Desa dan Visi Menjadi Negara Maju
Lahan pertanian merupakan modal alam yang tak bisa disubstitusikan, baik dengan modal finansial maupun bentuk modal lain
Kemajuan pembangunan harus inklusif, no one left behind, dan sesuai dengan pepatah ”air pasang mengangkat semua kapal, baik besar maupun kecil”. Menjadi negara maju tanpa memajukan desa, tidaklah mungkin.
Beberapa waktu lalu, sejumlah rektor perguruan tinggi ternama dan guru besar menulis artikel terkait visi menuju Indonesia Emas 2045 untuk menjadi negara maju berpendapatan tinggi dan terlepas dari ”jebakan negara berpendapatan menengah”.
Baik artikel maupun idenya bagus-bagus. Namun, tidak terlihat konsep holistik yang mengintegrasikan pembangunan sektor-sektor perkotaan/nonpertanian (khususnya industri manufaktur) dengan pembangunan daerah perdesaan (khususnya sektor pertanian rakyat), di samping faktor-faktor strategis yang menjadi prakondisi ”wajib” untuk mencapai kemajuan, seperti infrastruktur, SDM, serta pengembangan sains, teknologi, dan inovasi.
Menjadi negara maju tanpa memajukan desa, tidaklah mungkin.
Demikian pula dalam debat capres-cawapres, tak ada pasangan yang menawarkan konsep menuju Indonesia maju dengan mengintegrasikan pembangunan desa ke dalam kebijakan pembangunan nasional secara lengkap.
Sektor manufaktur memang layak menjadi leading sector yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi tak bisa menafikan sektor perdesaan yang berbasis pertanian rakyat (bukan pertanian korporat atau konglomerat).
Kelayakan lahan usaha tani
Skenario pembangunan Indonesia mungkin tidak bisa lagi seideal seperti yang diilustrasikan pada teori Rannis-Fei. Momentum dapat dikatakan telah hilang beberapa dekade yang lalu.
Dalam teori ini, surplus pertanian (rakyat) dalam fase komersialisasi, memperkuat daya beli petani yang dapat mendukung pertumbuhan sektor industri dan proses transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Skenario ideal ini justru berlangsung di Jepang pasca-Perang Dunia (PD) II dan Korea Selatan pasca-Perang Korea.
Pembangunan desa di negara-negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Jepang dan Korsel, diawali dengan reforma agraria (land reform). Dengan kebijakan land reform, setiap rumah tangga petani dapat memiliki/menguasai lahan usaha tani yang layak (katakan berkisar 1-2 hektar per petani).
Luasan 1-2 hektar per petani dipandang layak menjadi basis penghidupan bagi setiap keluarga petani dan dianggap mampu dikerjakan sendiri tanpa bantuan pekerja di luar keluarga.
Pembangunan desa di negara-negara yang kemudian menjadi negara maju, seperti Jepang dan Korsel, diawali dengan reforma agraria
Dengan ukuran ini, program-program pembangunan desa, seperti pengembangan irigasi, jalan/jembatan desa, pupuk bersubsidi, intensifikasi pertanian, pengembangan koperasi desa, dan pertanian presisi akan berjalan efektif dalam meningkatkan produktivitas pertanian dan kemakmuran warga desa.
Pasca-PD II dan kekalahannya dari sekutu, Jepang mengawali rehabilitasi negaranya dengan land reform. Pasca-land reform, rerata skala usaha tani per petani di Jepang menjadi sekitar 1 hektar (1960) dan naik menjadi lebih dari 2,2 hektar (2020), mungkin akibat depopulasi penduduk daerah perdesaan Jepang. Bahkan, khusus di Hokkaido, prefektur/provinsi terbesarnya, rerata lahan usaha taninya sekitar 30 hektar.
Pertanian modern menjadi awal dan modal dasar atau fondasi bagi pembangunan kembali sektor industri Jepang pasca-PD II. Ekonomi Jepang tak sulit bangkit kembali pasca-PD II karena Jepang yang telah menguasai sains/teknologi dasar sejak abad ke-18 secara simultan mampu membangun kembali sektor industri manufakturnya. Terbukti Jepang muncul sebagai raja industri manufaktur Asia pada dasawarsa 1970-an.
Demikian pula Korsel, setelah babak belur akibat Perang Korea, mulai merehabilitasi negaranya dengan mendahulukan land reform berdasarkan UU Agraria 1950. Sebelum land reform, sekitar 70 persen petaninya merupakan penyewa lahan pertanian. Ketika itu Korsel menerapkan dua skema land reform, yakni meredistribusikan lahan yang dibeli oleh pemerintah dan lahan yang dikuasai oleh pemerintah/negara.
Lahan yang dibeli pemerintah berasal dari para tuan tanah pemilik lahan tidur (absentee landlord), para tuan tanah yang tak mengerjakan sendiri lahan pertaniannya, dan para petani berlahan lebih dari tiga chungbo (satu chungbo ekuivalen dengan 1 hektar kurang sedikit).
Pada 1970, rerata lahan usaha tani di Korsel sekitar 1,0 hektar dan kini bahkan naik menjadi sekitar 1,6 hektar per petani. Hampir 100 persen petani Korsel menjadi anggota koperasi pertanian.
Pasca-land reform, Korsel mulai membangun desa hanya dengan bantuan stimulan bahan-bahan bangunan saja, seperti semen dan besi beton. Rakyat desa bahu-membahu memperbaiki rumah, jalan, dan jembatan dengan bantuan stimulan bahan-bahan bangunan itu. Tak ada dana desa, tidak ada bansos. Namun, setiap petani Korsel memperoleh lahan layak berkat land reform.
Para chaebol berperan besar menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Korsel yang didukung besarnya pendanaan penelitian dan pengembangan.
Fase selanjutnya, pembangunan perdesaan fokus pada modernisasi pertanian, yakni mekanisasi pertanian dan revolusi hijau berbasis rekayasa genetik serta program reforestasi 1970 dan 1980. Kepemimpinan Park Chung Hee dasa- warsa 1970-an dalam gerakan Sae maul Umdong membawa pengaruh besar.
Secara simultan, kelompok bisnis milik konglomerat Korsel (chaebol) tampil menjadi penggerak utama kemajuan teknologi pada industri otomotif, telepon seluler, elektronik, dan perkapalan. Para chaebol berperan besar menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Korsel yang didukung besarnya pendanaan penelitian dan pengembangan.
Baca juga : Reforma Agraria untuk Keadilan Sosial
Deretan greenhouse pertanian cerdas kerjasama Pemerintah Indonesia dengan The Korea Agency of Education Promotion and Information Service in Food Agriculture Forestry and Fisheries (EPIS) di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan, Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Rabu (26/7/2023) sore.
Kini, Jepang dan Korsel merupakan dua negara yang sangat maju, dengan pendapatan per kapita 33.950 dollar AS dan 33.147 dollar AS. Desa-desa makmur di kedua negara itu kini menjadi tempat yang nyaman dan aman, baik untuk bermukim, beraktivitas, maupun beristirahat, meski sepi akibat depopulasi dan banyaknya penduduk lansia.
”Re-land reform”?
Lahan usaha tani yang layak yang dapat dicapai melalui land reform sebenarnya menjadi prakondisi dari pembangunan pertanian/perdesaan dan semua petani harus memiliki lahan yang layak, apa pun strateginya. Program pertanian/perdesaan apa pun akan sulit berjalan baik jika petani tak berlahan layak.
Indonesia memang pernah melaksanakan land reform pada dasawarsa 1960-an, tetapi tak tuntas. Ini bisa dipahami karena situasi politik serba tak menentu, seperti Operasi Pembebasan Irian, konfrontasi dengan Malaysia, peristiwa G30S, serta gejolak politik di akhir era Presiden Soekarno.
Program pertanian/perdesaan apa pun akan sulit berjalan baik jika petani tak berlahan layak.
Pelaksanaan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria akhirnya dibekukan pada awal Orde Baru tahun 1970. Bahkan, ketika itu, land reform dicap berbau komunis.
Namun, ujung-ujungnya, banyak lahan hutan produksi dan konversi kemudian berubah menjadi hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak guna usaha (HGU) yang dikuasai para pengusaha. Program transmigrasi skala besar pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an yang diharapkan menjadi proksi land reform untuk mengatasi sempitnya lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa, terhenti pada akhir dasawarsa 1990-an dengan datangnya era otonomi daerah.
Kini, persoalan agraria dan pola distribusi lahan pertanian rakyat bak benang kusut. Kian sempitnya lahan pertanian, terutama di Jawa dan sejumlah provinsi berpenduduk padat, luasan hutan minimal yang harus dipertahankan, besarnya jumlah petani gurem plus petani tak berlahan alias buruh tani, merupakan kondisi given dan permasalahan fundamental yang amat sulit dicari solusinya.
Lahan pertanian merupakan modal alam yang tak bisa disubstitusikan, baik dengan modal finansial maupun bentuk modal lain. Teknologi vertical farming dan pertanian presisi secanggih apa pun tidak akan mampu mengatasi masalah sempitnya lahan pertanian rakyat dan tak layaknya rerata skala usaha tani.
Namun, sesulit apa pun situasinya, re-land reform yang mungkin dengan formula baru, termasuk dengan pembaruan UU terkait, tetap merupakan alternatif atau opsi yang belum tertutup kemungkinannya untuk memajukan desa secara berkelanjutan dan berkeadilan.
Lahan pertanian merupakan modal alam yang tak bisa disubstitusikan, baik dengan modal finansial maupun bentuk modal lain.
Indeks gini dan PDRB desa
Pembangunan desa butuh reformulasi kebijakan yang lebih tepat. Kucuran dana desa sebesar apa pun tak akan mampu menyelesaikan masalah fundamental (ekonomi) perdesaan, yakni sempitnya lahan pertanian dan banyaknya jumlah petani gurem plus buruh tani, khususnya di Jawa dan beberapa provinsi berpenduduk padat di luar Jawa.
Untuk itu dibutuhkan data detail berupa indeks gini lahan pertanian per desa dan produk domestik regional bruto (PDRB) per desa serta pendapatan per kapita per desa. Dengan data tersebut dapat dipetakan desa-desa mana saja yang ketimpangan lahan pertaniannya berat dan yang ketimpangan ekonominya juga berat.
Baca juga : Asa dari Tanah-tanah Konflik Agraria
Selain itu, dapat diukur seberapa jauh responsiveness berbagai input dari program/kebijakan pembangunan desa, khususnya dana desa yang, antara lain, dialokasikan untuk perbaikan irigasi dan jalan desa, terhadap outputnya, yang bisa diukur dengan pertumbuhan produksi pertanian, tingkat pertumbuhan PDRB desa, dan pendapatan per kapita desa.
Hipotesis awal yang dapat dikemukakan adalah bahwa pada desa-desa yang rerata skala usaha taninya kurang dari 0,5 hektar, maka baik produksi pertanian maupun PDRB desa tidak responsif atau tidak signifikan responsiveness-nya terhadap injeksi infrastruktur dan input pembangunan lainnya.
Apakah tugas ”superberat” penyiapan data Indeks Gini Lahan Pertanian per desa dan PDRB desa untuk sekitar 75.000 desa dapat dibebankan pada BPN dan BPS? Semoga bisa.
*Bambang IsmawanPendiri dan Ketua Dewan Pembina Bina Swadaya