Paskah dan Ketiadaan Diri
Paskah tidak hanya ritus dan ritual tahunan, tetapi di sana terdapat pesan kuat bagi umat Kristiani untuk ambil bagian di dalam membuat dunia ini semakin baik di dalam wajah kemanusiaan, karakter, dan kasih.
Tahun ini umat Kristiani dan Katolik merayakan Paskah di tengah-tengah bulan puasa Ramadhan yang dirayakan oleh seluruh umat Islam. Sebuah peristiwa yang begitu kaya makna dan patut menjadi perenungan indah bagi kita sebenarnya.
Yesus, panutan bagi umat Kristiani dan Katolik, pernah berkata, siapa yang menjadi murid dan mengikuti Dia harus menyangkal diri, dan memikul salib. Hal tersebut bukan ajaran atau seruan agama yang hanya terbaca sebagai teks di dalam narasi kitab suci. Di balik seruan itu terdapat perintah yang imperatif bagi umat-Nya agar mutlak, tidak bisa tidak, melaksanakan ajaran itu.
Di dalam perintah Yesus itu, tidak terdapat ruang bagi manusia yang mengaku murid-Nya untuk dapat bertindak dalam pilihan bebas terhadap opsi-opsi lain yang meringankan. Tidak ada. Sebaliknya, tuntutan-tuntutan tersebut bersifat mengikat, begitu mendalam, karena menuntut adanya perubahan karakter dan perilaku keseharian setiap orang yang mengakui Dia.
Baca juga: Penyaliban Kristus, Sungguhkah Tak Terelakkan?
Poin pertama adalah mengenai penyangkalan diri. Memang menyangkal diri bukanlah perkara semudah mengucapkannya. Sigmund Freud tidak pernah salah ketika menyatakan bahwa karakter manusia pada dasarnya dibentuk oleh kolaborasi antara id, ego, dan super ego. Semua mengarah pada satu titik yang disebut kehendak. Siapa pun dia, di dalam keberadaannya sebagai manusia, tidak pernah bisa melepaskan diri dari kehendak. Dan kita semua mengerti bahwa kehidupan itu digerakkan oleh tujuan. Apa yang paling kita inginkan, ke sanalah hidup dan perilaku kita bergerak.
Maka, tantangannya tidak terletak pada level epistemologi, tetapi pada tindakan dan aksi. Justru umat Kristen dituntut melakukan hal yang berlawanan dengan sifat dasariah kita dalam hal kehendak dan hasrat. Orang yang menyangkal diri haruslah melawan semua keinginan diri, harus melawan kehendaknya sendiri. Dengan kata lain, umat Kristen tidak boleh hidup hanya demi kehendak diri semata. Ia harus melawan keinginan demikian karena tidak paralel dengan tuntutan sebagai umat yang mengikuti Yesus.
Umat Kristen tidak boleh hidup hanya demi kehendak diri semata. Ia harus melawan keinginan demikian karena tidak paralel dengan tuntutan sebagai umat yang mengikuti Yesus.
Poin kedua yang ditekankan oleh Yesus untuk umat Kristen adalah memikul salib. Indikator ini tidak jauh lebih ringan dan mudah dibandingkan dengan penyangkalan diri. Kosuke Koyama, salah seorang teolog Asia, pernah mengatakan bahwa tidak ada gagang pada salib (2020:19). Salib bukan sesuatu yang ringan sehingga dapat ditenteng ke mana-mana. Salib bukan identitas yang mudah dan dapat diletakkan begitu saja.
Justru salib yang sejati adalah sebuah palang tempat menggantung orang hukuman yang lazim dilakukan tentara Romawi pada abad pertama untuk menimbulkan ketakutan publik agar tidak melanggar hukum atau memberontak. Implikasinya, dipermalukan, mati pelan-pelan, dan menyandang status kriminal adalah derita yang bakalan dihadapi oleh setiap orang yang memikul salib. Disebut memikul salib karena ia pada dasarnya adalah sebuah beban. Tepatnya, beban penderitaan, kesakitan, dan dipermalukan. Sebab, tidak ada harga diri di atas salib.
Penderitaan massal
Lalu, apa makna kedua hal tersebut dalam peristiwa Paskah?
Secara global dapat dikatakan bahwa dunia saat ini berada dalam krisis. Manusia sedang berada dalam penderitaan massal. Bencana alam telah mendahului Covid-19 sebagai penderitaan manusia. Krisis minyak bumi mewakili masalah ekonomi manusia. Lingkungan banyak yang rusak dan membuat alam menjadi tidak seimbang. Perang Rusia dan Ukraina memperluas horison tentang krisis multidimensi. Semua itu memberi tahu bahwa penderitaan umat manusia begitu besar, banyak dan beragam.
Maka, pada saat itulah seharusnya umat Kristen membuat perbedaan, mengingatkan secara aktif agar seluruh manusia meninggalkan makna diri yang penuh ego. Umat Kristen perlu menyuarakan bahwa dunia bukan tempat untuk mementingkan terpuaskannya kepentingan diri, melainkan dunia di mana semua umat apa pun agamanya harus menyatu, saling berempati terhadap sesama, dan berjuang bersama untuk nilai-nilai yang lebih baik. Di sinilah Yesus menuntut umatnya untuk memikul salib, memperlihatkan solidaritas atas penderitaan umat di seluruh dunia, sebagaimana yang pernah diperlihatkan Tuhan kepada manusia di bumi.
Ini bukan tanpa bukti. Dalam konteks kesejarahan, Yesus yang disalibkan pernah hadir untuk melawan krisis yang terjadi di zamannya. Saat itu manusia begitu direndahkan justru oleh sesama manusia. Otoritas agama dipraktikkan demi kebanggaan diri. Orang-orang miskin, hina, berpenyakit, diabaikan. Manusia mengalami fragmentasi yang begitu parah.
Baca juga: 100 Persen Jadi Katolik, 100 Persen Pula Jadi Warga Indonesia yang Baik
Zaman ketika Yesus disalibkan adalah deskripsi ilahi tentang penderitaan. Tetapi, Yesus memilih memasuki dunia seperti itu karena Ia tidak mementingkan diri-Nya sendiri, sebaliknya Ia membawa seruan untuk menjawab penderitaan dengan pengorbanan. Hanya dengan memanggul saliblah, Ia memberikan inspirasi sekaligus bukti bahwa penyangkalan diri bisa dilakukan.
Dalam konteks kebangsaan kita, Paskah memberikan makna yang juga begitu penting. Paskah adalah bagian dari sejarah manusia yang sangat penting mengenai siapa kita dan siapa sesama. Daripada mengindentifikasi diri sebagai agama yang paling benar, Paskah justru memberi tanda dan menjadi penanda bahwa dunia yang semakin baik hanya terwujud jika kita setiap umat beragama, terutama dimulai dari umat Kristen dan Katolik, mempraktikkan perilaku penyangkalan diri.
Dia pernah ada di dalam dunia, bersama-sama manusia, agar salib menjadi inspirasi kebaikan dan kasih. Kehadiran-Nya di dalam sejarah untuk menjadikan manusia sebagai mitra kerja manusia perjuangan, membebaskan manusia dari kehendak pribadi.
Setiap umat Kristen harus mengajukan pertanyaan pribadi, setiap kali ada krisis, termasuk peristiwa penting dalam hal ekonomi, sosial atau politik, sudahkah menyangkal diri untuk tidak ikut-ikutan menyelamatkan diri sendiri? Sebaliknya, sudahkah memberikan contoh berkorban demi negeri ini saat pemerintah membutuhkan?
Tidak usah jauh-jauh. Apakah ketika minyak goreng langka, umat Kristen tidak ikut-ikutan latah memborong minyak goreng? Ketika minyak goreng langka, apakah umat Kristen telah berkorban dengan cara berbagi kepada orang lain yang membutuhkan, apa pun agamanya? Demikian juga dengan situasi pengendalian Covid-19 sekarang ini. Apakah umat Kristen telah mempraktikkan pengendalian diri sehingga tetap menjaga supaya praktik kesehatan tetap terpelihara dan mengajak umat lain mempraktikkan protokol kesehatan juga?
Sederhana sebenarnya, tetapi itulah konteks yang menjadikan perintah Yesus itu menjadi lebih implikatif. Alih-alih ajaran Yesus hanya bersifat eksklusif, justru Ia meminta umat-Nya untuk mempraktikkan ajaran-Nya ke dalam dunia, termasuk negeri kita ini, seperti Ia telah lakukan saat Paskah pertama.
Baca juga: Renungan Paskah: Kebangkitan Iman dan Kemanusiaan
Kematian Yesus di kayu salib mengingatkan akan sebuah solidaritas sosial untuk melawan ego pribadi. Ketika manusia menjadi semakin individualistis dan tidak peduli kepada orang lain, kecuali memiliki kepentingan yang menguntungkan, Paskah mengingatkan lagi bahwa perilaku umat-Nya adalah hal sebaliknya. Umat Kristen dituntut mengerem perilaku, dan memikul tanggung jawab penuh untuk bertindak menjadi perekat yang menyatukan, melalui pengorbanan-pengorbanan diri, untuk mengingatkan bahwa negeri ini milik bersama.
Maka tidak kebetulan jika di dalam perayaan paskah tahun ini, momentumnya beririsan dengan puasanya umat Islam. Ini merupakan kesempatan untuk melakukan rekoleksi, sejauh mana batas yang telah kita capai dalam menyangkal diri dan menyalibkan diri selama ini bermanfaat bagi umat lain dalam konteks kebangsaan kita.
Sonny Eli Zaluchu, Teolog dan Dosen; Sedang Menempuh Program Doktor Sosiologi Agama di UKSW Salatiga