Harap-harap Cemas Kenaikan PPN di Era Prabowo
Muncul sinyal bahwa pemerintahan Prabowo akan menimbang ulang rencana kenaikan pajak barang konsumsi. Berani atau tidak?
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menurut rencana akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan. Dari sekarang, publik sudah harap-harap cemas. Cemas memikirkan kenaikan harga barang dan jasa karena tarif pajak yang lebih tinggi sambil penuh harap agar presiden terpilih Prabowo Subianto mau membatalkan kebijakan tersebut saat nanti menjabat.
”Pajak enggak naik ajaudah ngos-ngosan,” ucap Stef (31), karyawan swasta di Jakarta, Selasa (26/3/2024), sambil tertawa getir membayangkan kenaikan tarif PPN mulai tahun depan.
Sekilas, bagi sebagian orang, kenaikan tarif PPN atau pajak barang konsumsi sebesar 1 persen mulai 1 Januari 2025 mendatang mungkin terkesan bukan apa-apa. Ibarat kata, pajak cuma naik 1 persen saja, kok, ribut?
Baca juga: Dilema Kenaikan Tarif PPN, Antara Penerimaan Negara dan Daya Beli Warga
Namun, bagi warga kelas menengah-bawah yang ruang kasnya sempit, kenaikan harga barang dan jasa sesedikit apa pun akan tetap menguras isi dompet. Apalagi, di tengah kenaikan harga barang yang sudah mulai terjadi, upah yang stagnan, dan tanpa bantuan apa pun dari negara.
Stef, misalnya, sudah berhemat semaksimal mungkin. Setahun terakhir ia hampir tidak pernah lagi nongkrong. Ia juga pindah ke tempat indekos yang jauh lebih murah. ”Itu pun masih ngajak teman tinggal bareng supaya bisa patungan uang kos,” ujar warga Jakarta itu.
Dengan penghematan itu, konsumsi Stef dalam sebulan (di luar membayar sewa kos) tetap saja memakan 70 persen dari gajinya. Manakala ia sesekali mau mentraktir dan menyenangkan diri sendiri, gajinya bisa ludes, bahkan minus.
Stef berharap pemerintah ke depan bisa membatalkan rencana menaikkan PPN. ”Apa tidak ada cara lain? Tanpa pajak naik pun, sudah berat. Apalagi kita-kita kelas menengah, sudah tidak pernah dapat bantuan, tiap ada kebijakan begini, kita jadi yang pertama terdampak,” kata Stef.
Orang kaya dikasih amnesty (pengampunan pajak), kelas pekerja diperah kayak sapi.
Senada, Ria (32), warga Parung, Bogor, Jawa Barat, khawatir belanja kebutuhan bulanan untuk keluarga kecilnya akan lebih berat dengan kenaikan tarif PPN. Saat ini saja, ia sudah merasakan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.
”Sekarang aja pajaknya 11 persen barang-barang udah makin mahal. Apalagi nanti jadi 12 persen. Sebagai kelas menengah mepet, jadi hati-hati mau belanja barang dan makanan di luar kalau pajak naik,” ucapnya.
Ia semakin kesal membayangkan uang pajaknya tidak bisa ia nikmati lewat fasilitas publik yang lebih nyaman. Jalanan di sekitar rumahnya masih rusak. Ruang terbuka hijau untuk anak-anaknya bermain sangat terbatas.
Transportasi publik terdekat pun jaraknya masih 20 menit dari rumah sehingga ia mesti menghabiskan sekitar dua jam dari rumahnya ke Jakarta untuk urusan kerja. ”Sudah bayar pajak, apa yang didapat? Orang kaya dikasih amnesty (pengampunan pajak), kelas pekerja diperah kayak sapi,” katanya.
Ria ragu pemerintah akan membatalkan kebijakan itu. Namun, ia tetap menaruh harapan. ”Semoga PPN batal naik dan kebijakan yang memberatkan masyarakat mbok dikaji ulang lagi,” ucapnya.
Baca juga: Tidak Semua Barang Jasa Kena PPN 12 Persen, Belanjamu Kena?
Tergantung Prabowo
Harapan Stef, Ria, dan jutaan warga itu kini ada di pundak Prabowo Subianto, presiden terpilih hasil Pemilu 2024. Meskipun sudah berjanji melanjutkan kebijakan-kebijakan Presiden Joko Widodo, Prabowo kini juga berhadapan langsung dengan sorotan dan ekspektasi publik. Mulai dari warga biasa sampai pelaku usaha yang ikut tertekan oleh kenaikan PPN.
Wakil Direktur PT Toyota Manufacturing Indonesia Bob Azam, misalnya, berharap pemerintah bisa mengkaji ulang wacana kenaikan PPN itu. Sebab, itu dapat memukul kinerja industri pengolahan yang saat ini pun menghadapi tekanan biaya produksi dan penurunan permintaan karena daya beli masyarakat yang melemah. ”Mohon ini jadi perhatian,” kata Bob.
Rencana kenaikan PPN memang sudah diatur di era Jokowi lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Isinya, tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022. Berikutnya, naik lagi menjadi 12 persen selambat-lambatnya 1 Januari 2025.
Kalau kita bisa menaikkan penerimaan pajak dari menutup kebocoran-kebocoran lain, kita mungkin bisa menurunkan tarif itu.
Akan tetapi, eksekusinya baru akan terjadi di era Prabowo, yang akan mulai menjabat pada Oktober 2024 nanti. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo pun telah melempar bola panas ini kepada Prabowo yang baru resmi terpilih.
Menurut Yustinus, tarif PPN 12 persen bukan harga mati. Sebab, ada ruang penyesuaian dalam Pasal 7 Ayat 3 di UU HPP bahwa pemerintah bisa menurunkan tarif PPN sampai paling rendah 5 persen atau menaikkannya sampai maksimal 15 persen.
”UU memberi ruang penyesuaian dengan rentang 5-15 persen, disesuaikan perkembangan ekonomi dan kebutuhan pemerintah. Secara etis, keputusan diserahkan ke presiden dan DPR yang baru,” katanya.
Semua masih mungkin
Menanggapi itu, Drajad Wibowo, anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menegaskan bahwa rencana kenaikan PPN bukan kebijakan Prabowo karena sudah diputuskan sejak pemerintahan Jokowi.
Meski demikian, pihaknya akan melihat perkembangan kondisi ekonomi untuk mengkaji opsi membatalkan kenaikan tarif PPN, bahkan menurunkannya.
Baca juga: Menimbang Ulang Rencana Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen
”Semua masih mungkin, bergantung nanti seperti apa hasil dari transformasi perpajakan kita melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Kalau kita bisa menaikkan penerimaan pajak dari menutup kebocoran-kebocoran lain, kita mungkin bisa menurunkan tarif itu,” kata Drajad, yang secara pribadi berpandangan tarif PPN semestinya bisa kembali ke 10 persen lagi.
Sumber lain dari lingkaran Prabowo juga menyebut adanya pemikiran-pemikiran yang berkembang di tim internal Prabowo-Gibran untuk membatalkan kenaikan PPN, bahkan menurunkannya, dengan pertimbangan kondisi daya beli masyarakat yang belum pulih betul.
Menurut peneliti pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, Pasal 7 Ayat 3 UU HPP bisa dijadikan celah pembenaran untuk membatalkan kenaikan PPN. Hal itu bisa diputuskan melalui pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 bersama DPR.
Hal itu sesuai dengan Pasal 7 Ayat 4 yang menyatakan bahwa perubahan tarif PPN menjadi 5 persen atau 15 persen perlu disepakati bersama dengan DPR. ”Jadi, di awal, sesuai UU HPP, pemerintah tetap naikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Namun, dalam pembahasan RAPBN 2025, dengan memakai Pasal 7 Ayat 3, tarifnya diturunkan,” kata Fajry.
Ini bukan pilihan mudah. Di satu sisi, Prabowo dan Gibran butuh ’jalan pintas’ menaikkan penerimaan negara untuk membiayai program dan kebijakan mereka.
Pembatalan lewat RAPBN itu dibutuhkan untuk memperkuat legitimasi politik pemerintah menurunkan tarif PPN. Proses ini tentu membutuhkan negosiasi yang alot, bergantung pada bagaimana peta kekuatan politik koalisi pendukung pemerintah di DPR nantinya.
Pemerintah juga mesti bisa menjelaskan latar belakang kondisi ekonomi yang membuat kenaikan tarif PPN perlu dibatalkan. ”Dalam bagian penjelasan UU, tidak disebutkan secara terukur apa makna dari kondisi ekonomi tertentu yang dimaksud (jika ingin menurunkan PPN). Makanya, kemungkinan besar negosiasi politik yang akan menentukan,” katanya.
Ini bukan pilihan yang mudah. Di satu sisi, Prabowo dan Gibran butuh ”jalan pintas” menaikkan penerimaan negara untuk membiayai berbagai program dan kebijakan yang mereka janjikan saat kampanye dan mencapai target rasio perpajakan. Menaikkan tarif pajak adalah cara paling cepat dan mudah untuk mengerek penerimaan ketimbang menunggu BPN dibentuk.
Namun, di sisi lain, mereka juga berhadapan dengan keresahan masyarakat luas dan pelaku usaha pada tahun pertama menjabat. Secara politik, itu bukan awal yang mulus untuk memulai kepemimpinan sampai lima tahun ke depan.
Jadi, apakah Prabowo akan berani? Kita lihat nanti.