Dugaan penyimpangan dalam penggunaan dana selalu mengentak nurani.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kabar dugaan penipuan, penyimpangan, indikasi tindak pidana korupsi, atau penyalahgunaan wewenang selalu membuat geleng-geleng kepala. Tak habis pikir. Apalagi, jika disandingkan dengan kabar masyarakat miskin yang berusaha sekuat tenaga mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ironis.
Kali ini, kabar buruk itu datang dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang LPEI. Kabar buruk itu terkait dana LPEI sebesar Rp 2,5 triliun.
Kabar buruk itu terkait dana LPEI sebesar Rp 2,5 triliun.
Diduga terjadi penipuan atau penyimpangan (fraud) dalam penggunaan dana LPEI yang disalurkan kepada empat perusahaan ekspor, yakni PT RII, PT SMS, PT SPV, dan PT PRS. Perusahaan itu bergerak di bidang kelapa sawit, batubara, nikel, dan perkapalan (Kompas, 19/3/2024).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan indikasi penyimpangan penggunaan dana, yang menjadi kredit bermasalah, itu kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin, Senin (18/3/2024). Saat ini, jajaran direksi LPEI telah diminta melakukan pembersihan secara internal.
Perbuatan itu mengecewakan jika melihat rekam jejak sebelumnya. Pada 2022, Kejagung menangani dugaan tindak pidana korupsi pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI. Persoalan kredit macet pada periode 2013-2019 tersebut diduga merugikan negara Rp 2,6 triliun (Kompas.id, 19/3/2022).
Dugaan penyimpangan penggunaan dana LPEI ini terasa menyakitkan. Jelas-jelas disebutkan dalam UU No 2/2009 perihal penyelenggaraan pembiayaan ekspor perihal asas, antara lain kepentingan nasional, kepastian hukum, dan akuntabilitas yang mesti dipatuhi. Ada juga sejumlah prinsip yang mesti diterapkan LPEI dalam menjalankan tugasnya, antara lain tata kelola dan manajemen risiko.
Berbagai aturan dalam undang-undang itu dimaksudkan untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar, apalagi disimpangkan. Tujuannya, mendorong ekspor nasional.
Berbagai aturan dalam undang-undang itu dimaksudkan untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar, apalagi disimpangkan.
Padahal, kerap kali ada pengusaha yang mengaku kesulitan menembus pasar ekspor karena keterbatasan biaya atau modal. Mereka layak dibantu dan didukung demi bisa mengembangkan usaha, melebarkan sayap ke luar negeri, dan menjaga kelangsungan ekonomi pekerjanya.
Ekspor diperlukan untuk menopang perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor turun 11,33 persen secara tahunan pada 2023. Adapun porsinya pada produk domestik bruto sebesar 21,75 persen.
Dari perekonomian Indonesia yang tumbuh 5,05 persen secara tahunan pada 2023, ekspor menyumbang 0,66 persen. Oleh karena itu, perluasan pasar ekspor dan peningkatan nilainya akan berdampak pada perekonomian Indonesia.
Maka, dana ekspor mesti digunakan dengan tepat, bukan disalahgunakan.