Pengorbanan demi Nilai yang Lebih Baik
Salah satu karakter Paskah adalah berani beralih dari mental manusia lama menuju baru.
Saat mengajar, salah satu murid bertanya kepada Santo Agustinus dari Hippo, ”Mengapa Tuhan menciptakan kita manusia?” Dia menjawab, ”Tuhan menciptakan kita manusia karena Tuhan mencintai kita tanpa syarat, tidak ada motivasi lain!”
Dalam Kisah Penciptaan, manusia diciptakan pada hari keenam secitra dengan Allah. Setiap melihat kembali ciptaan-Nya pada hari pertama sampai hari kelima, Tuhan hanya mengatakan, ”Semuanya baik!” Tetapi, setelah menciptakan manusia, Tuhan melihat dan mengatakan, ”Sungguh amat baik!” (Kejadian 1: 31).
Ciptaan-ciptaan lain hanya dikatakan ”baik”, tetapi manusia dikatakan ”sungguh amat baik” karena manusia menjadi puncak ciptaan. Allah menganugerahi manusia karakter-Nya: baik, lemah lembut, murah hati, penuh belas kasihan, maha pengampun, penolong. Karakter-karakter baik itu diharapkan tampak dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Cinta dan belas kasihan Tuhan kepada manusia memang tidak ada habisnya. Itu ditunjukkan-Nya lewat sejarah panjang manusia dari zaman Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, sampai sekarang. Karena itu, Kitab Suci kadang disebut buku tentang sejarah belas kasih Allah.
Baca juga : Paskah dan Ketiadaan Diri
Mencintai, tetapi tidak berhenti pada mencintai. Ia menyelenggarakan apa saja yang dibutuhkan manusia sejauh baik bagi manusia dan ciptaan-Nya, serta untuk kemuliaan-Nya.
Karena itulah, Yohanes, salah satu Rasul Yesus dan penulis Injil, setelah lebih kurang 50 tahun merenungkan Sabda Tuhan, berani mengatakan bahwa Allah begitu mencintai dunia (termasuk manusia di dalamnya).
Untuk itulah, Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal supaya orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup kekal (Yohanes 3: 16). Sayang, dunia lebih suka mengikuti kemauan sendiri, bukan agenda Tuhan. Dunia rusak dan terluka, jauh dari Tuhan.
Allah bukan pribadi yang teoretis, yang hanya suka berbicara. Ia menggunakan bahasa relasional, bukan bahasa informatif.
Contoh bahasa relasional demikian. Seorang suami baru pulang dari kerja berkata kepada istrinya, ”Ma, Papa pusing dan lapar, banyak masalah di kantor!”
Sang istri menjawab, ”Saya siapkan minum, makanan, dan obat, ya. Papa istirahat di sofa.”
Apabila sang istri menangkap ucapan suami hanya sebagai bahasa informatif, dia mungkin akan mengatakan, ”Sabar. Pa, itulah hakikat orang bekerja.”
Dalam bahasa relasional, seseorang bertindak setelah mendengar perkataan orang lain. Itulah yang dibuat oleh Allah. Ia tidak hanya menciptakan dan mencintai, tetapi juga melakukan apa saja untuk kebahagiaan yang dicintai-Nya. Alangkah indahnya dunia apabila manusia menggunakan bahasa relasional. Tak ada yang disengsarakan atau dieksklusifkan.
Allah itu inklusif, tidak pilih kasih, memberikan hujan dan matahari bagi semua. Tuhan tidak bertanya apa agamamu, apa kepercayaanmu sebelum memberikan udara, air, dan panas matahari (Matius 5: 45). Ia ingin semua bahagia, memiliki kehidupan berlimpah. Mengapa demikian? Karena Allah adalah Sang Cinta dan penuh belas kasih.
Namun, Allah tetaplah misteri. Tak mungkin kita selami dan mengerti secara tuntas. Kita bisa masuk ke dalam misteri itu jika mau mengenal-Nya. Semakin manusia mengenal Allah, karakter Allah juga akan tampak dalam dirinya.
Orang beriman akan melakukan apa yang Allah lakukan. Tidak ada kehendak mem-bully mereka yang berbeda kepercayaan, merasa diri atau kelompoknya paling benar, dan bertindak semena-mena kepada yang tidak sejalan.
Allah itu inklusif, tidak pilih kasih, memberikan hujan dan matahari bagi semua.
Wujud cinta Tuhan
Banyak orang menghindari hidup susah, kalau bisa selalu mapan dan nyaman. Karena itu, pernah ada semboyan: ”muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga”.
Itu memang tidak salah. Namun, justru dalam dan melalui pelbagai kesulitan dan kesusahan orang ditempa agar semakin tahan banting. Penderitaan mematangkan apabila manusia bisa memaknainya.
Bukankah peziarahan manusia itu adalah perjalanan mencari makna hidup?
Ada bermacam cara dipakai manusia, ada juga aneka penemuan makna hidup bagi manusia. Ada yang menemukan makna dalam prestasi, kesuksesan, menumpuk harta kekayaan, biarpun dengan cara-cara tidak terpuji seperti korupsi. Jangan-jangan hal-hal semacam itu cukup banyak di Indonesia sehingga membuat banyak orang menderita.
Hidup manusia baru ditemukan maknanya apabila manusia bersama dengan Tuhan, pemberi makna hidup. Dialah awal dan akhir (alfa dan omega, bdk. Wahyu 22: 13). Orang Jawa mengatakan: ”Dialah sangkan paraning dumadi.” Santo Thomas Aquinas menyebutnya ”exitus-reditus, semua keluar dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan”.
Ilustrasi
Yesus hadir membantu kita menemukan makna hidup. Dia rela menderita demi kebahagiaan manusia, demi kepenuhan hidup manusia. Tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta yang menyerahkan nyawa bagi sesamanya (Yohanes 15: 13).
Atau kalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap sebiji saja; tetapi apabila mati di tanah, ia akan tumbuh dan banyak menghasilkan buah (Yohanes 12: 24). Buah-buah penderitaan itulah kehidupan bagi manusia.
Namun, kenapa harus melewati salib sebagai jalan kematian-Nya? Tidak adakah cara lain menebus manusia selain lewat jalan penderitaan?
Bagi orang-orang Yahudi ini merupakan batu sandungan. Salib biasanya hanya untuk menghukum penjahat dan pengkhianat bangsa. Namun, Yesus memberi makna salib secara baru, yaitu sebagai keselamatan (bdk. 1 Korintus 1: 23). Itulah puncak cinta-Nya. Demi cinta dan kebahagiaan manusia, Ia rela mati disalib.
Salib yang adalah wujud puncak cinta Tuhan kepada dunia tidak berhenti pada penderitaan dan kematian. Salib berbuah pada kebangkitan, kehidupan baru bagi semua.
Santo Paulus menegaskan, ”Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (1 Korintus 1517).
Kehadiran Yesus setelah kebangkitan-Nya memungkinkan manusia menemukan inspirasi dan harapan baru untuk menapaki kehidupan yang penuh liku-liku dan tantangan.
Belum lama ini bangsa Indonesia memilih presiden dan wakil presiden serta para anggota legislatif. Ada yang gagal, ada yang menang.
Yesus hadir membantu kita menemukan makna hidup.
Tanggal 20 Maret 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan, pasangan nomor urut dua adalah pemenang pilpres dan PDI Perjuangan pemenang pemilu legislatif. Memang ini situasi yang mungkin tidak memuaskan bagi sejumlah orang, tetapi apakah kita akan berhenti di level ini atau bangkit membangun NKRI?
Mari bangkit
Salah satu karakter Paskah adalah berani beralih dari mental manusia lama menuju baru. Itu baru namanya bangkit! Di Tanah Air kita, sebenarnya ada banyak alasan untuk bangkit dan membangun masa depan bersama. Tak hanya mengatasi sisa masalah dari pemilu, tetapi juga korupsi, kerusakan hutan, kurangnya kualitas pendidikan, dan perdagangan manusia.
Saya pernah hidup di luar Indonesia. Indonesia itu memiliki banyak sumber alam yang jika dikelola dengan baik, benar, dan adil bisa membuat rakyat makmur dan maju. Indonesia juga amat indah. Mengapa kita tak bersyukur dan membangun Indonesia bersama-sama?
Inilah momen bangkit dan berubah dari manusia lama ke manusia baru, dari Indonesia lama menuju Indonesia baru. Mari kita wujudkan buah-buah Paskah. Tidak hanya setahun sekali, tetapi juga menjadikan momen Paskah setiap hari.
Yohannes Bosco Isdaryanto SVDDirektur Spiritual Novisiat SVD, Batu, Jawa Timur