Demokrasi Menuju Punah?
Ketika demokrasi punah, akan sangat tak mudah dan butuh waktu panjang untuk menghidupkan kembali.
Ancaman kemunduran dan menurunnya kualitas demokrasi berlangsung secara konsisten di banyak negara beberapa selama tahun terakhir. Pada pidato di Athens Democracy Forum, 13 September 2017, mantan Sekjen PBB Kofi Annan menyampaikan catatan penting akan krisis demokrasi yang terjadi di sejumlah negara, baik negara-negara demokrasi lama (old democracies) maupun yang sedang tumbuh (emerging democracies).
Annan menyinyalir ada tiga sumber krisis demokrasi: menguatnya ketimpangan dalam sistem sosial-ekonomi dan politik sebuah negara; ketidakmampuan pemerintah menghadapi tekanan rezim supranasional dan global; serta krisis efektivitas sistem demokrasi dalam memenuhi public goods.
Situasi ini dalam beberapa aspek telah mengurangi kepercayaan publik terhadap demokrasi dan dimanfaatkan secara ”cerdik” oleh para elite dan pemimpin politik untuk membangun model baru otoritarianisme serta berbagai ekspresi populisme personal.
Baca juga: Ketidakniscayaan Demokrasi Indonesia
2024: tahun pertaruhan demokrasi
Pada 2024 ini, situasi tidak lebih baik, bahkan ada kecenderungan krisis demokrasi akan semakin mendalam.
Tercatat pada tahun ini, lebih dari separuh penduduk bumi yang memiliki suara berpartisipasi dalam pemilu yang diselenggarakan di setidaknya 70 negara, dengan 10 di antaranya dengan jumlah penduduk terbesar, termasuk Indonesia, Rusia, India, dan Amerika Serikat.
Tahun 2024 akan menjadi pertaruhan apakah rezim politik dan kepemimpinan yang terbentuk akan menjadi penyelamat demokrasi atau justru memperpanjang kecenderungan krisis yang sudah berlangsung dalam dua dekade terakhir. Merujuk pada laporan The Global State of Democracy 2023 (International IDEA, Swedia), proyeksi perkembangan demokrasi masih akan suram.
Dalam pandangan Kevin Casas-Zamora, Sekjen International IDEA (Russell, Financial Times, 3/1/2024), suramnya perkembangan demokrasi karena: 1) menguatnya persepsi atas kelambanan sistem demokrasi merespons tuntutan sosial; 2) merebaknya impunitas atas berbagai korupsi dalam sistem demokrasi.
Ilustrasi/Heryunanto
Selain itu, 3) menguatnya keresahan sosial yang memberi ruang untuk lahirnya sosok otoriter yang menawarkan kepastian; dan 4) runtuhnya otoritas moral negara-negara demokrasi lama akibat kemunduran demokrasi yang terjadi di negaranya ataupun kegagalan dalam merespons isu-isu internasional secara fair (invasi di Irak dan pembiaran invasi Israel di Palestina).
Semua situasi itu, jika tak ada upaya korektif, akan membuat masyarakat menyerah mempertahankan demokrasi. Situasi yang akan memberi keyakinan lebih kepada para elite politik untuk mempraktikkan pola politik dan pengelolaan kekuasaan bernuansa antidemokrasi.
Kualitas sistem demokrasi akan terjaga ketika kompetisi elektoral yang melibatkan partai politik berlangsung dalam koridor rule of law dan menghasilkan para pemimpin yang menempatkan akuntabilitas dan daya tanggap (responsiveness) publik sebagai nilai tertinggi dalam menjalankan mandat rakyat sebagai sumber legitimasi atas otoritas. Aktor-aktor yang berkompetisi dalam mekanisme elektoral sekaligus memiliki tanggung jawab menjaga hidupnya demokrasi yang berkualitas.
Namun, pelajaran dari banyak negara menunjukkan ancaman kemunduran, bahkan kepunahan demokrasi, justru terjadi dalam proses elektoral dan sering kali dilakukan oleh kepemimpinan politik yang dihasilkan dari proses demokratis itu. Alih-alih menjadi mekanisme untuk mencegah yang terburuk berkuasa, dalam situasi publik yang membutuhkan harapan akibat kesulitan hidup ataupun keraguan atas tak efektifnya sistem demokrasi, pemilu bisa sekadar jadi instrumen legitimasi para elite politik yang tak sepenuhnya memiliki komitmen pada nilai-nilai demokrasi.
Semua situasi itu, jika tak ada upaya korektif, akan membuat masyarakat menyerah mempertahankan demokrasi.
Demokrasi kita yang suram
Mencermati proses Pemilu 2024 dan dinamika politik yang terjadi setelahnya, demokrasi di Indonesia yang baru berusia seperempat abad juga menghadapi ancaman kemunduran yang berlanjut, bahkan bisa mengarah pada kepunahan. Hal yang menyesakkan, situasi suram ini disebabkan manuver dan ambisi politik para aktor yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi, yaitu parpol dan pemimpin yang dipilih melalui pemilu.
Lalu, bagaimana jalan kepunahan demokrasi ini bisa terjadi?
Pertama, godaan kuat untuk melanggengkan kekuasaan personal dan keluarga. Politik dinasti telah menjadi kegelisahan di Indonesia, terutama sejak otonomi daerah diimplementasikan awal 2000 dan pilkada langsung dilakukan 2005. Praktik politik dinasti semakin kuat mengakar, bahkan seolah sudah menjadi norma dalam setiap prosesi pemilu; baik nasional maupun lokal, di eksekutif ataupun legislatif.
Penunjukan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres hanyalah puncak dari gunung es politik dinasti yang merebak tidak terkendali di Tanah Air.
Pemilu legislatif, baik di pusat maupun daerah, dipenuhi oleh kandidat yang masih saling memiliki hubungan keluarga. Situasi tidak berbeda juga terjadi di pilkada, sangat banyak kandidat yang berasal dari satu keluarga politisi. Nuansa dinasti juga secara nyata terlihat di sebagian besar partai politik yang didominasi dan dikendalikan atau bahkan dimiliki oleh keluarga politik.
Ilustrasi/Heryunanto
Politik berbasis keluarga telah menjadi salah satu sumber utama kemunduran demokrasi karena kompetisi elektoral pada akhirnya hanya akan menjadi kompetisi tertutup antarkeluarga politik, yang akan berujung pada pembagian dan distribusi kekuasaan dan sumber daya di antara mereka.
Kedua, absennya reformasi partai politik. Dalam sistem demokrasi modern, partai politik menjadi aktor demokrasi utama karena menjadi sumber rekrutmen kepemimpinan politik dan tempat agenda kebijakan publik diolah. Mengingat posisi pentingnya, partai politik semestinya menjadi lembaga publik yang terbuka, yang mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola kekuasaan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Namun, atas nama keberlanjutan dan ideologi, fungsi-fungsi utama tersebut sering tidak berjalan. Sebagian besar parpol di Indonesia mengalami personifikasi dan ”keluarganisasi”, yang menghadirkan oligarki dan patronase kekuasaan yang sangat solid.
Proses rekrutmen politik yang semestinya menjadi kesempatan terbaik bagi publik untuk terlibat dalam menentukan kandidat telah menjadi secret garden of political party yang dikendalikan sepenuhnya oleh pemimpin dan elite partai, serta imun dari partisipasi publik. Demokrasi di Indonesia karenanya tak akan pernah sehat tanpa adanya upaya reformasi tata kelola partai.
Nuansa dinasti juga secara nyata terlihat di sebagian besar partai politik yang didominasi dan dikendalikan atau bahkan dimiliki oleh keluarga politik.
Ketiga, melemahnya countervailing agency. Demokrasi hanya bisa tumbuh ketika sistem checks and balances sebagai mekanisme kontrol kekuasaan berjalan dengan normal. Kekuasaan bagaimanapun harus dilihat dari sisi kritis, karena tanpa ada perimbangan akan dengan sangat mudah bergeser menuju berbagai bentuk penyimpangan, yang tak hanya akan berakhir pada korupsi, tetapi juga potensi pemberangusan hak-hak dasar warga negara.
Pemilu normalnya akan menghasilkan kekuatan countervailing agency, yaitu kelompok oposisi. Namun, dengan bungkus kepentingan bangsa, proses negosiasi dan berbagi posisi dalam pemerintahan telah menjadi ritual biasa setelah hasil pemilu diumumkan.
Pemilu tak menghasilkan pembagian antara kekuatan pemerintah dan kekuatan oposisi, tetapi menjadi mekanisme untuk menentukan daya tawar politik partai dan kandidat dalam proses negosiasi pascapemilu.
Harapan terkuat untuk countervailing agencies adalah penegakan rule of law dan kehadiran masyarakat sipil yang independen dan aktif. Hal yang juga menjadi tantangan berat dalam perkembangan demokrasi kontemporer kita yang didominasi oleh ekstensi kekuasaan negara di berbagai lini.
Baca juga : Jangan Merusak Demokrasi
Arus balik demokrasi
Berbagai tantangan di atas menunjukkan bahwa demokratisasi sama sekali tidak linier, tetapi bisa dihadapkan pada arus balik yang kuat.
Demokrasi yang berkualitas tak bersifat given dan konstan, tetapi harus secara konsisten diperjuangkan. Sejarah politik bangsa kita sangat jelas mengajarkan: ketika demokrasi punah, akan sangat tak mudah dan butuh waktu panjang untuk menghidupkan kembali.
Wawan Mas’udi Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada