Menilik Makna Kesejahteraan bagi Milenial di Era Disrupsi
Generasi milenial sangat responsif terhadap perubahan. Mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap target-target dan kesejahteraan yang ingin dicapai dalam hidupnya dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Oleh
DIAN ASMI SETONINGSIH
·4 menit baca
Supriyanto
Generasi milenial adalah istilah yang digunakan untuk menyebut generasi yang lahir pada tahun 1981 hingga 1996. Generasi milenial juga seringkali disebut dengan generasi Y. Rata-rata usia generasi milenial saat ini sekitar 25 hingga 40 tahun dan merupakan sumber daya manusia utama dalam pembangunan di Indonesia hingga 10 tahun ke depan.
Milenial sangat terbuka terhadap pandangan politik dan ekonomi sehingga mereka sangat responsif terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Pola komunikasi generasi ini lebih terbuka dibandingkan dengan generasi sebelumnya karena generasi ini telah terbiasa menggunakan teknologi komunikasi dan media sosial. Hal ini dikarenakan generasi Y merupakan generasi yang tumbuh pada era internet booming. Di jaman ini terjadi inovasi dan perubahan secara fundamental karena hadirnya teknologi digital yang mengubah sistem secara global.
Perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi terus menerus dengan kecepatan yang massif ini membutuhkan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Era disrupsi memberikan berbagai dampak baik dalam segi sosial dan juga ekonomi. Berbagai dampak ini juga dirasakan oleh kaum milenial sehingga generasi ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap target-target dan kesejahteraan yang ingin dicapai dalam hidupnya dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Kesejahteraan ekonomi
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang sangat bangga menjadi PNS maupun karyawan tetap suatu perusahaan, generasi milenial cenderung berganti pekerjaan dalam kurun waktu yang singkat. Sudah menjadi rahasia umum jika milenial dikenal sebagai “kutu loncat” karena sering berpindah tempat kerja.
Isu loyalitas di tempat kerja seringkali disematkan pada milenial. Kebanyakan milenial tidak “berumur panjang” di satu perusahaan. Secara umum, tantangan pekerjaan, pengembangan profesional, dan keterampilan tingkat lanjut adalah alasan mengapa mereka berganti pekerjaan dengan cepat. Apalagi di era digital seperti ini, para milenial bisa dengan mudah mencari peluang di tempat lain. Dengan kata lain, ekonomi milenial tidak sestabil generasi sebelumnya.
Hal inilah yang menyebabkan milenial enggan menginvestasikan kekayaannya untuk membeli hunian. Mereka lebih memilih membelanjakan penghasilan mereka untuk pengalaman dan hiburan. Pada acara bincang ekonomi pada 21 Juni 2020, perencana keuangan OneShildt Financial Planning Agustina Fitri menjelaskan, ada beberapa alasan yang mendasari generasi milenial cenderung enggan membeli hunian. Pertama, milenial lebih mengedepankan gaya hidup. Sebagain besar milenial cenderung mengalokasikan dana untuk traveling daripada saving (menabung).
Jika sebagian besar masyarakat menganggap bahwa investasi ialah dalam bentuk sebuah aset benda seperti hunian, emas, atau mungkin investasi seperti reksadana, hal tersebut bukanlah investasi di mata para milenial. Para milenial beranggapan dengan pengalamanya plesiran ke dalam negeri hingga luar negeri merupakan sebuah investasi yang sangat berharga sehingga mereka rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk hal tersebut.
Selain itu, banyak generasi milenial masih mengkhawatirkan bahwa mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdasarkan hasil riset Pricewaterhouse Coopers (PwC), 35 persen karyawan memiliki kartu kredit yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bulanan yang belum terpenuhi. Alasan lainnya adalah generasi milenial memandang harga rumah mahal dan mereka tidak mau memiliki utang. Pasalnya, kepemilikan rumah kerap kali dipenuhi dengan cara mencicil.
KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH
Generasi milenial sedang bekerja di ruang terbuka yang sengaja diciptakan sebagai salah satu cara untuk mengakomodasi cara kerja generasi langgas yang lebih bersifat egaliter
Kesejahteraan sosial
Media sosial memegang peran penting bagi milenial dalam menggambarkan status sosialnya. Media sosial di mata para milenial digunakan sebagai personal branding, di mana kehidupan dan kepribadiannya bisa dilihat hanya dengan melihat feed dan pengalaman yang dipamerkan dalam bentuk video atau foto beserta caption yang diunggah di media sosial. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan satu ini dapat menjadi sebuah pemicu milenial merasa traveling menjadi salah satu kewajiban agar dinilai sebagai individu yang memiliki pengalaman lebih.
Hal itu karena mereka menganggap bahwa bepergian adalah cara untuk menunjukkan jati diri mereka melalui petualangan-petualangan baru, dan kemudian menjadikan petualangan itu sebagai bagian dari identitas. Berplesiran ke luar negeri, mengarungi lautan Indonesia, hingga mencoba untuk berbaur dengan masyarakat lokal dianggap menjadi lebih bermakna di mata mereka dibandingkan dengan menikmati momen dengan pasangan atau keluarga. Dengan demikian, menjadi hal yang lumrah ada banyak generasi milenial atau generasi Y yang memilih menunda pernikahan. Para ahli menyebutkan pernikahan bukan lagi prioritas utama kalangan muda milenial usia 20-an.
Setidaknya 26 persen dari milenial menunda pernikahan, menurut sebuah studi Pew Research. Studi ini menunjukkan bahwa hampir 70 persen milenial masih lajang atau tidak terlalu memikirkan romansa kehidupan.
Ada banyak alasan bagi kaum milenial untuk menunda. Hal ini dapat disebabkan karena fokus berkarier, faktor keuangan, menghindari perceraian hingga memilih untuk hidup bebas sebelum benar-benar memutuskan untuk memulai sebuah rumah tangga. Milenial lebih fokus pada pendidikan, karier, dan menemukan jati diri mereka sebelum memutuskan untuk menikah. Dengan terlalu fokus atau sibuk meraih pendidikan terbaik dan mencapai karier tertinggi, sebagian besar generasi milenial lupa untuk fokus pada kisah cinta atau asmaranya.
Dian Asmi Setoningsih, Pendidik di Thursina International Islamic Boarding School (IIBS) Malang