Makan Siang Gratis, antara Keseragaman dan Keberagaman
Program makan siang gratis selayaknya menganut keberagaman pangan, lebih ke arah pendekatan nutrisi daripada komoditas.
Oleh
M CHAIRUL ARIFIN
·3 menit baca
Program makan siang gratis yang sudah menjadi program prioritas presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sejak awal banyak menuai perbedaan pendapat di masyarakat tentang kemungkinan dapat tidaknya diterapkan kelak. Kesalahan terjadi karena dari awal selalu diketengahkan kebutuhan yang agak bombastis untuk program ini.
Dikatakan oleh Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran bahwa berbagai kebutuhan komoditas untuk ini meliputi beras sebanyak 6,7 juta ton, daging unggas 1,2 juta ton, daging sapi 0,5 juta ton, ikan 10 juta ton, dan susu 4 juta kiloliter.
Kebutuhan komoditas tersebut diperkirakan untuk sasaran 4,8 juta ibu hamil (bumil), 20,4 juta anak balita, 7,7 juta siswa taman kanak-kanak, 28 juta siswa sekolah dasar, dan 12,5 juta siswa sekolah menengah pertama, termasuk para santri pondok pesantren (BKKBN dan Kemenkes, 2023).
Penghitungan komoditas yang diperlukan untuk program makan siang gratis tersebut merupakan tambahan yang diperlukan selain kebutuhan rutin existing masyarakat saat ini. Karena itu, kebutuhan makan gratis tersebut lalu banyak diartikan oleh publik dan para pakar sekalipun, membutuhkan komoditas yang secara teknis lalu membutuhkan tambahan pencetakan sawah baru untuk produksi beras.
Adapun berbagai komoditas dikonversikan ke ternak hidup dengan penghitungan teknis ilmiah berupa perlu tambahan ternak ayam sampai 1 miliar ekor, sapi 2,5 juta ekor, sapi perah 1,2 juta ekor, dan tambahan ikan dari daratan dan lautan yang perlu kolam serta kapal penangkapan ikan laut.
Persepsi tersebut ada benarnya. Namun, kalau persepsi tersebut lalu dianggap benar, pasti memerlukan perombakan tata kelola pangan dan membutuhkan biaya yang bukan main besarnya. Hal itu juga dapat mengundang kajian layak atau tidaknya program makan siang gratis ini.
Persepsi ini timbul karena publik (dan juga sebagian pakar dan akademisi) terperangkap pada pola keseragaman, bukan pada pola keberagaman pangan.
Pola seragam menuntut tambahan jumlah ternak. Padahal, jumlah ternak yang ada tidak cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat saat ini sehingga impor daging sapi hampir 50 persen daripada kebutuhan, impor susu apalagi yang 80 persen bahan baku impor, dan bibit ayam ras pun harus impor. Belum lagi komoditas beras yang setiap tahun diimpor dari negara lain. Ikan pun kita terpaksa impor.
Data ini dapat dijadikan pembenar dari persepsi yang menganut pola seragam tersebut. Coba lihat betapa tergantungnya bangsa ini pada hegemoni beras dan makanan daging, telur, susu, serta beberapa jenis ikan.
Berbagai komoditas ini terserak begitu saja di 17.000 untaian pulau Nusantara menunggu pemanfaatannya.
Namun, pola persepsi keberagaman dapat menjungkirbalikkan persepsi keseragaman pangan. Dengan pendapat ini berubah pula orientasi yang selalu outward looking menjadi inward looking.
Artinya, lebih memperhatikan potensi keberagaman lokal dalam negeri ketimbang impor. Bappenas dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN 2045) tentang pangan telah membagi wilayah Indonesia ke dalam enam lokasi potensi pengembangan pangan berdasarkan pulau besar. Tentu hal ini akan dirinci lebih lanjut dalam sublokasi atau kluster kawasan pangan sesuai potensi sumber daya setempat.
Bappenas pada 2021 menyebutkan tentang adanya keberagaman sumber pangan di seantero kepulauan. Telah diidentifikasi, terdapat 77 jenis sumber pangan karbohidrat, 228 jenis sayuran, 75 jenis sumber pangan protein nabati dan hewani, 22 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 110 jenis rempah dan bumbu, dan 40 jenis yang dapat menjadi sumber minuman. Berbagai komoditas ini terserak begitu saja di 17.000 untaian pulau Nusantara menunggu pemanfaatannya.
Pendekatan nutrisi
Pola keseragaman memang menihilkan keberagaman. Program makan siang gratis sudah selayaknya menganut keberagaman ini, karena pendekatannya bisa lebih ke arah pendekatan nutrisi daripada komoditas.
Banyak komoditas pangan lokal pengganti beras, daging, dan susu yang nilai gizinya sudah tidak diragukan lagi. Pengganti beras dengan sorgum, porang, jagung, atau singkong. Daging dengan daging ternak lokal sapi Bali, Madura, Pesisir; ayam bukan ras; kambing dan domba lokal.
Namun, pemanfaatannya secara lokal jangan nasional. Dengan ini pola keberagaman selanjutnya dapat menyesuaikan dengan Pedoman Pola Gizi Seimbang yang didasarkan pada kebutuhan setiap orang dengan statusnya sebagai ibu hamil, anak bawah lima tahun, usia TK, usia SD, dan SMP, termasuk pesantren dengan segala aktivitasnya. Siswa yang olahragawan, misalnya, kebutuhan harian kalorinya beda dengan yang belajar di kelas.
Pendekatan yang seragam dapat juga diterapkan, tetapi pola ini menepis keberagaman yang ada. Terlalu single komoditas, bisa impor, biaya besar, dan memerlukan tata kelola yang rumit.
Sebaliknya, dengan keberagaman pola komoditas tergantung spesifik lokasi, prinsip pola gizi seimbang, komoditas sudah lama dikenal masyarakat setempat, hemat biaya, tidak menimbulkan ketergantungan impor dan dapat menggerakkan sumber daya lokal yang selama ini tidur lelap karena hegemoni beras dan komoditas lainnya yang impor.
Pengalaman dari negara maju yang sejak 1940-an melakukan program makan siang gratis sampai sekarang semua kebutuhan pangannya berbasiskan pangan lokal. Pemerintah yang baru kelak sebenarnya dapat mempertimbangkan kebijakan seperti ini, dan perlu dibahas nyata dalam rincian peta jalan yang berbeda di setiap daerah tergantung potensi pangan setempat yang sesuai dengan pedoman pola gizi seimbang.
M Chairul Arifin, Purnabakti Kementerian Pertanian; Alumnus Unair