Polemik THR Ojek Daring dan Hubungan Kerja Kemitraan
Perdebatan soal THR ojek daring menandakan kekosongan regulasi antara aplikator dan pekerjanya yang berstatus kemitraan.
Oleh
AZKA HANANI
·4 menit baca
Baru-baru ini, Kementerian Ketenagakerjaan menyebut bahwa pengemudi ojek daring termasuk pada cakupan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2024. Alasannya, pengemudi ojek daring dan juga kurir logistik masuk dalam kategori perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sehingga berhak mendapatkan THR.
Tunjangan hari raya merupakan pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh beserta keluarganya menjelang hari raya keagamaan. THR wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan.
Sayangnya, lagi-lagi para pengemudi ojek daring diberikan harapan palsu mengenai pembagian THR. Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengonfirmasi bahwa pembayaran THR keagamaan dari perusahaan kepada pengemudi ojek daring dan kurir logistik sifatnya imbauan saja.
Imbauan mengenai THR ini sudah dilakukan sejak tahun lalu, tetapi tidak dilakukan dalam bentuk konferensi pers seperti tahun ini. Artinya, perusahaan aplikasi tidak memiliki kewajiban memberikan THR kepada para mitranya dan tidak akan diberikan sanksi apa pun jika perusahaan tidak membayar THR kepada pengemudi ojek daring dan kurir logistik.
Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul pola hubungan kerja baru di luar hubungan kerja yang bersifat tetap atau kontrak, yaitu hubungan berbasis kemitraan. Pola hubungan kemitraan banyak ditemukan pada driver online atau pengemudi ojek daring. Dalam konsep ekonomi gig, driver online dibayar bukan berdasarkan waktu kerja, melainkan berdasarkan jumlah layanan yang dikerjakan.
Hal tersebut kemudian membawa kita pada kebingungan tentang regulasi THR terhadap pengemudi ojek daring setiap tahun. Apakah hubungan kemitraan tersebut dikategorikan sebagai pekerja kontrak sehingga berhak mendapatkan THR?
Menyikapi hal tersebut, sejatinya hubungan kemitraan dan hubungan kerja berbentuk kontrak atau PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) adalah hal yang sangat berbeda secara fundamental. Keduanya tidak dapat dicampuradukkan karena berpotensi menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Harus dituntaskan
Di sisi lain, ada harapan dari Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) terhadap imbauan pemberian THR yang dinyatakan Kemenaker untuk para pengemudi ojek daring dan kurir logistik. SPAI menolak pemberian insentif Lebaran sebagai pengganti THR kepada pengemudi ojek daring dan kurir logistik karena pada surat imbauan tersebut dinyatakan bahwa status mereka termasuk ke dalam kategori PKWT.
Perdebatan mengenai hak THR yang masih menjadi isu tahunan ini menandakan bahwa masih terdapat kekosongan regulasi antara perusahaan atau aplikator dan para pekerjanya yang berstatus kemitraan. Namun, setidaknya ada tiga hal yang perlu dipahami bersama.
Pertama, hubungan kemitraan lahir dari adanya perjanjian kemitraan, sedangkan hubungan kerja lahir karena perjanjian kerja. Kemitraan secara khusus diatur pada Pasal 1618-Pasal 1652 KUHP Perdata terkait persekutuan perdata (maatschap atau vennootschap dalam bahasa Belanda). Persekutuan perdata adalah suatu persetujuan dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.
Unsur upah tidak terpenuhi karena pengemudi ojek daring tidak memiliki upah tetap bulanan.
Adapun perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Di dalamnya dijelaskan unsur-unsur pekerjaan, upah dan perintah. Unsur-unsur ini kemudian menimbulkan perbedaan apakah pengemudi ojek daring termasuk mitra atau pekerja.
Hal-hal di atas juga sudah dijawab dalam putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 841 K/Pdt.Sus/2009 dalam perkara antara sopir taksi dan perusahaan taksi misalnya yang menyebutkan bahwa hubungan pengemudi ojek daring adalah mitra dan bukan pekerja karena tidak memenuhi unsur upah dan perintah.
Unsur upah tidak terpenuhi karena pengemudi ojek daring tidak memiliki upah tetap bulanan. Pendapatan didapat dari hasil komisi atau persentase suatu pekerjaan. Unsur perintah tidak terpenuhi karena perusahaan tidak memiliki kebebasan kehendak untuk memerintah pengemudi ojek daring dalam menjalankan suatu pekerjaan.
Menurut Harrap, perintah diartikan sebagai ”Someone in authority commands you to do something when they order you to do it”. Dijelaskan, bahwa elemen yang harus ada di dalam ”command” atau ”perintah” adalah ”in authority” atau dalam kekuasaan atau kewenangan. Pada hal ini, perusahaan tidak memiliki kekuasaan karena pengemudi ojek daring sebagai mitra memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak jika terdapat adanya suatu pekerjaan.
Sebagai contoh, para pengemudi Uber mengajukan gugatan Distrik Utara California untuk meminta perlindungan upah minimum dan pembayaran lembur di bawah Undang-Undang Standar Upah Adil (FLSA). Menurut hukum di Amerika, apakah seorang pekerja atau bukan ditentukan melalui berbagai tes multifaktor yang tergantung pada fakta-fakta hubungan tersebut. Dalam hal ini, tes tersebut berfokus pada hak prinsipal untuk mengendalikan pekerja.
Serupa dengan Amerika, dalam kasus Albany Case di European Union (EU) menetapkan bahwa untuk menentukan apakah seorang merupakan pekerja atau tidak, ditentukan dengan subordination requirement yang biasa dikenal dengan ”control test”. Dalam hal ini, pemberi kerja mengendalikan proses kerja dengan menentukan jenis pekerjaan yang perlu dilakukan, bagaimana cara melakukannya, dengan bahan apa, dan kapan serta di mana pekerjaan tersebut harus dilakukan.
Kedua, pengemudi ojek daring berbasis kemitraan tidak terikat dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perbedaan antara hubungan kemitraan dan hubungan kerja tersebutlah yang selalu menimbulkan polemik THR setiap tahunnya. Yang perlu digarisbawahi, jika terdapat hubungan kerja, maka aturan hukum terkait ketenagakerjaan akan otomatis berlaku termasuk tentang ketentuan THR, begitu pun sebaliknya.
Azka Hanani, Konsultan Hukum dan Partner di Firma Hukum Dharmaraksa