Puasa, Inflasi, dan Nilai Ekonomi
Puasa mendidik umat Islam untuk lebih berhemat, bukan memperbanyak belanja atau meramaikan pasar dan mal.
Dua kata ini, yaitu puasa dan inflasi, sejatinya bukanlah termasuk rumpun kata yang memiliki kedekatan makna. Ungkapan kata puasa biasa digunakan untuk menjelaskan salah satu model praktik ibadah yang dijalankan oleh umat Islam setiap setahun sekali, sedangkan kata inflasi termasuk kategori kata yang berkaitan dengan ekonomi moneter.
Meski demikian, kedua kata tersebut mempunyai korelasi yang unik bagi kehidupan beragama umat Islam Indonesia, khususnya menjelang datangnya bulan Ramadhan.
Kenapa unik? Karena ada anomali fakta yang seharusnya tidak terjadi dalam tradisi beragama umat Islam di Indonesia. Realitasnya setiap menjelang puasa, bahkan berlanjut hingga hari raya Idul Fitri, biasanya terjadi inflasi, dengan ditandai oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok.
Dalam ilmu ekonomi mikro, salah satu faktor penyebab inflasi ialah tidak seimbangnya lagi antara sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar. Bisa jadi, karena kekuatan permintaan yang besar tidak diimbangi dengan perbanyakan volume penawaran.
Baca juga: Menjaga Inflasi Pangan
Suasana pasar tradisional ataupun supermarket di Indonesia menjelang puasa biasanya penuh sesak oleh orang yang ingin belanja mencukupi kebutuhan hidupnya selama berpuasa. Artinya, dari sisi demand mengalami tekanan volume yang cukup besar.
Perilaku konsumen menjelang dan selama bulan puasa telah menggambarkan kondisi yang tidak wajar. Volume transaksi naik tajam. Memang fenomena ini di satu sisi memberikan dampak yang baik bagi kondisi perekonomian masyarakat. Semakin besar perputaran transaksi ekonomi akan memberikan dampak peningkatan pendapatan bagi masyarakat.
Fakta inilah yang sesungguhnya membuat paradoks dengan esensi puasa itu sendiri. Esensi puasa adalah mengurangi kegiatan konsumsi. Biasanya, kalau di luar bulan Ramadhan, umat Islam tidak terbatasi konsumsi atas barang. Akses untuk mengonsumsi barang terbuka lebar. Selama 24 jam bisa melakukan konsumsi.
Hakikat puasa
Namun, suasananya akan berbeda tatkala sudah memasuki bulan suci Ramadhan. Umat Islam sudah tidak bebas lagi mengonsumsi barang. Mulai dari berkumandangnya azan subuh hingga tenggelamnya matahari menjelang didirikan shalat Maghrib, umat Islam terbatasi untuk mengonsumsi barang, baik dalam bentuk mengonsumsi makanan atau minuman.
Artinya, dari sisi ekonomi, seharusnya ada pengurangan konsumsi. Kalau mengacu pada hakikat puasa, seharusnya sisi demand mengalami pelemahan, berkurang seiring dengan pemangkasan pola konsumsi yang hanya dilakukan pada malam hari.
Kalau dihitung dengan hitungan jam, kebebasan mengonsumsi pada malam hari hanya 10 jam. Selebihnya, 14 jam, dihitung dari mulai awal masuknya shalat Subuh hingga awal waktu Maghrib, merupakan waktu terlarang untuk melakukan kegiatan konsumsi. Jika dilihat dari rasio perbandingan antara waktu dibolehkan untuk mengonsumsi dan waktu terlarang untuk mengonsumsi tentu lebih banyak waktu terlarangnya, yakni 14 berbanding 10.
Namun, realitasnya tidak seperti yang diinginkan oleh hakikat puasa tersebut. Faktanya adalah sisi demand mengalami penguatan yang cukup besar. Inilah yang dimaksud dengan anomali fakta menjelang dan selama bulan Ramadhan. Jika mengacu kepada hakikat dan esensi puasa, seharusnya sisi demand tidak menguat, tetapi sebaliknya melemah. Akibatnya, sisi supply harus menyeimbangkan lagi posisinya dengan menambah volume penawaran.
Puasa bukanlah direspons dengan memperbanyak belanja atau meramaikan pasar dan mal.
Biasanya, dalam kondisi seperti ini, agar tidak terjadi inflasi yang ekstrem, tidak tertutup kemungkinan pemerintah mengambil langkah intervensi pasar dengan menambah supply persediaan barang melalui instrumen open market operation.
Anomali fakta di atas perlu diubah. Dalam mengubah paradigma ini diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai esensi dan hakikat puasa di bulan Ramadhan. Umat Islam di Indonesia perlu memahami makna ibadah puasa yang sesungguhnya. Puasa bukanlah direspons dengan memperbanyak belanja atau meramaikan pasar dan mal.
Sebaliknya, ibadah puasa di bulan Ramadhan merupakan momentum terbaik untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah Swt. Bulan Ramadhan merupakan waktu yang tepat untuk memakmurkan masjid dengan varian ibadah yang disyariatkan dalam ajaran Islam, baik ibadah wajib maupun ibadah sunah.
Bulan puasa adalah bulan di mana Allah Swt memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah. Allah Swt menjanjikan imbalan pahala yang berlipat ganda bagi umat Islam yang beribadah di dalam bulan Ramadhan.
Bahkan, ibadah yang termasuk kategori amalan sunah di dalam bulan Ramadhan, seperti shalat Tarawih, sedekah,atau membaca Al-Quran, bagi Allah Swt imbalan pahalanya disamakan seperti menjalankan ibadah wajib.
Nilai ekonomi
Puasa mengajarkan perilaku hidup yang jauh dari sifat konsumeristik. Makna puasa adalah menahan (al-imsak). Menahan hawa nafsu agar tidak condong ke perilaku konsumeristik. Menahan syahwat untuk tidak memanjakan diri dengan hal-hal yang bersifat materialistis.
Puasa mendidik umat Islam untuk lebih berhemat daripada menghamburkan uangnya untuk berbelanja. Dari sini dapat diungkapkan bahwa salah satu hikmah dari ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah mengajarkan umat Islam untuk tidak berperilaku hidup konsumeristik, yakni membelanjakan harta sesuai dengan kebutuhan hidup tidak didasarkan pada keinginan semata.
Di sisi yang lain, puasa merupakan salah satu instrumen ekonomi untuk mengurangi perilaku berutang. Saat ini, umat Islam di Indonesia dengan mudah bisa mengakses pinjaman melalui lembaga keuangan yang ada di Indonesia. Apalagi dengan maraknya pinjaman online (pinjol), akses untuk memperoleh utang semakin mudah.
Memang betul perilaku berutang tidak ada yang melarang, tetapi dengan adanya instrumen puasa tersebut, paling tidak dapat mengendalikan kebiasaan pola berutang. Ada benarnya jika menjadikan pedoman sebuah untaian kalimat yang penuh hikmah, ”lebih baik puasa daripada berutang”.
Dari sisi makroekonomi, sudah saatnya Pemerintah Indonesia ”berpuasa” menambah utang.
Sejatinya ada dua opsi cara bagi orang yang ingin memenuhi kebutuhannya tatkala belum mempunyai uang yang cukup. Pertama, dengan cara berpuasa sambil berhemat dengan mengedepankan perilaku menabung (saving). Setelah uangnya terkumpul, baru memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kedua, dengan cara ”memaksakan” diri melalui proses meminjam uang kepada pihak lain, baik secara personal maupun melalui jasa lembaga keuangan. Cara yang kedua ini relatif sering dilakukan masyarakat karena akses untuk memperoleh pinjaman cukup mudah.
Adapun dari sisi makroekonomi, sudah saatnya Pemerintah Indonesia ”berpuasa” menambah utang. Saat ini, utang negara Indonesia, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan per 31 Januari 2024, sebesar Rp 8.253 triliun.
Tidak salah jika ingin menempatkan posisi Indonesia termasuk kategori negara yang membangun dalam pusaran utang. Jangan sampai nanti Indonesia termasuk negara yang gagal untuk membayar kewajiban utang tersebut. Jika dihitung dengan total besaran utang di atas, setiap warga negara Indonesia akan menanggung beban utang pemerintah Rp 30,5 juta per orang.
Baca juga: Soal Utang yang Selalu Berulang
Pada kondisi seperti ini, sudah seharusnya pemerintah memasuki masa imsak, menahan diri, untuk tidak menambah utang baru. Ada baiknya ilmu Nabi Yusuf tatkala diminta menta’wil mimpi Raja Mesir bisa dijadikan referensi untuk membangun Indonesia yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, sebagai gambaran dari terwujudnya negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Saat itu, Nabi Yusuf memberikan nasihat kepada Raja Mesir agar berhemat, menahan diri (imsak) dengan membatasi konsumsi yang diikuti perilaku saving selama masa tujuh tahun. Model pembangunan yang pernah dilakukan Nabi Yusuf ini dapat dijadikan rujukan dalam proses pembangunan Indonesia ke depan.
Lebih dari itu, puasa dapat dimaknai sebagai proses pendidikan bagi umat Islam untuk menempa dirinya agar bisa lebih menumbuhkan solidaritas sosial. Diharapkan ikut juga merasakan bagaimana kehidupan saudara kita lainnya yang kebetulan masih kekurangan.
AM Hasan Ali, Dosen Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Pendiri Sharia Business Intelligence (SBI)