Kerentanan Berlapis Generasi Muda
Generasi muda terbebani ekspektasi ganda, antara ”citra keserbamudahan” dan tantangan melebihi generasi pendahulu.
Menjadi anak muda adalah berkah sekaligus kutukan. Pada satu sisi, mereka dipandang sebagai ahli waris estafet kepemimpinan bangsa, harapan masa depan, agen perubahan, dan pendobrak kondisi yang jumud.
Namun, di sisi sebaliknya, anak muda dianggap ”belum matang”, minim pengalaman, rentan terjerumus kenakalan dan penyalahgunaan (dalam banyak aspek), enggan diatur, gampang emosi, labil, dan pusparagam atribusi stigmatik lainnya.
Kecondongan yang kedua tersebut, jika meminjam istilah Suzanne Naafs dan Ben White (2012), merupakan wujud dari ”defektologi kepemudaan”. Istilah ini menggambarkan tendensi pihak-pihak yang bertanya ”apa yang salah dengan pemuda kita hari ini” dan ”apa yang perlu dilakukan untuk membenahi” generasi muda dalam tata kelola kebijakan publik. Repotnya, pola demikian mengisyaratkan sebuah sikap yang kurang kritis dan menaruh bobot lebih ke sikap kepemerintahan (governmentality).
Tidak jarang disposisi tersebut melahirkan sentimen terhadap generasi muda saat ini. Sebutlah, umpamanya, generasi stroberi (lembek), manja, kurang daya juang, ”si paling healing dan mental health”, dan sejenisnya yang bertebaran di media sosial.
Panorama seperti itu tentu bukan barang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles pun telah ada judgment kepada anak muda dengan langgam yang mirip. Dan, di zaman sekarang, sasarannya adalah para milenial muda dan gen Z.
Baca juga: Ancaman Perbedaan Antargenerasi
Paradoks teknologi digital
Padahal, generasi muda saat ini memiliki kerentanan berlapis. Dalam kajian Digital Civility Index oleh perusahaan Microsoft tahun 2020 ada temuan bahwa anak muda milenial dan gen Z adalah kelompok usia yang paling rentan terhadap hoaks, berita palsu, ujaran kebencian, dan perundungan siber. Dan, kaum perempuan merasa lebih berisiko ketimbang laki-laki (Microsoft, 2020).
Laporan yang sama juga membuka ruang diskusi tentang generasi muda masa kini mempunyai tantangan yang belum ada presedennya. Mereka memiliki akses luas yang berdampak rangkap. Di satu kutub menawarkan lautan pengetahuan, sedangkan di kutub seberangnya mengundang mara bahaya, seperti pencurian data pribadi, perundungan, sampai kecemasan berlebih akibat gempuran konten.
Kita bisa melihat banyak anak muda terpaku duduk di ruang fisik yang konstan, khusyuk menghadap gawai, lantas isi pikirannya berselancar bebas sekaligus dibombardir beragam isu. Ia diam, tetapi berkelana. Dan, ini ikut menyumbang maraknya gejala cemas dan overthinking akibat tertimbun data-raya dan kepenuhan informasi.
Generasi lelah dan ”eco-anxiety”
Jika input yang masuk adalah rentetan masalah seperti krisis iklim, kesehatan mental, masalah politik dan birokrasi yang bobrok, kelangkaan pangan, konflik agrarian, dan sebagainya, otak mereka bisa retak dan hati menjadi kalut. Dalam dosis tertentu, mereka rentan mengalami gangguan cemas, keletihan akut (lethargic), hingga burnout.
Serangkum rintangan tersebut pada gilirannya membenihkan segudang kegelisahan lain. Salah satunya eco-anxiety, sebuah ketakutan kronis akan kiamat lingkungan. Olivia Box (2022) dalam studinya menggali apa yang anak-anak dan kaum muda rasakan terkait perubahan iklim. Hasilnya menunjukkan kalau level kekhawatiran mereka cukup tinggi.
Survei global tahun 2021 dengan total 10.000 responden berusia 16-25 tahun menunjukkan hasil yang senada (Elizabeth Marks, et al, 2021). Sebanyak 59 persen responden merasa sangat cemas (extremely worried), 84 persen cemas sedang, dan lebih dari 50 persen mengaku merasa sedih, cemas, geram, marah, tak berdaya, tidak punya kuasa sama sekali, hingga perasaan bersalah. Dan, lebih dari 45 persen responden mengaku kalau kecemasan atas lingkungan ini berdampak nyata pada kehidupan dan fungsi sosial sehari-hari mereka.
Transisi di sini bukan semata-mata aspek psikobiologis. Ia juga meliputi aspek sosioantropologis dan kelas sosial-ekonomi.
Ini tentu saja menambah pekerjaan rumah dalam isu krisis kesehatan mental anak muda di Tanah air. Mengingat temuan I-NAMHS (2022) menyebutkan bahwa gangguan kecemasan merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami para remaja, sekitar 26,57 persen dengan prevalensi 1 dari 20 remaja memiliki gangguan mental dalam kurun waktu 12 bulan terakhir (Kompas, 10/7/2023).
Transisi dan kesejahteraan
Isu lain yang membebani generasi muda adalah transisi dan kesejahteraan. Transisi di sini bukan semata-mata aspek psikobiologis. Ia juga meliputi aspek sosioantropologis dan kelas sosial-ekonomi seperti peralihan dari lajang-menikah, studi-kerja, hingga miskin-menengah-sejahtera. Semua ini berkaitan langsung dengan problem kesejahteraan dan keamanan hidup.
Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyajikan temuan bahwa isu strategis teratas yang menjadi perhatian anak muda dalam Pemilu 2024 adalah isu kesejahteraan masyarakat (44,4 persen). Menyusul isu kedua adalah lapangan pekerjaan (21,3 persen). Pemberantasan korupsi (15,9 persen) juga menjadi perhatian selanjutnya.
Temuan ini beresonansi dengan data Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang menyebut tingkat pengangguran angkatan kerja muda usia 15-24 tahun di Indonesia menjadi tertinggi kedua di Asia Tenggara (Databoks, 2021).
Dari kesejahteraan yang belum terjamin inilah tidak sedikit dari kaum muda yang menunda fase pernikahan, proses transisi lajang-menikah. Sebutannya waithood, sebuah keputusan sadar untuk menunda perkawinan karena alasan yang sebetulnya masalah struktural. Apabila sederet persoalan ini didiamkan, ia akan menjelma bahaya laten. Bom waktu. Dan, ini sangat mungkin membuyarkan imajinasi-kolektif kita tentang ”Indonesia Emas 2045” yang digembar-gemborkan itu.
Beranjak dari persoalan di atas, generasi muda masa kini memang menjadi kelompok yang terbebani ekspektasi ganda. Adanya sokongan teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan fasilitas mutakhir membuat masyarakat menyematkan ”citra keserbamudahan” kepada generasi terkini. Namun, di saat bersamaan, mereka memiliki tantangan bertumpuk melebihi generasi pendahulu.
Kini semua memang termudahkan. Namun, distraksi luar biasa melimpah. Banjir informasi dari segala penjuru. Ada Tiktok, Instagram, Twitter, gim, kedai kopi di kanan-kiri, rayuan wisata, hingga budaya hedon dan jeratan pinjaman online.
Baca juga: Menilik Makna Kesejahteraan bagi Milenial di Era Disrupsi
Menyikapi kompleksitas tersebut, penting untuk terus mengupayakan multi-pendekatan dalam meninjau dan mengurai persoalan anak muda di Tanah Air. Pemerintah, lembaga riset, dan masyarakat sipil dari berbagai lini perlu hadir dengan kesediaan untuk mendengar aspirasi dari kaum muda.
Pendekatan sektor kreatif, seperti humor-komedi umpamanya, pun perlu ambil bagian. Sebab, barangkali ini juga satu faktor kenapa komedi belakangan semakin laris di negeri ini. Rakyat, terutama generasi muda, butuh dihibur hatinya, dilipur-pukpuk cemasnya karena saking rumitnya aneka krisis dan problem hidup mereka.
M Naufal Waliyuddin, Peneliti Generasi Muda dan Sosial Keagamaan; Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Instagram: madno_wk