Arah Politik Luar Negeri 2024-2034
Indonesia perlu terlibat pemulihan keamanan dan ketertiban dunia sebagai landasan kerja sama dan kesejahteraan bersama.
Tahun 2024 menghadirkan lanskap geopolitik dunia yang sarat dengan ketegangan dan juga ketidakpastian.
Perang Rusia di Ukraina yang sudah memasuki tahun ketiga sejak invasi Rusia 24 Februari 2022 masih membara, memicu krisis ekonomi berkepanjangan. Pendudukan 15 persen wilayah timur kedaulatan Ukraina masih berlangsung. Ancaman Presiden Rusia untuk menggunakan senjata nuklir masih terdengar setelah Swedia resmi jadi anggota ke-32 NATO, awal Maret 2024.
Di Semenanjung Korea, ancaman datang dari Korea Utara yang acap menguji senjata nuklirnya melintasi perairan Jepang, membuat getir negara tetangga Korea Selatan dan seluruh Asia waspada.
Meningkatnya armada perang angkatan laut China di Laut China Selatan (LCS) yang diklaim sepihak sebagai wilayah perairan China membuat reaksi penolakan banyak negara pihak: Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, Brunei, dan Indonesia.
Armada laut AS sudah di sekitar LCS siap menahan laju China menguasai perairan itu sebagai buntut tak tuntasnya perjanjian San Francisco 1951, yaitu penyerahan kekuasaan Jepang yang kalah Perang Dunia II, seiring perang dagang AS-China yang sedang berlangsung.
Situasi ini tak hanya menghambat kerja sama internasional, tetapi juga mengganggu stabilitas rantai pasok global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, yang menurut Bank Dunia dan IMF tak melampaui 3 persen di 2024.
Hanya negara dengan ekonomi sangat kuat dan menguasai teknologi yang mampu menekan negara lain tunduk pada negosiasi diplomasi perdamaian yang ditawarkan.
Ancaman krisis global
Dalam 10 tahun terakhir, dunia telah menghadapi ancaman perdamaian dan konflik global. Melibatkan banyak negara berlangsung di berbagai belahan dunia: Afghanistan, Yaman, Suriah, Sudan, Irak, Kongo, Somalia, Venezuela, Armenia, Azerbaijan, Israel, dan Palestina.
Kondisi terparah dihadapi rakyat Palestina. Sejak serangan Hamas ke wilayah Israel selatan (7 Oktober 2023) dan ke Tel Aviv (akhir Desember 2023), Israel melakukan pembalasan brutal dengan menghancurkan sekurangnya 75 persen infrastruktur Palestina di Jalur Gaza, menewaskan lebih dari 30.000 jiwa sebagian besar anak-anak dan perempuan, memblokade jalur bantuan kemanusiaan masuk wilayah Palestina.
Perang Israel di tanah Palestina ini jelas melibatkan negara adidaya AS sebagai pendukung utama Israel, juga menyeret negara-negara lain bereaksi pro dan kontra. Selain Iran dan Rusia yang sudah berseberangan dengan AS-Israel, negara-negara Timteng sekutu AS, seperti Arab Saudi, Jordania, dan Mesir, juga bereaksi keras meminta dihentikannya perang dan dibukanya bantuan kemanusiaan bagi Palestina.
Dua titik pusat konflik dunia yang terjadi di wilayah Eropa Timur (Ukraina) dan Timteng (Palestina) berdampak besar bagi situasi keamanan global dan berpotensi memicu Perang Dunia III, menurunkan produktivitas perekonomian global, serta berdampak ke semua negara, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Negara besar, seperti Inggris di Eropa, telah mengumumkan negaranya tergelincir dalam jurang resesi. Jepang di Asia juga nyaris tergelincir resesi ekonomi dengan kontraksi PDB 0,4 persen akhir 2023. Menurunnya kinerja perekonomian dunia lebih disebabkan situasi dunia yang tak stabil karena merebaknya konflik berbagai negara, yang melibatkan negara-negara lain, menyedot sumber daya ekonomi, memicu kelangkaan energi dan bahan pangan, mendorong naiknya harga komoditas dunia.
World Food Program PBB akhir 2023 melaporkan, beberapa negara di Afrika dan Timteng sudah mulai menderita kelaparan akibat minimnya pasokan pangan, dengan tingkat ketidakcukupan pangan di atas 60 persen kebutuhan rakyatnya. Secara ekstrem, ini dialami Somalia, Afghanistan, Nigeria, Mali, Guinea, Haiti, Suriah, dan Sudan Selatan.
Inflasi dan krisis global sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari semua negara, termasuk AS ataupun China dan negara-negara kaya lain yang tergabung dalam G-20 dan G-7.
Wajah dunia akan tampak semakin suram jika situasi itu tak segera dipulihkan. Jika tak ada otoritas dan solidaritas global yang kuat untuk menghentikan perang Rusia-Ukraina dan menghentikan kekejaman Israel di Palestina. Kehadiran negara kuat atau sekumpulan negara yang memiliki otoritas moral kuat untuk menyuarakan perdamaian dan menghentikan perang sangat dibutuhkan dunia saat ini.
Berlarut-larutnya perang, panjangnya ”peta damai” yang disyaratkan, membuat makin banyak korban berjatuhan, hancurnya peradaban, dan kian panjang penderitaan masyarakat di wilayah konflik. Krisis kemanusiaan tak terhindarkan. Dunia dihadapkan pada ketidakpastian.
Perang Israel di tanah Palestina ini jelas melibatkan negara adidaya AS sebagai pendukung utama Israel, juga menyeret negara-negara lain bereaksi pro dan kontra.
Ketidakpastian dapat melahirkan rasa frustrasi, ketidakpercayaan, dan pada akhirnya tiap negara terobsesi memilih jalannya sendiri guna mengatasi masalahnya. Tak ada lagi lembaga dunia yang dipercaya mampu menyelamatkan umat manusia. Kondisi dunia dalam bahaya bilamana kepercayaan berhimpun dalam organisasi dunia dirasakan sudah tidak berguna lagi.
Setiap negara untuk dirinya
Ian Bremmer penulis buku Every Nation For Itself (2012) mengemukakan, sejarah aliansi negara-negara di dunia yang berawal dari rasa unsecure atas ancaman invasi perang menjadikan organisasi dunia sebagai kebutuhan untuk ”berlindung”. Terbentuklah dua pilar besar berbagai poros organisasi dunia bertema kerja sama keamanan dan ekonomi.
Setiap negara yang bergabung di dalamnya memiliki sekurangnya dua motif kepentingan: perlindungan dari ancaman perang dan kemakmuran masyarakatnya. Dalam perjalanannya, setiap negara berkompetisi untuk menjadi negara terkuat. Pada akhirnya, tiap negara hanya memikirkan kepentingan nasional sendiri.
Sejarah pembentukan organisasi antarnegara dunia yang berawal di abad ke-20 jelang PD I (1914-1918), mencapai puncaknya setelah PD II (1939-1945), dengan terbentuknya PBB, NATO, Uni Eropa, OECD, G20, pada akhirnya akan kembali ke kehendak setiap negara yang merasa sudah cukup kuat atau merasa tak mendapatkan manfaat lagi.
Metamorfosis G20 akan kembali pada G7 (AS, Kanada, Jerman, Inggris, Italia, Perancis, dan Jepang) sebagai pemrakarsa terbentuknya G20 sekaligus negara-negara terkaya di Eropa-Amerika.
Memperhatikan perbedaan kepentingan politik internasional AS dengan China, India, Brasil, Rusia, Turki, Saudi, serta sulitnya mencapai kesepakatan bersama menata keamanan global dengan berbagai kepentingan ekonomi masing-masing membuat organisasi kerja sama sekadar tempat meredakan ketegangan tanpa solusi jalan yang memberi common benefit yang setara.
Perbedaan pandangan negara-negara Eropa dengan kebijakan AS yang membiarkan kekejaman Israel di Palestina dan dihentikannya bantuan persenjataan AS ke Ukraina yang masih berperang melawan agresi Rusia merupakan tanda-tanda ”keretakan” aliansi G7. Sekalipun AS masih mendominasi perekonomian dunia, masalah perekonomian dalam negeri AS telah membuat AS tak cukup memiliki anggaran untuk terus menjadi ”polisi dunia” seperti sebelum era Covid-19.
Minimnya keterlibatan AS dalam politik domestik kawasan Amerika Latin seperti krisis politik Venezuela dan Bolivia, penarikan pasukan AS dari Afghanistan, penghentian bantuan militer ke Ukraina, minimnya keterlibatan pada konflik Armenia-Azerbaijan, dan hilangnya pengaruh AS terhadap Pemerintah Israel untuk menghormati HAM di Palestina merupakan tanda-tanda kemunduran dominasi AS atas dunia.
Dari 10 negara di dunia yang memiliki risiko ancaman keamanan/perang tertinggi berdasarkan data yang dirilis Security Threats Index 2023 (Ukraina, Afghanistan, Mali, Libya, Somalia, Suriah, Burkina Faso, Myanmar, Filipina, dan Nigeria) hanya Ukraina yang mendapat perhatian signifikan dari AS.
Sekalipun ekonomi AS tak mengalami krisis, 68 persen hasil jajak pendapat Gallup, akhir Desember 2023, berpendapat, ekonomi AS memburuk. Pemerintah AS dituntut fokus pada upaya pemulihan ekonomi domestiknya, di tengah ketidakpastian apakah Biden akan terpilih kembali atau Trump yang akan dipilih rakyat AS untuk periode 2025-2029.
Dengan tren seperti itu, Indonesia perlu terlibat dalam skenario pemulihan keamanan dan ketertiban dunia sebagai landasan kerja sama dan kesejahteraan bersama.
Meningkatnya kemajuan teknologi militer dan ekonomi China yang diperkirakan sejajar, bahkan melampaui AS pada 2050, tak serta-merta menjadikan China dominan. Inggris dan Jerman akan mempertahankan diri sebagai negara kuat berpengaruh di Eropa. Negara-negara anggota UE lain akan lebih visioner dan selektif memilih negara mitra kerja sama yang setara.
AS secara efisien akan terlibat dalam agenda-agenda dunia yang langsung berhubungan dengan prioritas kepentingan nasionalnya dan hubungannya dengan mitra utama kerja sama globalnya, seperti China, Kanada, Jepang, Korsel, Australia, sekutunya di Eropa, Saudi, dan Afrika Selatan. Kepentingan nasional menjadi doktrin kunci terciptanya hubungan antarnegara yang memerlukan landasan aliansi yang saling memberikan keuntungan, perlindungan, dan kenyamanan.
Kepentingan nasional
James A Robinson, dalam bukunya Why Nations Fail? (2013), mengingatkan faktor-faktor yang dapat membuat negara gagal. Juga yang membuat negara berhasil, yaitu jika memiliki pemimpin visioner berintegritas, sistem politik yang demokratis, sistem hukum yang adil, SDM berpengetahuan unggul, SDA memadai, letak geografis strategis, dan hubungan internasional yang efektif.
Periode 2024-2029 bagi pemerintahan Indonesia yang baru adalah the golden moments yang begitu berharga untuk menata ke dalam sekaligus merumuskan kembali pilihan-pilihan hubungan internasionalnya. Indonesia saat ini di posisi ke-17 dari 20 negara dengan PDB terbesar dunia (1,3 triliun dollar AS). AS urutan pertama (24,5 triliun dollar AS), disusul China (17,4 triliun dollar AS).
Indonesia diprediksi Goldman Sachs dan PricewaterhouseCoopers menempati peringkat ke-4 terkaya dunia pada 2050, dengan PDB 6,3 triliun dollar AS, menyusul China (41,9 triliun dollar AS), AS (37,2 triliun dollar AS), dan India 22,2 triliun dollar AS. Indonesia akan mengungguli Jerman, Jepang, dan lainnya.
Dengan tren seperti itu, Indonesia perlu terlibat dalam skenario pemulihan keamanan dan ketertiban dunia sebagai landasan kerja sama dan kesejahteraan bersama. Ini juga common interest semua negara sekaligus salah satu amanat konstitusi kita: melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dengan prinsip ini, kerja sama internasional yang dibangun perlu lebih selektif, memilih mitra-mitra strategis dan jenis-jenis aliansi dunia yang benar-benar selaras dengan nilai-nilai internasionalisme dan kesinambungan kepentingan nasional Indonesia.
Nilai-nilai internasionalisme yang menjadi pedoman universal adalah ketuhanan dan perikemanusiaan. Sementara kepentingan nasional kita adalah kedaulatan, persatuan, kesejahteraan, dan keadilan sosial. Dengan pedoman ini, kita akan melanjutkan kerja sama hanya dengan negara yang cinta damai, bukan negara pemicu perang. Menghormati HAM. Membangun kesetaraan. Demokratis. Negara yang berdasarkan hukum, bukan kekuasaan. Menciptakan perdamaian dan kemakmuran bersama.
Dan, memilih bergabung dengan aliansi dunia yang sesuai dengan cita-cita kebangsaan Indonesia yang bersatu, berdaulat, sejahtera, adil, dan makmur.
Baca juga: Indonesia dalam Pusaran Geopolitik dan Geoekonomi
Sekurangnya Indonesia memiliki lima portofolio basis kekuatan diplomasi politik luar negeri (polugri) dalam memutuskan kebijakan internasional dan negosiasi perannya, yaitu sebagai negara demokrasi terbesar keempat di dunia yang berdaulat. Negara moderat dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Negara pendiri gerakan non-blok pasca-PD II. Negara pendiri sekaligus pemimpin kawasan ASEAN. Negara kepulauan paling strategis letak geografisnya di kawasan Asia Pasifik yang subur, kaya SDA mineral-energi.
Dengan pijakan itu, kebijakan polugri kita harus mampu mempercepat perjuangan Indonesia di forum internasional untuk menjadi negara dengan perekonomian sangat kuat dan tangguh menguasai iptek, sekurangnya di bidang energi, persenjataan, kedokteran, pangan, informasi, dan transportasi. Hanya negara dengan ekonomi sangat kuat dan menguasai teknologi yang mampu menekan negara lain tunduk pada negosiasi diplomasi perdamaian yang ditawarkan.
Lima tahun ke depan, Indonesia hendaknya dapat merevitalisasi peran-peran internasionalnya yang lebih progresif terlibat dalam upaya menghentikan perang dan konflik yang melanda dunia, sebagai upaya menciptakan ketertiban dunia yang damai dan membangun kembali ekonomi dunia yang lebih cerah.
Berbekal lima portofolio basis kekuatan diplomasi itu, kebijakan polugri Indonesia perlu me-review manfaat hubungan internasional dengan negara-negara di dunia yang tak sekadar hubungan kesejarahan, tetapi lebih visioner melihat kepentingan nasional kita sebagaimana semua negara melakukan hal yang sama untuk masa depannya.
Yuddy Chrisnandi,Guru Besar Ilmu Politik-Ekonomi Universitas Nasional; Duta Besar RI di Ukraina 2017-2021