Pelacur, dari Pengalaman Hidup Menuju Peradaban
Ada kasih sayang seorang ibu pada anaknya, meskipun ia pelacur, dan tidak meninggalkan anaknya di rumah bordil.
Dua buku Seno Gumira Ajidarma (SGA), Marti & Sandra (2022) dan Para Pelacur dalam Perahu (2023), layak dibicarakan bersama dan tampak masih relevan meskipun keduanya dari jenis dan tahun terbit yang berbeda. Marti & Sandra (MS) adalah novela yang pada 1993 terpilih sebagai cerita pendek terbaik Kompas terbaik, berjudul ”Pelajaran Mengarang”, yang kemudian terbit sebagai buku. Buku setebal 145 halaman dengan spasi ganda ini enak dibaca dan bisa dibawa ke sana-kemari.
Rasanya buku tidak akan ditutup sebelum tamat. Alur cerita tidak sebagaimana layaknya garis lurus, atau ibarat perahu yang selalu harus berlayar maju ke depan meskipun melalui kelokan. Narasi diawali dengan Sandra, anak Marti sang pelacur, yang dalam tidurnya merasa sedang terbang di antara bintang-bintang di langit malam.
Langit malam tampak begitu bersih. Ribuan bintang terserak, bagaikan butir-butir berlian di atas permadani hitam. Sandra merasa sedang terbang di antaranya (MS: 3)….
Narasi dibalut oleh ”Pelajaran Mengarang”, di mana Sandra menggapai-gapai memori pengalaman hidupnya untuk bisa menulis karangan itu. Ia ”lihat” Mama yang selalu pergi, Mama bermesraan dengan laki-laki, Mama yang marah, tetapi juga Mama yang mengantarnya ke sekolah, Mama yang menciumnya dengan sepenuh hati, Mama pula yang membacakan cerita menjelang tidurnya, Mama yang mencintainya. Inilah alur pokok Marti & Sandra, yang ringkas,menarik, indah, dan hidup.
Sementara Para Pelacur dalam Perahu (PP) adalah roman setebal 281 halaman, sarat dengan konflik, kesedihan, rasa terhina yang berkelindan dengan nilai-nilai kehidupan, disertai tokoh yang cukup banyak, dengan karakternya masing-masing.
Ada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, meskipun ia pelacur, dan tidak meninggalkan anaknya di rumah bordil, bahkan memberinya pendidikan terbaik.
Seperti Savitri, pemetik kecapi, Lasmini, peniup seruling, dan Sulastri yang bertugas menuang arak ke dalam cangkir-cangkir keramik dan membaginya ke semua orang… Savitri dan Lasmini masih memainkan alat musik mereka, sebelum mengakhirinya pelan-pelan, seperti angin yang menggiring awan (PP: 18)
Sayang, bahwa alunan kecapi yang dipetik dan bunyi seruling yang ditiup tidak diekspresikan melalui pilihan diksi, dan kata yang dirangkai, yang semua bisa dirasakan sebagai nada yang indah. tidak juga tentang cangkir keramik berisi arak yang dibagikan itu. Sebenarnya penulis mampu mengungkapkannya, tetapi yang terjadi adalah
…. Masih ada Marissa, pelacur pemain biola, dengan pilihan lagu2 yang selalu sedih dan memberi tersayat-sayat, menyalurkan segala duka yang mengendap… dan menyumbat kebahagiaan hidupnya…. (PP: 106)
Sekali lagi, tidak ada nada indah bunyi gesekan biola. Seandainya alunan bunyi nada kecapi, seruling, serta biola dapat digoreskan melalui pilihan diksi dan rangkaian kata, maka ia akan menambah keindahan jiwa perahu dan isinya.
Alur dibangun dari dalam perahu dengan jiwa petualangan yang ingin bebas. Akan tetapi ... kebebasan dalam petualangan membuat mereka bagaikan pengungsi yang selalu ketakutan oleh bayangan pembantaian, dan selalu sungkan terhadap peradaban yang menghinakan. (PP: 14)
Tokoh utama adalah Tumirah sang mucikari yang mempunyai segudang pemikiran. Masih ada Supiah, perempuan bertubuh besar yang melakukan tugas pria, dan menjaga keselamatan teman-temannya.
Dunia di luar pelacur bagi Tumirah adalah peradaban (PP: 14), dan meminjam istilah Marti adalah dunianya perempuan baik-baik (MS: 115).
Tumirah dan seluruh penghuni Perahu Cinta menganggap bahwa mereka adalah kelompok yang tersingkir, tertindas, terhina, dan memusuhi peradaban yang menghinakannya itu. Akan tetapi di sisi lain, kalau kita jeli, pelacur juga mempunyai nilai dalam kehidupan mereka, dan menyimpan peradaban di relung-relung hati mereka, menjalani dan mendambakannya.
Seperti juga Marti yang mengatakan bahwa ”Aku professional, kujual tubuhku tapi tidak hatiku (MS: 83), tetapi di sisi lain, Tumirah yang sedang mengajar Kamasutra mengatakan, ”Tidak perlu dipisahkan sebetulnya, bahkan pelacur pun tidak dianjurkan bercinta tanpa hati, meski segera berpisah lagi”. (PP: 89)
Human paradox seperti itu mengandung berbagai makna, yang lahir dari interpretasi dan refleksi yang mendalam. Buku ini kaya akan paradoks, yang berarti juga kaya akan makna dan pemaknaannya. Akan tetapi, karena keterbatasan tempat, saya hanya akan mengkaji isu peradaban.
Inilah persoalan pokok yang ada dalam kedua buku itu, yang mempertanyakan apakah peradaban termasuk perempuan baik-baik, bukan milik pelacur?
Sebenarnya Tumirah dan Marti sangat mengerti apa artinya menjadi perempuan beradab, termasuk perempuan baik-baik.
Yang dihina peradaban yang beradab
Tumirah bersama Para Pelacur dalam Perahu telah mengalami berbagai hal yang menyakitkan, menghina, membunuh, dan sering mempertentangkan dunia hitam mereka (PP: 108) dengan peradaban yang selalu menghina (PP: 14). Bagi Marti, mereka yang bukan pelacur adalah perempuan baik-baik.
Baik Tumirah maupun Marti sebenarnya tidak perlu memusuhi peradaban karena peradaban sebenarnya lekat dalam hati mereka.
Benar bahwa tidak semua pelacur itu beradab, seperti juga manusia lainnya. Katakanlah, di wilayah percabangan, di balik bukit batu yang menjulang tinggi, tempat orang buangan bermukim, kampung-kampungnya mempunyai rumah-rumah bordil, dan juga perahu bordil, yang berbeda dengan Perahu Cinta yang dipimpin Tumirah. Di tempat perhentiannya, Perahu Cinta menyalakan lampion-lampion merah saat matahari mulai turun, dan bilik-biliknya pun telah tertata dengan apik dan harum oleh pewangi. Sementara Perahu Bordil perjalanannya hanya ulang-alik, dari hulu ke hilir dan sebaliknya, ia tidak mempunyai bilik, yang ada hanya tikar dengan tirai lusuh. Perahu ini isinya pun berbagai jenis pelacur, selain juga minuman keras dan obat-obat terlarang (PP: 268). Mereka hanya menjual syahwat dan tidak menjual cinta (PP: 269, 271).
Kembali pada apa yang dikatakan Tumirah, tampaknya kelompok pelacur bukan termasuk dalam katagori perempuan beradab, dan bukan juga sebagai perempuan baik-baik, meminjam istilah Marti.
Sebenarnya Tumirah dan Marti sangat mengerti apa artinya menjadi perempuan beradab, termasuk perempuan baik-baik. Dari kedua buku ini, ada tiga ukuran dasar suatu peradaban, yaitu pendidikan dengan dasar yang dimulai dari kemahiran membaca dan menulis, dituntut adanya kesenian, pengetahuan tentang Kamasutra dan etika.
Tumirah mewajibkan pelacur-pelacur Perahu Cinta untuk bisa membaca dan menulis. Tuntutan dasar suatu peradaban. Selain itu, saat membangun perahunya, Tumirah mengatakan bahwa ia ingin para pelacurnya mempelajari kesenian dan memiliki pengetahuan sehingga bisa membuat tamu-tamunya mengenal peradaban, dan dengan itu menghargai kehidupan. (PP: 31-32)
Alinea ini memperlihatkan bahwa Tumirah sangat mengerti peradaban, bahkan ia justru ingin membuat tamu-tamunya beradab. Karena itu, sangat dimengerti kalau grup kesenian ada dalam Perahu Cinta; ada peniup suling, pemain biola, dan kecapi, serta penari. Ia juga mewajibkan para pelacur tidak saja harus bisa membaca dan menulis (PP: 38), untuk menghadapi peradaban, tetapi juga mempelajari Kamasutra sebagai pengetahuan menghadapi kerja. Bahwa pendidikan adalah pintu untuk memasuki peradaban, diperlihatkan oleh Tumirah dengan menyelamatkan bayi merah yang dibuang ibunya, dan memberi dana pendidikan sampai perguruan tinggi melalui ibu susunya. (PP: 255, 259).
Bagi Marti, ia sendiri yang mengantar anaknya ke sekolah, dan mengharap Sandra menjadi perempuan baik-baik yang bukan seperti dirinya.
Pagi itu, di gerbang sekolah, Sandra sedang ”melihat” Mama berdansa dengan gaun terindah dan langkah teranggun. Sebelumnya ia ”melihat” laki-laki yang mencium mamanya.
”Sandra! Mau sekolah atau tidak kamu ini?” Anak itu tersadar. Mengajukan pipinya untuk dicium. ”Belajar baik-baik ya Nak, ya,?” (MS: 11)
Ada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, meskipun ia pelacur, dan tidak meninggalkan anaknya di rumah bordil, bahkan memberinya pendidikan terbaik. Suatu cara untuk bisa memasuki dunia peradaban dan meninggalkan dunia pelacuran
”Sandra….” Sandra menjawab dengan matanya, siap mendengar, ”Berjanjilah pada Mama, kamu akan menjadi perempuan baik-baik, Sandra?” ”Seperti Mama?” ”Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama”. (MS: 115)
Di sini tersembunyi kritik halus Marti terhadap dunia yang terpaksa digelutinya, seperti juga Tumirah dalam pembicaraannya dengan carik desa sebagai wali Kuprat yang akan menikahi Lilly.
”Saya bertanggung jawab atas nasib anak-anak saya,” kata Tumirah. …. Tidak dapat saya bayangkan adanya kehidupan yang lebih buruk bagi seorang perempuan daripada kehidupan seorang pelacur”. (PP: 79)
Tumirah tidak menghendaki Lilly, ”anak”-nya, menjadi pelacur, seperti juga halnya Marti yang tidak menghendaki Sandra seperti dirinya.
Pengalaman dalam Perahu Cinta dapat menimbulkan ingatan tentang kesulitan hidup, kekejian, pemerkosaan, pembunuhan, yang melibatkan emosi, perasaan dukacita, benci, trauma, dan mungkin juga dendam.
Satu hal lagi yang dikatakan buku ini tentang dunia beradab, yaitu bahwa mereka yang beradab menjunjung moral dan menjaga etika.
Suatu pagi, saat berhenti di salah satu kampung, datang sekelompok ibu-ibu yang menyambangi Perahu Cinta, mengatakan bahwa ”Tamu2 kalian yang naik kemarin malam adalah suami-suami kami. Tumirah tidak bisa membuang perasaan bersalah”. (PP: 66)
Hal ini memperlihatkan bahwa ia adalah pelacur yang bermoral, pelacur yang beradab, yang merasa bersalah kalau menerima suami orang.
Pengalaman hidup pelacur
Menurut kisahnya, mereka adalah orang-orang yang tertindas, hidupnya sulit, karena sebagai istri-istri yang ditinggal mati atau ditinggal suami yang mempunyai kekasih lain. Anak-anak yang tinggal di rumah bordil adalah mereka yang tidak dikehendaki ayahnya, atau mereka yang tidak jelas ayahnya, atau ada anak-anak yatim piatu, bisa juga mereka tinggal di sana, karena ikut ibunya yang pelacur.
Dampaknya, ada Sawitri yang pendiam. Ada yang berubah, tadinya periang, kemudian sinar matanya meredup. Ada yang tidak lagi bisa tertawa, atau yang selalu menangis, masih ada yang bermata sayu, dan yang berwajah sendu.
Pengalaman yang paling tidak bisa dilupakan adalah saat rumah bordil di tengah hutan itu dibakar oleh segerombolan orang yang berkerudung, dan hanya kelihatan matanya. Kekacauan terjadi, pelacur-pelacur diseret ke sembarang tempat, diperkosa, apabila melawan akan dianiaya demikian rupa sampai tewas mengenaskan, atau kalau masih hidup pun berdarah-darah atau biru lebam. Para tamu yang membela pun akan dibunuh dengan kejam sehingga mereka pun lari lintang-pukang. (PP: 23)
Para pelacur yang hidup akan merasa sangat terhina, dan mati jiwanya karena pemerkosaan itu. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan mereka pindah dari rumah bordil ke dalam perahu yang bisa bergerak lebih bebas…. Dengan berpindah-pindah bisa menghindari kebosanan. Tetapi itu sangat berbau petualangan. (PP: 20)
Kebebasan dalam petualangan membuat mereka tidak mapan, tetapi itu memang bukan sesuatu yang dikehendaki karena… pelacur ada di dunia rawan (PP: 20), atau Tumirah menyebutnya sebagai dunia hitam (PP: 108).
Akan tetapi, kesulitan dan kesedihan tidak berhenti dengan dibakarnya rumah bordil. Perahu yang berlayar itu diserang oleh perompak yang menutupi wajahnya dengan kain hitam dari hidung hingga mulut. Terjadi kepanikan. Raung kemarahan. Darah tumpah. Rambut terurai. Pisau terangkat. Punggung tertancap. Mulut menyeringai. Mata terbelalak. Hentak kaki di lantai papan. Kepala terbentur dinding kayu. Suara serak mengaduh-aduh. Bahasa tak dikenal mengerang-erang. Berbagai bunyi kesakitan…. (PP: 99)
Marissa pemain biola, yang ayah tidak resminya orang Belanda, dan Ayu yang sering membacakan puisi yang diwarisi dari pelanggan ibunya yang senang berpuisi, gugur. Mereka dimakamkan di desa berikut.
Alam rupanya juga tidak selalu mau berdamai. Perahu bisa masuk ke rawa atau terperangkap dalam kerimbunan. Saat itu, bisa ular berleher pipih muncul, dan merenggut nyawa Rina, pelacur yang lahir di rumah bordil. Ia selalu gembira, tetapi kemudian tawanya disapu oleh pemerkosaan yang membuat matanya meredup.
Masih ada kemiskinan yang menghantarkan Wiji, gadis miskin dari kampung miskin, untuk naik ke Perahu Cinta. Saat Wiji menatap kedua orang tuanya sambil berpegang bibir perahu yang segera berangkat, Tumirah mengalihkan pandangan agar tidak melukai dirinya sendiri. (PP: 156)
Sari, pelacur yang membuat banyak orang terhibur dengan tarian yang dipelajarinya dari film- film India, harus tewas karena peluru menembus jantungnya saat perahu mereka melewati daerah pertempuran. (PP: 192)
Kegetiran hidup belum mau berpisah dari penghuni Perahu Cinta. Saat perahu merapat di suatu kota, para pelacur turun ke darat untuk bersantai. Ternyata ada 9 orang dari mereka yang tertangkap oleh sindikat perbudakan seks dan akan dikirim ke luar negeri. Entah bagaimana kesembilan orang itu ditemui di hutan dalam mobil boks tanpa lubang udara. Mereka tewas mengenaskan. (PP: 203)
Pengalaman dalam Perahu Cinta dapat menimbulkan ingatan tentang kesulitan hidup, kekejian, pemerkosaan, pembunuhan, yang melibatkan emosi, perasaan dukacita, benci, trauma, dan mungkin juga dendam. Perahu Cinta berperan menyimpan pengetahuan tentang pengalaman itu, yaitu menyimpan ingatan adanya kekerasan, penghinaan, yang menimbulkan emosi, rasa marah, takut, dan mungkin pula dendam.
Sekarang bagaimanakah halnya dengan transfer pengetahuan tentang kekerasan, kekejian, penghinaan, yang menguras emosi itu?
Dari pengalaman hidup ke peradaban
Pengalaman hidup Marti, Tumirah, dan para pelacur menumbuhkan suatu dunia sendiri, dunia pelacur yang gelap. Di luar itu ada peradaban. Berdasarkan pengalaman, pelacur beranggapan peradaban menghina mereka, padahal tidak sedikit pelacur yang juga menyimpan peradaban dalam hati dan jiwa mereka. Jika demikian, dapat diandaikan ada kecenderungan meninggalkan dunia gelap itu, ikut apa yang dikatakan hati dan jiwa, masuk ke peradaban. Mungkin hal itu bisa dilakukan melalui transmisi, meneruskan nilai-nilai, dan transfer pengetahuan.
Apa yang ditransmisikan adalah nilai dari sisi peradaban para pelacur. Seperti Marti yang tidak ingin Sandra menjadi seperti dirinya, pelacur, atau Tumirah yang tidak saja mengharuskan orang bisa membaca dan menulis, tetapi juga mendanai bayi merah yang dibuang ibunya untuk dapat memperoleh pendidikan sampai perguruan tinggi. Semua ini adalah usaha untuk bisa masuk dalam dunia peradaban.
Sekarang bagaimanakah halnya dengan transfer pengetahuan tentang kekerasan, kekejian, penghinaan, yang menguras emosi itu? Saya melihat bahwa Perahu Cinta telah mentransformasikan kekerasan fisik itu menjadi kekerasan simbolik. Perahu Cinta berlayar ke muka kadang dengan santai, kadang mengikuti arus deras, bersama hujan dan angin untuk menuju peradaban.
Sayang bahwa Perahu Cinta sudah karam sebelum mencapai tujuan. Sementara Marti terlalu cepat ”meninggal”, tidak sempat menikmati transmisi yang dilakukannya pada Sandra, yang bekerja dengan bapak Presiden.
Ninuk Kleden-Probonegoro, Pensiunan Peneliti PMB-LIPI (2015)