Pesan Sosial Puasa Ramadhan
Ramadhan juga merupakan pesan konkret doktrin Islam kepada pemeluknya untuk memiliki perhatian sosial ke sekelilingnya.
Dalam setiap kesempatan bulan Ramadhan, umat Islam diperintahkan menunaikan ibadah puasa, memperbanyak zikir, tadarus Al Quran, bersedekah, dan melakukan amal kebajikan lainnya. Bahkan, puasa merupakan ibadah yang diwajibkan kepada umat para utusan Allah sebelumnya.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT menegaskan bahwa puasa itu ibadah spesial yang akan dilipatgandakan imbalan pahalanya. Nabi juga menegaskan, jika bulan Rajab adalah bulan milik Allah SWT dan bulan Syakban milik Nabi Muhammad SAW, maka bulan Ramadhan bulan milik umatnya.
Secara etimologis, puasa (shaum, shiyam) berarti menahan (al-imsak). Dan, secara terminologis adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan suami-istri, serta segala hal yang membatalkan puasa, dari terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan niat yang tulus karena Allah SWT.
Dengan demikian, siapa saja—orang mukmin mukalaf—yang sudah memenuhi kriteria itu atau memenuhi syarat dan rukunnya, secara syar’i sudah sah dan terpenuhi kewajibannya. Namun, puasa yang demikian ini baru pada tingkat pemula dan formal, belum pada tahap hakikat (substantif).
Puasa hati yang tidak hanya menahan diri dari hal-hal lahiriah, tetapi juga sudah meningkat pada persoalan batiniah, rohani, dan nafsani.
Oleh karena itu, Imam Al-Ghazali mengategorikan puasa dalam tiga tingkatan.
Pertama, tingkat puasa awam (elementary), yaitu puasa yang dikerjakan hanya sekadar memenuhi syarat dan rukunnya, selain itu tidak.
Kedua, tingkat puasa khawash (intermediate), yaitu puasa yang dikerjakan di samping memenuhi syarat dan rukunnya, juga mampu menahan diri dari perbuatan dosa dan semua bentuk perilaku tercela (al-akhlaq al- madzmumah), seperti berdusta, dengki, kikir, dan mengumpat.
Ketiga, tingkat puasa khawashal-khawash (advance), yaitu puasa yang mampu mencegah dari timbulnya kemauan hati untuk tidak mengingat Allah SWT. Puasa tingkat ini adalah puasa hati yang tidak hanya menahan diri dari hal-hal lahiriah, tetapi juga sudah meningkat pada persoalan batiniah, rohani, dan nafsani.
Puasa peringkat ini biasa dilakukan oleh orang-orang tertentu, misalnya para sahabat dan para sufi yang sudah dekat maqam-nya dengan Allah.
Baca juga: Ramadhan dan Introspeksi Kebangsaan
Pesan sosial
Jika digali lebih dalam, sesungguhnya ibadah puasa Ramadhan lebih dari sekadar ibadah simbolik dengan menahan makan dan minum di siang hari, tetapi ia sarat dengan nilai-nilai moral dan sosial. Umat Islam diperintahkan memiliki kekokohan iman dan menaati semua perintah Allah meski tampak berat sekalipun.
Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi, ”Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan penuh perhitungan (ihtisab), maka Allah akan mengampuni segala dosanya.” Iman adalah keyakinan mendalam bahwa apa yang datang dari Allah SWT adalah benar dan tidak boleh diragukan sedikit pun.
Umat Islam juga tidak hanya diperintahkan berpuasa Ramadhan sebulan penuh dan kemudian setelah itu berhari raya, tetapi juga lebih dari itu bagaimana mereka mampu menginternalisasi nilai-nilai ibadah puasa itu dalam kehidupan sehari-hari selama 11 bulan ke depan (pasca-Ramadhan). Yang diperintahkan Allah SWT adalah berpuasa untuk melahirkan nilai takwa sebagaimana yang disebutkan dalam Al Quran (QS Al-Baqarah: 183).
Jika diperhatikan secara cermat, semua amal ibadah dalam ajaran Islam hakikatnya mengandung pesan moral dan tanggung jawab sosial yang kompatibel dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan keadilan, mulai dari shalat, puasa, zakat, hingga haji dan ibadah kurban. Zakat, infak, dan sedekah (ZIS), misalnya, memiliki hikmah memberantas sifat kikir, membantu kaum mustadh’afin, dan mengatasi kemiskinan.
Bagaimana mereka mampu menginternalisasi nilai-nilai ibadah puasa itu dalam kehidupan sehari-hari selama 11 bulan ke depan (pasca-Ramadhan).
Shalat lima waktu adalah kategori ibadah yang secara formal harus dilaksanakan terus-menerus. Haji wajib dilakukan sekali seumur hidup bagi yang mampu, baik secara finansial maupun fisik (istitha’ah). Puasa Ramadhan yang secara formal wajib dilakukan setahun sekali.
Namun, yang perlu dipahami, seluruh perintah ibadah mahdhah itu secara terus-menerus harus memiliki dampak kebaikan dan kemanfaatan bagi dirinya dan bagi orang lain (tikrar). Karena itulah, ibadah shalat disebut dalam Al Quran dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS Al-’Ankabut: 45).
Demikian juga ibadah puasa merupakan ibadah memupuk jiwa ketundukan kepada Tuhan dan memahami makna egalitarianisme dalam masyarakat.
Baca juga: Radikalisasi Pesan Puasa
Dengan demikian, semua ajaran dan ibadah dalam Islam selalu terkait dengan relasi vertikal dan horizontal (hablun minallah wa hablun minannas).
Umat Islam tidak dibenarkan hidup egoistis dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosial-nya. Setiap pribadi Muslim diperintahkan peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Kesediaan orang Islam berpuasa di bulan Ramadhan juga merupakan pesan konkret doktrin Islam kepada pemeluknya untuk senantiasa memiliki perhatian sosial ke sekelilingnya.
Di samping itu, semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi setiap Muslim merupakan tanggung jawab yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif, terutama bagi para pemimpinnya.
Secara substansial, ia merupakan ibadah sosial untuk memerangi egoisme dan menyerahkan jalan hidup ini hanya kepada Tuhan semata.
Dalam perspektif Islam, setiap pribadi Muslim diperintahkan peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka dituntut berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan lahir dan batin, pembangunan manusia seutuhnya. Bukan dalam slogan-slogan, melainkan harus diwujudkan secara konkret dalam masyarakat.
Dalam konteks relasi sosial Islam, Rasulullah SAW sangat membenci orang Islam yang bersikap tak acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya sebagaimana sabdanya, ”Barang siapa yang tidak mau mementingkan urusan kaum Muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.”
Ibadah puasa yang dilakukan oleh umat-umat sebelumnya juga sejatinya lebih dari sekadar menahan makan dan minum di siang hari. Secara substansial, ia merupakan ibadah sosial untuk memerangi egoisme dan menyerahkan jalan hidup ini hanya kepada Tuhan semata. Ini telah dibuktikan para rasul Allah dari zaman ke zaman.
*M Zainuddin Profesor Sosiologi Agama, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.