Manajemen Mikro Kementerian, Sebuah Cobaan Ramadhan
Jastip kelas medium pun pakai kargo, tak lagi tenteng tangan. Apa relevan aturan baru tentang belanja di luar negeri?
Sudah bertahun-tahun tiap Ramadhan saya sering mencuit di Twitter/X tentang kendala saya hari itu. Cuitan-cuitan itu saya imbuhi tagar #cobaanRamadhan di belakangnya. Isinya cenderung ringan dan menertawakan keseharian saya: terjebak macet, gawai ngadat, telat sahur, manusia menyebalkan yang ditemui hari itu, atau seperti tahun lalu, karena waktunya berbarengan, drama pengisian SPT terbaru.
Tadinya saya kira tahun ini cobaan Ramadhan utama tetap SPT. Salah, dong. Ternyata cobaan Ramadhan termengesalkan kali ini dipersembahkan aturan baru bernapaskan manajemen mikro sebuah kementerian.
Mulai 10 Maret, Kementerian Perdagangan memberlakukan batasan baru tentang belanja yang dilakukan di luarnegeri di samping batasan lama total nilai 500 dollar Amerika Serikat dari Bea Cukai. Apabila dulu penumpang relatif bebas membelanjakan nilai tersebut dalam berbagai kategori, sekarang Kemendag menentukan jumlah maksimal dari kategori tertentu kalau tidak mau kena pajak impor.
Pembatasan jumlah barang sebenarnya bukan pasal baru, tapi sebelumnya masuk akal. Sebanyak 200 batang rokok, 25 batang cerutu, 1 liter alkohol, 5 kg pangan, 20 buah kosmetik, obat melebihi 90 hari pemakaian—kalau melampaui wajar dicurigai untuk dijual. Namun, beberapa batasan baru Kemendag kali ini membuat masyarakat terpana: 2 tas, 2 pasang sepatu, dan 5 potong produk tekstil jadi.
Hah??
Di sini batasan baru Kemendag berpotensi bentrok dengan peraturan sebelumnya. Lupakan barang mewah, banyak contoh yang lebih membumi, seperti tas kanvas, suvenir ringan nan murah.
Tampaknya, dalam proses perumusan kebijakan, Kemendag lupa bahwa subyek kebijakan ini adalah rakyat Indonesia, bangsa yang saat bepergian senang membelikan hadiah untuk kawan, kerabat, rekan kerja, dan tetangga sampai dalam bahasa nasionalnya dibedakan dengan kata tersendiri: oleh-oleh. Benda yang dibeli untuk menunjukkan bahwa saat bepergian pun masih ingat pada orang lain dan ingin membagi sedikit dari perjalanan itu. Oleh-oleh adalah hadiah, tak semua hadiah adalah oleh-oleh.
Baca juga: Finlandia: Alam dan Egalitarisme
Dan karena masyarakat kita bersifat kolektif, oleh-oleh pun harus melingkupi lingkaran yang sama. Kalau tidak, si pembawa bisa kena sanksi sosial mulai dari dicemberuti, disindir, atau stop diajak ngopi. Sampai lahir istilah ”pista”, tipis tapi rata, untuk pembagian oleh-oleh, demi kemaslahatan bersama.
Makin mengkristal apabila frekuensi bepergian jarang atau tujuannya tempat suci. Bagi yang rajin melancong, oleh-oleh bisa dirotasi. Kalau pergi sesekali, atau mudik 2-3 tahun sekali, seperti pekerja migran, oleh-oleh kian wajib untuk semua. Jika beribadah umrah, haji, ke Lourdes atau Bodh Gaya, oleh-oleh akan diimbuhi doa, berkah, dan hal-hal spiritual lainnya—alias kian tak terelakkan.
Di sini batasan baru Kemendag berpotensi bentrok dengan peraturan sebelumnya. Lupakan barang mewah, banyak contoh yang lebih membumi seperti tas kanvas, suvenir ringan nan murah. Bulan lalu di Estonia saya temui seharga 9-15 euro dan rekan seperjalanan saya beli cukup banyak untuk para kolega. Dia beli selusin pun belum melewati batas 500 dollar AS, tetapi sekarang akan terjegal aturan maksimal dua tas atau lima produk tekstil jadi. Kalaupun berbahan nilon, tetap akan tersandung aturan maksimal dua tas. Bahkan, sajadah pun sekarang akan kena aturan maksimal lima produk tekstil jadi.
Belum belanja pribadi. Saya kenal beberapa perempuan berukuran kaki 41-42, sulit dicari di Indonesia, sehingga tiap ke luar negeri membeli 3-4 pasang sepatu yang tetap tak melewati batasan 500 dollar AS. Sekarang harus dipajaki ekstra karena terlahir berkaki besar?
Atau peserta konferensi dan jurnalis yang liputan ke mancanegara, umum menerima tas berisi produk sponsor, seperti yang saya sendiri pernah alami. Hadiah ini pun harus dipajaki?
Konyol apabila ditukas bahwa selama oleh-oleh tidak diplastiki atau dikardusi lantas bukan barang jualan. Sering penjual suvenir memberikan plastik atau kardus untuk pembelian setengah lusinan ke atas agar mudah dipak di koper. Lebih konyol lagi usulan beli oleh-oleh umrah di Pasar Tanah Abang saja. Pertama, hak azasi orang mau belanja di mana. Kedua, karena suvenir umrah di Tanah Abang asalnya impor juga, bukannya malah makin mendongkrak volume impor secara keseluruhan?
Saya sudah lewat masa doyan belanja atau rajin mengoleh-olehi, tapi mayoritas orang Indonesia tidak begini kalau ke luarnegeri. Contoh-contoh di atas cukup dari pengamatan sekeliling, apakah tidak terdiskusikan sebelum merumuskan kebijakan? Bukannya kebijakan harus didukung studi mumpuni? Dan, bukannya aturan tak layak dititahkan apabila sekian demografi dalam frekuensi tinggi jelas berpotensi terdiskriminasi?
Baca juga: Bangsa dan Pemimpin yang Layak Baginya
Apabila tujuannya menghukum pebisnis jasa titip (jastip) yang mangkir cukai, apa jitu membidiknya? Saya tak pernah memakai jastip, apalagi mengerjakannya, tetapi banyak cerita bahwa jastip kelas medium pun pakai kargo, tak lagi tenteng tangan. Apa karena kemarin ada 33 orang gila yang bertahap membawa 1 ton roti susu Thailand lantas semua penumpang dari luarnegeri dikemplang?
Pernahkah penguasa membuat studi psikologi balik, bahwa mungkin makin tinggi harga sebuah benda impor, semakin ia dianggap bergengsi dan karenanya diidamkan banyak anak negeri? Alias, tingginya pajak impor justru secara tak langsung menciptakan pasar gelap bernama jastip?
Apabila cita-citanya meningkatkan konsumsi produk lokal, cara tercerdas adalah membuat produk lokal seberkualitas dan seharga produk asing. Banyak produsen UMKM yang mengeluhkan bahan baku tak tersedia secara domestik sedang impor bahan baku dipajaki tinggi, akhirnya harga jual gagal bersaing dengan produk asing sejenis. Atau keluhan konsumen bahwa produk lokal kerap kalah di kualitas pengerjaan dan gaya. Bukannya hal seperti ini yang harusnya dibereskan sampai ke akar oleh pemerintah ketimbang menerapkan manajemen mikro belanjaan yang membuat rakyat lain susah?
Lebaran sebentar lagi: ribuan pekerja migran akan mudik dan ribuan rakyat bisa berwisata ke luar negeri. Bandara dan pelabuhan biasanya penuh drama, sekarang berpotensi ditambahi debat kusir penumpang dengan petugas Bea dan Cukai tentang mana yang oleh-oleh, mana yang ditengarai barang jualan, mana yang baru atau yang dibawa penumpang dari Indonesia. Betul bisa daftar ke Bea dan Cukai benda yang dibawa ke luar negeri, tetapi berapa yang sempat mendaftarkan isi kopernya di antara persiapan keberangkatan? Berapa persen pejabat Indonesia yang mengisi daftar ini sebelum ke luar negeri?
Sementara harga sembako tak kunjung bisa diredam, penyelundup kelas kakap mungkin belum habis dibekuk, daya saing ekspor masih tidak optimal, kok malah yang diburu, ala manajemen mikro pula, adalah printilan belanjaan penumpang. Oh Tuhan, sungguh sebuah cobaan Ramadhan.