Kepresidenan, Lembaga Tanpa Undang-undang
Wajah lain dari kekuasaan adalah memabukkan, bisa membuat pemimpin lupa diri sehingga bisa jatuh karena kekuasaannya.
Ruang Kompas Institute, Jumat (8/3/2024), menjadi ajang ”reuni” sejumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merancang perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Ada Jakob Tobing, Ketua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, yang menjadi salah satu arsitek perubahan UUD 1945. Jakob meluncurkan buku biografi berjudul Sosok di Balik Milestone Indonesia Baru, yang ditulis Bernada Rurit.
Hadir anggota MPR lainnya yang terlibat dalam pembahasan perubahan UUD 1945, seperti Baharuddin Aritonang, Theo Sambuaga, Zaenal Maarif, Zain Badjeber, Valina Singka Subekti, dan Harjono.
Jakob menjadikan pengalaman merancang perubahan UUD 1945 sebagai bahan penelitian untuk disertasi doktor di Universitas Leiden, Belanda. Langkah Jakob tentu menjadi capaian yang luar biasa, meraih gelar doktor di usia senja dan dilakoni di universitas ternama.
Disertasi berjudul Remaking Negara Hukum: The Essence of 1999-2002 Constitutional Reform in Indonesia tersebut segera diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Disertasi itu akan menjadi khazanah kajian konstitusi dan indigenous democracy di Indonesia.
Ajang bedah buku menjadi semacam forum refleksi atas perjalanan perubahan UUD 1945 dan perkembangan politik kontemporer, khususnya setelah pemilu serentak 14 Februari 2024. Sejak perubahan UUD 1945, bangsa ini telah melaksanakan lima kali pemilu.
Joko Widodo masih menjabat presiden hingga 20 Oktober 2024. Posisi netralitas presiden dipertanyakan.
Namun, Pemilu 2024 menjadi istimewa karena untuk pertama kali, seorang putra presiden, Gibran Rakabuming Raka, ikut kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
Pada saat itu, Joko Widodo masih menjabat presiden hingga 20 Oktober 2024. Posisi netralitas presiden dipertanyakan.
Lembaga kepresidenan dan perubahan UUD
Peristiwa politik itu tak pernah terbayang oleh para perancang perubahan UUD 1945.
Fakta politik itu memunculkan pertanyaan, sejauh mana lembaga kepresidenan ditempatkan dalam desain perubahan UUD 1945? Presiden memang menjalankan kekuasaan menurut UUD 1945. Namun, konstitusi tak pernah memerintahkan lembaga kepresidenan diatur dalam undang-undang.
Membaca teks konstitusi hasil perubahan 1999-2002, konstitusi memerintahkan DPR dan pemerintah membuat undang-undang untuk mengatur kekuasaan legislatif, yakni lembaga MPR/DPR/DPD; memerintahkan pembuatan undang-undang untuk kekuasaan yudikatif, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Perubahan UUD 1945 juga memerintahkan TNI, Polri, kejaksaan, kementerian, Dewan Pertimbangan Presiden, dan Badan Pemeriksa Keuangan diatur oleh undang-undang. Semua komisi negara juga diatur oleh undang-undang.
Sebaliknya, perubahan UUD 1945 tidak memberikan perintah kepada presiden dan DPR untuk membuat undang-undang khusus mengenai lembaga kepresidenan. Perubahan UUD 1945 hanya memerintahkan syarat menjadi presiden dan tata cara memilih presiden diatur dengan undang-undang.
Presiden memang menjalankan kekuasaan menurut UUD 1945. Namun, konstitusi tak pernah memerintahkan lembaga kepresidenan diatur dalam undang-undang.
Perubahan UUD 1945 memerintahkan agar tugas dan kewenangan presiden menandatangani perjanjian internasional, memberikan tanda jasa, menyatakan keadaan darurat, dan sejumlah wewenang lain diatur dalam undang-undang.
Mengapa perubahan UUD 1945 tidak memberikan mandat kepada presiden dan DPR membuat undang-undang tentang lembaga kepresidenan?
Apakah argumen bahwa presiden menjalankan kekuasaan dari UUD sudah mencukupi dan tidak perlu undang-undang lembaga kepresidenan?
Ataukah, yang harus diatur dalam undang-undang cukup mengenai kewenangan presiden, misalnya saat menandatangani perjanjian internasional, memberi gelar dan tanda jasa, mengangkat menteri, menyatakan status negara dalam keadaan tertentu, dan sejumlah wewenang lain?
Baca juga: RUU Lembaga Kepresidenan Mendesak untuk Batasi Presiden
Perkembangan politik kontemporer memberikan pesan kepada bangsa ini untuk memikirkan kembali apakah tidak diperlukan undang-undang lembaga kepresidenan. Dalam posisi presiden bisa melekat beberapa posisi dan atribusi.
Presiden sebagai kepala pemerintahan, presiden sebagai kepala negara, presiden sebagai penguasa tertinggi atas angkatan bersenjata. Akan tetapi, bisa juga melekat posisi presiden sebagai ketua umum partai politik, politisi, pejabat publik, atau kepala keluarga. Perubahan UUD 1945 tak mengatur masalah tersebut.
Undang-undang lembaga kepresidenan perlu memikirkan bagaimana mengatur secara lebih detail situasi transisi setelah presiden baru terpilih sampai presiden petahana mengakhiri masa jabatannya.
Dalam percakapan, periode itu disebut lame duck period. Periode ketika presiden petahana masih menjabat sampai akhir masa jabatannya dan presiden terpilih menunggu pelantikan.
Posisi presiden-presiden dan para wakil presiden yang pernah menjabat selayaknya juga perlu diatur dalam undang-undang lembaga kepresidenan.
Mantan presiden dalam sistem presidensial
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah bagaimana bangsa ini mau menempatkan mantan-mantan presiden dalam sistem presidensial. Di Amerika Serikat, ada semacam The President Club, tempat mantan-mantan presiden Amerika Serikat bertemu untuk membicarakan masalah kebangsaan.
Di Indonesia, sudah menjadi pemahaman publik relasi antara presiden dan mantan presiden tidaklah terlalu baik.
Relasi antara Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto tidak baik. Relasi antara Presiden Soeharto dan Presiden BJ Habibie juga tidak mulus. Bahkan, transisi kekuasaan ditandai kerusuhan sosial.
Relasi antara BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri relatif lebih baik. Namun, hubungan antara Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Jokowi juga terasa up and down.
Posisi presiden-presiden dan para wakil presiden yang pernah menjabat selayaknya juga perlu diatur dalam undang-undang lembaga kepresidenan.
Indonesia pascareformasi sebenarnya sudah mempersiapkan RUU inisiatif DPR soal lembaga kepresidenan.
Membaca Kompas, 27 Maret 2002, Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar pernah mengatakan, ”…Seluruh lembaga tinggi negara sudah diatur oleh undang-undang. Satu-satunya yang belum diatur adalah lembaga kepresidenan. Keengganan membahas undang-undang lembaga kepresidenan hanya akan melarut-larutkan tata hubungan antarlembaga sekaligus kewenangan yang dimiliki oleh presiden....”
Nyatanya, inisiatif DPR untuk menyusun RUU lembaga kepresidenan tak menjadi kenyataan. Presiden Abdurrahman Wahid ataupun Presiden Megawati tidak merespons RUU inisiatif DPR.
Presiden Megawati menjawab, ”Kami berpendapat akan lebih baik bilamana pembahasan rancangan undang-undang tersebut dapat ditunda sampai selesainya proses amendemen UUD 1945” (Kompas, 10/7/2002). Kini, perubahan UUD 1945 telah selesai dibahas. Bahkan telah dilaksanakan.
Keengganan membahas undang-undang lembaga kepresidenan hanya akan melarut-larutkan tata hubungan antarlembaga sekaligus kewenangan yang dimiliki oleh presiden.
Dua puluh dua tahun kemudian, bangsa ini rasanya perlu memikirkan RUU lembaga kepresidenan ketika ada gejala cara berpemerintahan saat ini mengarah pada formalisme demokrasi yang mengabaikan etika, moralitas, dan fatsun politik.
Memang kehadiran RUU lembaga kepresidenan seakan melawan sifat hakiki dari kekuasaan. Siapa pun yang berkuasa tentu tak menghendaki kekuasaannya dibatasi. Kehadiran RUU lembaga kepresidenan bisa saja dianggap bakal membatasi kekuasaan sehingga tak seorang presiden pun mau kekuasaannya dibatasi.
Baca juga : Menantikan RUU Kepresidenan
Sikap itu wajar karena kekuasaan itu memang menggentarkan dan mengagumkan (tremendum et fascinosum).
Namun, wajah lain dari kekuasaan adalah memabukkan dan bisa membuat pemimpin lupa diri sehingga dia bisa jatuh karena kekuasaannya.
Kekuasaan itu juga cenderung korup. Karena itulah, kekuasaan harus dibatasi. Karena itulah, RUU lembaga kepresidenan layak untuk dipikirkan. Memang dibutuhkan sosok pemimpin yang rela dan berani untuk menyiapkan batasan kewenangannya agar dia tak tergelincir menjadi mabuk kekuasaan.
Budiman TanuredjoWartawan, Pemimpin Redaksi Kompas (2014-2018), Host Satu Meja The Forum