Ramadhan dan Introspeksi Kebangsaan
Kemauan melakukan koreksi atau kritik terhadap kesalahan diri adalah pekerjaan yang amat sulit.
Kehadiran Ramadhan 1445 H seolah-olah menginterupsi karut-marutnya kondisi bangsa saat ini. Sudah saatnya untuk kembali melakukan muhasabah atau introspeksi kebangsaan guna meluruskan kembali perjalanan bangsa ke depan.
Momentum bulan suci Ramadhan tahun ini hadir pada saat yang tepat, di tengah tercerabutnya kepercayaan publik terhadap proses Pemilu 2024. Sejumlah isu, mulai dari lemahnya kapasitas penyelenggara, intervensi kekuasaan, netralitas aparat, politisasi dana bantuan sosial, hingga politik uang, sempat menimbulkan keraguan akan nasib bangsa ke depan.
Hadirnya Ramadhan tentu bukan untuk menghentikan atau menunda proses hukum dan politik untuk menggugat hasil pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) ataupun pemilu legislatif, mulai dari gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga penggunaan hak angket DPR yang sedang bergulir.
Ramadhan hadir untuk membawa pesan korektif atau tepatnya melakukan introspeksi kebangsaan terhadap apa yang sedang terjadi saat ini.
Dalam konteks kebangsaan hari ini, masuknya bulan suci Ramadhan jadi momen terbaik untuk sama-sama melakukan introspeksi kebangsaan atau ’ihtisab’terhadap kondisi bangsa hari ini.
Buruknya proses pemilu yang saat ini terjadi akan memberikan dampak terhadap kehidupan bangsa ke depan. Pemilu merupakan pintu gerbang dalam menghasilkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta lembaga legislatif yang amanah dan menjadi penyambung aspirasi masyarakat.
Pesan untuk melakukan introspeksi selama bulan Ramadhan sejalan dengan QS Al-Hasyr:18. ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sesungguhnya perbuatan apa yang dilakukan hari ini merupakan manifestasi terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Jika itu hal yang kurang baik, satu-satunya jalan adalah bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.
Koreksi diri
Kata introspeksi atau ihtisab dikutip dalam hadis Rasulullah SAW. Hadis ini menganjurkan orang berpuasa untuk melakukan kegiatan introspeksi atau mawas diri sebagai syarat mencapai tujuan ibadah puasa, yang berarti akan mendapat ampunan dari Allah SWT.
Disebutkan di situ, ”Barang siapa berpuasa penuh dengan keimanan dan introspeksi diri, maka diampuni segala dosa yang telah lalu” (HR Bukhari Muslim). Jadi, untuk dapat mencapai ampunan dari Allah tersebut, perlu ada introspeksi atau melakukan koreksi terhadap segala tindakan dan tingkah laku yang tidak baik dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya.
Menurut cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid (Cak Nur), kata ihtisab akan lebih tepat kalau diterjemahkan dengan self-examination atau melakukan koreksi diri. Cak Nur menilai, koreksi diri adalah tindakan yang sangat sulit dilakukan, khususnya oleh mereka yang tidak memiliki sikap jujur dan rendah hati. Kemauan melakukan koreksi atau kritik terhadap kesalahan diri adalah pekerjaan yang amat sulit.
Akan tetapi, inilah hakikat akhlak mulia sebagaimana yang dimaksudkan oleh hadis Nabi di atas. Di situlah pentingnya amalan puasa harus diikuti oleh tindakan ihtisab agar orang beriman dapat memiliki akhlak mulia.
Sebaliknya orang yang tidak mau melakukan introspeksi disebut sebagai sikap sombong atau fasik, yang akan membawa pada kehancuran.
Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Isra: 16. ”Dan jika Kami (Allah) hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami (Allah) perintahkan kepada mereka yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
Sesungguhnya perbuatan apa yang dilakukan hari ini merupakan manifestasi terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Dalam konteks hari ini, Cak Nur menyebut orang fasiksering diidentikkan dengan orang yang tidak mau mengikuti atau peduli pada aturan hukum yang berlaku. Bahkan cenderung memaksakan kehendak agar sejalan dengan kemauannya saja.
Introspeksi kebangsaan
Masih segar dalam ingatan bagaimana bangsa ini nyaris terpecah dalam polarisasi yang kental bernuansa agama di antara dua kubu pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapes) pada Pemilu 2019 lalu. Polarisasi dua kubu bahkan kian mengeras karena tiap-tiap pihak mengklaim sebagai pemenang.
Lalu, lima tahun kemudian, pada Pemilu 2024 yang baru saja berlangsung, ketegangan dalam menunggu hasil perhitungan resmi penyelenggara pemilu kembali terjadi. Isu yang mengemuka adalah mulai dari adanya keberpihakan penyelenggara pemilu, intervensi penguasa, penggunaan dana bansos untuk kepentingan elektoral, hingga politik uang yang masif.
Bangsa ini selalu mengulang kesalahan-kesalahan yang ditimbulkan oleh sikap individu mau menang sendiri, tidak peduli dengan pihak lain, menggunakan segala cara memenuhi keinginannya.
Sikap ini kemudian menjalar ke institusi yang dipimpinnya, yang pada akhirnya juga dituntut untuk mencari jalan untuk membenarkan cara-cara yang tak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sikap inilah yang disinyalir oleh Cak Nur sebagai sikap orang fasik. Jika sikap ini sudah menjalar pada diri seorang pemimpin, hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan bangsa ke depan. Sekali lagi, kalau para pemimpin atau bangsa sudah dihinggapi penyakit fasik, tunggulah kehancuran yang akan terjadi.
Seorang sejarawan terkenal Inggris, Edward Gibbon, pun menulis hal yang sama dalam bukunya, The Decline and the Fall of Roman Empire. Disebutkan bahwa kerajaan Romawi yang berbentuk imperium yang begitu besar dan ditakuti bangsa-bangsa lain pada zamannya hancur dan binasa karena dipimpin oleh orang-orang fasik, orang yang tidak lagi mau memedulikan aturan atau moral.
Para raja dan pejabatnya sudah tidak memiliki nilai dan akhlak lagi. Mereka hidup bermegah-megah dan hanya mendahulukan kepentingan diri dan kekuasaannya semata. Mereka pun akhirnya hancur dan binasa.
Dalam konteks kebangsaan hari ini, masuknya bulan suci Ramadhan jadi momen terbaik untuk sama-sama melakukan introspeksi kebangsaan atau ihtisab terhadap kondisi bangsa hari ini. Para pemimpin negara, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, mulai dari tingkat tertinggi hingga terendah, secara jujur dan rendah hati, mau melakukan introspeksi terhadap kesalahan-kesalahan yang diperbuat selama ini.
Kesalahan ini menyebabkan anugerah kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa ini, yang terdapat di darat, laut, dan udara, belum bisa menyejahterakan penduduknya secara menyeluruh. Bahkan, yang terjadi sebaliknya, ketimpangan dan kemiskinan makin tinggi.
Baca juga: Dunia Terbagi Dua dalam Mengawali Ramadhan 1445 H
Para pemimpin di setiap jenjang bisa memanfaatkan bulan suci Ramadhan untuk mulai secara individu dan kolektif melakukan muhasabah terhadap diri dan lingkungannya.
Proses muhasabah ini akan lebih bermakna karena dilakukan pada saat sedang menahan lapar dan dahaga, hawa nafsu, serta perbuatan menyimpang lainnya. Maka, hati nurani akan menjadi lebih bersih dan suci. Kembali memiliki kepekaan rohani terhadap aturan moral atau akhlak serta patuh dan taat pada hukum dan regulasi yang berlaku.
Menyembuhkan kembali
Gagasan introspeksi kebangsaan selama bulan suci Ramadhan adalah untuk menyembuhkan kembali kesehatan mental-spiritual dan sosial politik yang sedang sakit.
Melalui ibadah puasa yang berkualitas dan ikhlas, diharapkan lahir pribadi-pribadi dengan karakter mulia, penuh kebijakan dan kebajikan, serta memiliki kesalehan spiritual dan sosial secara kolektif. Menjadikan para pemimpin menjadi lebih baik, juga menstimulus seluruh komponen anak bangsa untuk bekerja bersama mengatasi segala persoalan yang kini tengah dihadapi bangsa.
Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina