Artikel Romo Magnis tentang Seruan Paus Fransiskus
Di samping kekurangan alutsista, dana bantuan yang diharapkan dari negara lain juga suram.
Oleh
SUHARNO
·3 menit baca
Tulisan Franz Magnis-Suseno di Kompas, Selasa (26/3/2024), berjudul ”Paus Fransiskus dan Seruan untuk Ukraina” menarik. Terkait kondisi Ukraina sekarang yang sudah babak belur.
Di samping kekurangan alutsista, dana bantuan yang diharapkan dari negara lain suram. Kerusakan dan korban pun makin besar. Rakyatlah yang sangat merasakan penderitaannya. Sampai kapan?
Kita menghargai Presiden Volodymyr Zelenskyy dan para pemimpin Ukraina lainnya yang tetap ingin berjuang mempertahankan negaranya sekuat tenaga. Mengikuti pepatah Jawa, Sadumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati. Namun, pikiran jernih tetap harus didahulukan.
Bila tidak salah, alasan Rusia menyerang Ukraina karena ketakutan Rusia makin terkepung NATO. Tetapi, justru Ukraina terus mau bergabung, yang artinya makin memojokkan atau menantang Rusia.
Saat ini Rusia telah menduduki banyak wilayah Ukraina, sekitar 22 persen (132 kilometer persegi). Memang cukup merugikan Ukraina bila perundingan akhirnya sekadar menghentikan perang. Namun, bila terus dilanjutkan, apakah hilangnya wilayah tidak bertambah? Lebih menyedihkan adalah bertambahnya korban manusia.
Sebetulnya, korban manusia bukan hanya di Ukraina. Juga di banyak negara miskin, khususnya di Afrika, yang banyak kekurangan pangan. Bila perang usai, impor gandum (biji-bijian) yang mereka butuhkan akan lebih terbuka.
Kecuali masalah pangan, masalah energi mungkin juga berkurang. Jadi, bila perang Ukraina-Rusia berhenti, yang mendapat berkah bukan hanya bangsa Ukraina, melainkan juga bangsa-bangsa lain.
Menanggapi Surat Edaran Menteri Agama RI No SE.1 Tahun 2024 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1445 H/2024 M, salah satu poin mengulas penggunaan pengeras suara pada saat Idul Fitri baik pada malam takbiran maupun saat pengajian di masjid dan mushala.
Ketika fenomena ini dikaji di ruang akademik, beragam tanggapan menarik datang dari mahasiswa, ”Suara aja kok diatur, kayak enggak ada kerjaan yang lebih produktif aja”. Ada juga yang berpendapat, ”Pemerintah mengambil begitu jauh, yang bukan porsinya dalam wewenang suara di rumah ibadah”.
Ada yang menanggapi berbeda. ”Surat edaran ini menarik dikaji dengan nalar kritis. Aparatus pemerintah ikut ambil bagian dan bertanggung jawab dalam ruang agama, sebagai bentuk demokrasi beragama dan bernegara”. ”Saling menguat dan meneguh untuk menciptakan oase kedamaian di masyarakat Indonesia, menjadi harapan kita semua”.
Berbincang polusi suara dari tempat ibadah menjadi topik menarik di masyarakat. Kontroversi dalam menanggapi peraturan tersebut menjadi bahan refleksi bagi pejabat pembuat aturan di negeri ini. Betulkah suara itu menjadi polusi kebersamaan masyarakat majemuk saat ini? Ataukah suara itu membangun narasi ketakutan tentang pengalaman dan peristiwa traumatik masa lalu?
Beberapa jurnal mahasiswa mendeskripsikan hasil temuanya, bagaimana ”suara” tersebut menjadi sebuah kegaduhan sosial di masyarakat multikultural dan pluralis sehingga menjadi tragedi kemanusiaan. Relasi antarumat beragama menjadi retak dan krusial. Tragedi suara, sungguh-sungguh menakutkan bagi kita.
Suara dari rumah ibadah, dihayati sebagai pertanda panggilan Ilahi, malahan didengar sebagai resonansi kegelisahan satu sama lain. Namun, bila suara itu merdu, teduh, dan harmoni, bukankah bagian penanda ”spiritual doa” untuk mengingatkan kita berpaling kepada-Nya? Sebagai orang beriman, gema suara dari masjid dan genta lonceng dari gereja mengajak dan memanggil hati kita bersyukur kepada Allah SWT atas anugerah hidup ini.
Semoga pemangku kepentingan di negara ini tidak hanya berdiskusi polusi suara dari rumah ibadah. Ada ruang negosiasi untuk berdiskusi beragam polusi suara lain di akar rumput. Seperti konser musik 24 jam, ingar-bingar dentuman musik dari kafe dan lain sebagainya.