PPN dan Kesejahteraan Masyarakat
Penting bagi pemerintah untuk memastikan kenaikan PPN berdampak positif dan signifikan pada kesejahteraan masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah memastikan akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025.
Secara undang-undang (UU), pemerintah memang dapat menaikkan tarif PPN hingga 15 persen sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 Ayat 1 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Kenaikan PPN telah dimulai pada 1 April 2022. Saat itu pemerintah menaikkan tarifnya menjadi 11 persen dengan tujuan mencapai target penerimaan pajak Rp 1.510 triliun sekaligus sebagai upaya percepatan pemulihan Covid-19.
Mengingat kontribusinya yang begitu besar pada penerimaan pajak, wajar bagi pemerintah menjadikan PPN sebagai komponen penerimaan pajak yang perlu dioptimalkan.
Baca juga: Harap-harap Cemas Kenaikan PPN di Era Prabowo
Sepanjang masa pandemi, tepatnya sejak 2020, kinerja PPN terus mengalami peningkatan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat itu mengatakan, penerimaan PPN sepanjang 2021 mencapai Rp 551,0 triliun atau 106,3 persen dari target awal Rp 518,55 triliun. Untuk 2023, penerimaan PPN mencapai Rp 764 triliun.
Meskipun menaikkan tarif PPN akan menaikkan penerimaan pajak, kenaikan PPN juga punya efek lain dan yang paling niscaya adalah kenaikan pada harga barang konsumsi. Apakah kenaikan PPN dirasa tepat?
Ancaman kesejahteraan
Pada 2022, Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) merilis laporan mengenai tanggapan masyarakat ketika tarif PPN naik menjadi 11 persen. Dengan melibatkan 800 responden di 40 provinsi, hasilnya 77,37 persen responden menolak kenaikan tarif PPN.
Mayoritas mereka beranggapan kenaikan tarif PPN bisa menghambat pemulihan ekonomi yang berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan.
Argumen ini cukup beralasan, bahkan hingga saat ini. Pada November 2023, Bank Indonesia (BI) merilis angka inflasi nasional naik 2,6 persen (yoy) akibat kenaikan kebutuhan pokok di pasaran. Belum lagi awal 2024 ini terjadi banyak kelangkaan komoditas yang menyebabkan melambungnya harga kebutuhan pokok di pasaran.
Ilustrasi/Heryunanto
Menaikkan tarif PPN saat pemulihan ekonomi belum maksimal berpotensi memukul masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Mereka yang paling merasakan dampaknya. Efek dominonya, angka kemiskinan bertambah, berujung pada semakin melebarnya jurang kesenjangan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase penduduk miskin di Indonesia sepanjang 2023 sebesar 9,36 persen atau 25,9 juta orang. Angka ini memang menunjukkan penurunan 0,21 persen poin dari September 2022 dan 0,18 persen poin dari Maret 2022. Meskipun mengalami penurunan, BPS tampaknya perlu merevisi standar kemiskinan yang telah ada.
Apabila standar kemiskinan disesuaikan dengan standar Bank Dunia, yakni pengeluaran minimum per hari per kapita 1,9 dollar AS (Rp 28.000), sekitar 40 persen populasi Indonesia masuk dalam golongan miskin. Selama ini definisi miskin versi BPS ialah mereka yang mencatatkan pengeluaran bulanan Rp 486.168 atau Rp 16.250 per hari.
Artinya, mereka yang pengeluarannya di atas Rp 16.250 dapat digolongkan dalam kategori ekonomi sejahtera.
Mengingat sifat PPN yang pembebanannya langsung ditanggung dan dibayar oleh konsumen akhir, maka naiknya tarif PPN tentu berdampak pada naiknya pengeluaran harian masyarakat sehingga dapat menekan daya beli masyarakat.
Kenaikan tarif PPN saat ini juga dirasa mencoreng spirit keadilan pajak akibat kenaikannya yang tak pandang bulu dan menyasar seluruh kalangan.
Kesenjangan ekonomi tak terelakkan. Imbasnya akses mobilitas sosial mereka semakin tertutup akibat fokus pada pemenuhan kebutuhan pangan yang harganya terus melambung. Masyarakat kelas bawah pada gilirannya tidak memiliki pilihan selain terus hidup dalam jerat kemiskinan.
Inflasi juga jadi ancaman yang paling nyata. Kenaikan PPN tentu berdampak pada naiknya harga bahan baku produksi dan keseluruhan ongkos produksi. Imbasnya sektor industri dan jasa juga terdampak. Agar tetap beroperasi, maka sektor industri dan jasa harus mampu menyesuaikan harga.
Inflasi jadi keniscayaan akibat nilai uang terus mengalami penurunan dari dampak yang ditimbulkan oleh naiknya harga kebutuhan barang dan jasa.
Selain itu, dalam waktu dekat konsumsi rumah tangga juga mengalami kontraksi. Jepang pernah merasakan dampak negatif dari menaikkan tarif PPN secara tiba-tiba yang berimbas pada terkontraksinya konsumsi rumah tangga masyarakanya.
Pada 2015, Pemerintah Jepang menaikkan tarif PPN menjadi 10 persen dan dampaknya konsumsi rumah tangga Jepang terkontraksi 0,93 persen hingga 4 persen.
Kenaikan tarif PPN saat ini juga dirasa mencoreng spirit keadilan pajak akibat kenaikannya yang tak pandang bulu dan menyasar seluruh kalangan. Akar rumputlah yang lagi-lagi menjadi korban kebijakan. Asumsinya golongan masyarakat kelas medioker harus membayar PPN dengan tarif yang sama dengan golongan masyarakat kelas atas.
Pemerintah dapat belajar dari beberapa negara yang lebih dulu menerapkan skema tarif PPN yang tinggi tetapi masih mengedepankan konsep keadilan seperti Hongaria.
Hongaria menerapkan skema PPN multitarif dengan reduced rate 5 persen untuk beberapa makanan pokok dan obat-obatan, serta reduced rate 18 persen untuk layanan internet, restoran dan produk katering, produk susu dan roti, dan hotel. Dengan skema tersebut, Hongaria menjadi salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi, tetapi masih mengedepankan keadilan dalam penerapannya
Alternatif lain, pemerintah juga dapat belajar dari Norwegia yang sukses besar dalam menerapkan wealth tax kepada satu persen populasi orang kaya yang terbukti efektif menambah penerimaan negara dan mampu memangkas angka ketimpangan sosial.
Langkah bijak?
Meskipun tidak ada kebijakan yang benar-benar ideal, agar tidak berujung pada distopia, penting bagi pemerintah untuk memastikan kenaikan PPN berdampak positif dan signifikan pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Penerimaan PPN dapat dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok prasejahtera melalui program bantuan sosial, subsidi kebutuhan pokok, atau insentif pajak yang ditujukan untuk kelompok masyarakat medioker.
Penerimaan PPN juga dapat dialokasikan pada pembangunan infrastruktur dan layanan publik yang manfaatnya langsung dirasakan kelompok-kelompok prasejahtera.
Kenaikan tarif PPN saat ini juga dirasa mencoreng spirit keadilan pajak akibat kenaikannya yang tak pandang bulu dan menyasar seluruh kalangan.
Selanjutnya penerimaan PPN juga bisa digunakan untuk menstimulus sektor ekonomi strategis yang berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, misalnya melalui insentif pajak untuk industri kreatif dan sektor padat karya. Penerimaan PPN juga bisa dialokasikan untuk investasi di sektor pendidikan dan inovasi teknologi perpajakan.
”Menjadi miskin memakan biaya lebih mahal dari orang kaya” tampaknya bukan isapan jempol belaka. Akibat harga kebutuhan pangan yang terus naik, dan diperburuk oleh kenaikan tarif PPN, golongan prasejahtera tak punya pilihan selain menunggu bantuan atau meminjam pada lembaga pinjaman daring dan para rentenir yang menawarkan pinjaman ilegal dengan bunga mencekik.
Sementara mereka yang kaya, saat dihadapkan pada kondisi sulit, bisa mengajukan kredit ke perbankan dengan segala keringanan yang ditawarkan.
Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini. Penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tepat dalam upaya memastikan kebermanfaatan yang dapat dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.
Baca juga : Kenaikan Tarif PPN Bisa Jadi Bumerang
Dengan demikian, kita dapat berharap bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak hanya akan membebani masyarakat, tetapi juga dalam jangka panjang berdampak signifikan bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Lambang Wiji Imantoro Tax Policy Analyst dari Pratama Kreston Tax Research Institute