Paus bukannya menganjurkan Ukraina menyerah, melainkan agar bersedia berunding.
Oleh
FRANZ MAGNIS-SUSENO
·3 menit baca
Dalam wawancara dengan radio Swiss, RSI, yang sebagian disiarkan pada 9 Maret, Paus Fransiskus mengagetkan banyak pihak. Ia menganjurkan kepada Ukraina agar berani membuka perundingan damai dengan Rusia.
Kata Paus: ”Apabila kelihatan bahwa kita kalah, bahwa situasi tidak berjalan baik, perlu ada keberanian untuk berunding.”
Ditanyai pewawancara, ”Apa itu berarti berani untuk menyerah, berani mengangkat bendera putih?”, Paus menjawab: ”Tergantung bagaimana itu dilihat. Tetapi, saya berpikir bahwa yang lebih kuat adalah yang menyadari situasi, yang mengingat rakyat, yang berani mengangkat bendera putih, berunding.”
Reaksi internasional segera muncul. Paus dikritik tajam. Bukan hanya oleh pemimpin Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, melainkan juga oleh Pemerintah Polandia, negara-negara Baltik, Kanselir Jerman Olaf Scholz, bahkan Uskup Agung Ukraina Sviatoslav Shevchuk, dan banyak orang Katolik di Ukraina. Mereka marah dan menafsirkan ucapan Paus Fransiskus sebagai anjuran untuk menyerah kepada Rusia.
Sementara Vatikan menjelaskan, Paus bukannya menganjurkan Ukraina menyerah, melainkan agar bersedia berunding. Kata ”bendera putih”— tanda penyerahan—dipakai Paus karena diajukan oleh pewawancara. Memang, seharusnya Paus tak memakai kata itu.
Ilustrasi/Pandu Lazuardi Patriari
Namun, masalahnya tak segampang itu. Posisi Zelenskyy baru akan berunding apabila Rusia menarik tentaranya dari wilayah Ukraina yang diduduki, yang sekurang- kurangnya berarti dari Donbas, Ukraina timur, kalau bukan juga dari Semenanjung Crimea yang dianeksasi Rusia pada 2014. Tentu Rusia sedikit pun tidak memikirkan hal itu. Buat apa Putin menginvasi Ukraina? Maka tak ada perundingan.
Padahal, sudah kelihatan Ukraina tak akan berhasil merebut kembali wilayah yang sudah diduduki Rusia. Paling-paling Ukraina bisa mempertahankan garis pertahanan sekarang. Dalam suatu perang yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun dan masih bisa bertahun-tahun lagi, yang hancur bukan Rusia, melainkan Ukraina.
Lama-kelamaan seluruh infrastruktur—instalasi listrik, air, pemanasan, komunikasi—akan hancur. Kota-kota yang terus dibombardir akan rata dengan tanah, seperti Jerman tahun 1945. Ratusan ribu orang Ukraina akan hancur kehidupannya, terusir, terluka, mati.
Tiga tahun lagi Ukraina akan merupakan tempat puing. Sementara sekarang pun sekutu-sekutu Barat yang semua mendukung Zelenskyy kelihatan sudah semakin enggan harus membiayai perlawanan militer Ukraina. Malah tak mustahil, tiga atau empat tahun lagi Ukraina betul-betul ambruk.
Dan akan terjadi apa yang dikatakan bekas Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev: bahwa tujuan invasi Rusia adalah Kyiv, ibu kota Ukraina, bahwa Ukraina tidak akan ada lagi, kecuali sebuah wilayah kecil sekitar Lviv, di dekat Polandia.
Kebenaran yang menyakitkan
Itulah yang dimaksud Paus. Bahwa perlu keberanian. Keberanian untuk mengaku bahwa perang tidak dapat dimenangi, bahwa kalau perang diteruskan, Ukraina akan hancur. Keberanian untuk memberi prioritas pada penyelamatan warga Ukraina daripada lama-lama hancur atas nama prinsip ”kami tak mau menyerah”.
Keberanian untuk mengatakan secara terbuka bahwa tak ada jalan kecuali berunding kalau Ukraina tidak mau hancur total. Memang ini akan berarti: berunding atas kondisi-kondisi yang akan ditetapkan Rusia.
Paus tak menyangkal hak Ukraina untuk membela diri, untuk menyelamatkan keutuhannya. Akan tetapi, apabila kelihatan bahwa itu tidak mungkin, bahwa perang masih bisa terus bertahun-tahun, Ukraina akan semakin hancur total, dan akhirnya sangat mungkin ambruk. Semua tahu, Rusia punya napas lebih panjang.
Maka, tibalah kewajiban untuk berani bersikap realistik: ”kami sekurang-kurangnya akan berunding untuk menyelamatkan apa yang sekarang masih ada”.
Seharusnya para sekutu Ukraina berterima kasih kepada Paus Fransiskus bahwa ia berani menyatakan sesuatu yang para pemimpin Ukraina sendiri ataupun Presiden AS Joe Biden, Kanselir Jerman Olaf Scholz, dan Perdana Menteri Polandia Donald Tusk juga sudah tahu, tetapi tidak berani mengatakannya. Sesuatu yang masih dianggap tabu, yaitu bahwa Ukraina tak akan pernah bisa merebut kembali wilayah yang diduduki Rusia.