maka, demi menjaga tegaknya prinsip dan asas pemilu yang diamanatkan Konstitusi, MK wajib menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum dasar bernegara dan menyelamatkan pemilu dari kekurangan dan kecurangan.
Penulis berpandangan, kedua aspek kuantitatif dan kualitatif harus menjadi obyek sengketa hasil pemilu di MK. Jika ada kesalahan hitung, tentu MK punya kompetensi untuk mengoreksinya.
Pun, jika ada pelanggaran pemilu yang tak berhasil diselesaikan pada proses sebelumnya, dan kecurangan demikian berpotensi melanggar prinsip pemilu yang luber dan jurdil, MK wajib menjalankan fungsinya sebagai peradilan pemilu yang terakhir dan mengikat (final and binding electoral court).
Bahwasanya dalam UU Pemilu, soal pelanggaran TSM diberikan kewenangan pemeriksaannya kepada kuasi-peradilan Bawaslu, bukan berarti MK menjadi tak punya otoritas untuk menyoal konstitusionalitas proses pemilu. Faktanya, di setiap sengketa pilpres sejak 2004 hingga 2019, MK tak hanya memeriksa soal angka-angka (kuantitatif), tetapi juga menilai konstitusionalitas argumen kecurangan proses yang sering kali menjadi dalil permohonan.
Bahwasanya sejauh ini tak ada permohonan sengketa kualitatif pilpres yang pernah dikabulkan oleh MK, bukan karena MK menganggap dirinya tak berwenang. Setiap eksepsi yang diajukan pihak termohon atau terkait bahwa MK tidak berwenang memeriksa perkara selalu ditolak. Semua putusan yang menolak permohonan lebih karena MK berpandangan bahwa dalil-dalil proses kecurangan pemilu yang diajukan pemohon tidak dapat dibuktikan.
Baca juga: Dukungan Moral dari Yogyakarta untuk Hakim MK
Beban pembuktian pilpres
Ketimbang menyoal pendekatan kuantitatif atau kualitatif, semua pihak seharusnya fokus menilai bukti-bukti yang dihadirkan di hadapan meja merah MK. Sebagai peradilan pemilu yang selalu berkarakter cepat (speedy trial), salah satu tantangan terbesar adalah membuktikan dalil kecurangan, yang mungkin saja terjadi, tetapi selalu tak mudah dibuktikan.
Apalagi, kecurangan pemilu yang sifatnya TSM, dan berpengaruh pada hasil, biasanya melibatkan jajaran kekuasaan negara. Pelanggaran demikian menjadi lebih sulit dan rumit untuk dihadirkan kesaksian dan pembuktiannya. Oleh karena itu, menarik menyimak argumen bahwa beban pembuktian bukan hanya ada pada pemohon, berdasarkan postulat, actori in cumbit probatio, yaitu asas dalam hukum acara perdata yang berarti siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan (Pasal 163 HIR/283 RBg dan Pasal 1863 KUHPerdata).
Penulis sepakat, pembuktian formil awal memang perlu dilakukan oleh pemohon, tetapi bagaimana pembuktian selanjutnya harus juga menyertakan semua pihak yang beperkara, tetap dengan moderasi yang berimbang dari majelis MK. Penulis juga sependapat jika bobot pembuktian pelanggaran pemilu tak disetarakan dengan bukti pidana, dengan standar beyond reasonable doubt.
Hal demikian karena persidangan sengketa pemilu, yang hanya 14 hari kerja, mustahil mencapai derajat pembuktian pidana tanpa keraguan, yang biasanya memakan waktu beberapa bulan, bahkan beberapa tahun.
Tanpa mengurangi kualitas pembuktian, penulis berpendapat, bukti yang diajukan cukup jika bisa menghadirkan keyakinan hakim konstitusi bahwa memang telah terjadi pelanggaran alias kecurangan pemilu. Selebihnya, beban pembuktian bukan hanya menjadi kewajiban pemohon, melainkan juga termohon (KPU), bahkan pihak terkait.
Hal demikian karena salah satu karakter pelanggaran pemilu yang jamak terjadi adalah pelibatan struktur negara, seperti pihak kepolisian, militer, intelijen, di bawah koordinasi pemegang kekuasaan, sehingga menghadirkan alat bukti, terlebih saksi, akan terkait erat dengan isu keamanan yang kompleks.
Dengan demikian, adalah penting bagi MK untuk menjadi pelindung bagi para saksi. Sebab, bukan mustahil para saksi yang melawan kecurangan akan berhadapan dengan serangan fisik ataupun risiko hukum (kriminalisasi). Terlebih lagi, dalam sistem hukum perlindungan saksi (witness protection) yang kita miliki, perlindungan hanya diberikan dalam perkara pidana. Tak ada sistem perlindungan dalam perkara pemilu.
Tanpa sinyal proteksi yang kuat dari majelis MK, jangan heran kalau para saksi kunci tak hadir di persidangan.
Baca juga: Wapres: Pemanggilan Empat Menteri, Kewajiban Konstitusional MK
Hal lain, jika yang ingin dibuktikan adalah penyalahgunaan anggaran dan program pemerintahan ataupun pelibatan pejabat dan aparatur negara.
Dalam hal ini, yang sebenarnya layak didengarkan keterangannya adalah Presiden Joko Widodo. Tentu, memanggil Presiden ke hadapan persidangan MK tidaklah mudah karena berbagai alasan hukum dan politik. Namun, kesaksian Presiden menjadi penting dan kritikal jika pembuktian kecurangan memang ingin mendapatkan jawabannya secara lebih lengkap dan lebih tuntas.
Putusan pemilu yang berkeadilan
Beban berat sekaligus mulia ada di pundak delapan hakim konstitusi untuk menghadirkan keadilan pemilu (electoral justice) yang hakiki. Bukan keadilan yang memuaskan semua pihak, karena tentu saja hal demikian tidaklah mungkin, melainkan keadilan yang berlandaskan kepada tegaknya prinsip pemilu yang demokratis, luber, dan jurdil. Pada keadilan pemilu konstitusional yang demikian, postulat utamanya adalah kecurangan tidak boleh menang.
Pertanyaan prinsip yang hadir di hadapan hakim konstitusi: apakah terjadi kecurangan konstitusional dalam Pilpres 2024? Apakah cawe-cawe Presiden adalah pelanggaran konstitusi? Apakah pencawapresan Gibran Rakabuming Raka sejalan dengan prinsip demokrasi dan aturan konstitusi? Apakah ada bukti yang meyakinkan (tidak harus beyond reasonable doubt) bahwa telah terjadi pelanggaran atas prinsip konstitusional pemilu yang luber dan jurdil?
Jika jawaban atas semua pertanyaan itu adalah tidak, putusannya mudah, permohonan ditolak, dan Prabowo-Gibran menjadi pasangan calon terpilih dalam Pilpres 2024. Namun, jika jawabannya adalah iya, rumusan putusannya menjadi lebih rumit.
Yang paling tegas adalah pendiskualifikasian pasangan calon nomor urut 2, Prabowo-Gibran, dengan risiko munculnya konflik karena ada penolakan yang kuat dari elite dan pemilih pendukungnya. Alternatif kedua, mendiskualifikasi cawapres Gibran saja karena cacat prosedur pencalonan dan sarat dengan kepentingan nepotis yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan konstitusi.
Opsi kedua ini dimintakan dalam petitum permohonan pasangan calon nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Namun, ini menyisakan persoalan, bagaimana prosedur pencalonan cawapres yang baru dan bagaimana pula kalau kemudian diperlukan putaran kedua, padahal waktu dan teknis pelaksanaan pilpres sudah tak lagi memungkinkan.
Opsi lain yang perlu dipertimbangkan adalah penerapan Pasal 8 Ayat (2) UUD 1945, yaitu mendiskualifikasi kemenangan cawapres Gibran Rakabuming Raka sehingga terjadi kekosongan kursi wakil presiden, lalu ”selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih wakil presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden”.
Opsi ini menjadi solusi jalan tengah yang mempertimbangkan kepastian hukum hasil suara pemilu, tetapi juga tidak menafikan ada persoalan pelanggaran moral konstitusional dalam pencalonan Gibran.
Opsi ini pun menjadi terbuka, terutama jika yang dapat dibuktikan hanyalah isu konstitusionalitas pencalonan Gibran, tetapi kecurangan pemilu yang lain dinyatakan tidak terbukti. Penulis menduga, opsi ini akan didukung oleh mayoritas kekuatan politik.
Denny Indrayana,Guru Besar Hukum Tata Negara; Senior Partner Integrity Law Firm