Kedaulatan Rakyat
Kekuasaan negara hanya ”legitimate” secara demokratis jika ia produk kehendak dan pilihan bebas rakyat.
Figur karismatik dan brilian John F Kennedy atau JFK semasa sekolah tergolong murid dengan kemampuan standar, agak pendiam, dan berkondisi fisik labil.
Ambisi keluarga miliunernya, ia jadi insan hebat dan sukses. JFK dimasukkan ke sekolah privat dan asrama elite Choate School in Wallingford, Connecticut. Setiap semester, ia harus mendengarkan sambutan seremonial kepala sekolahnya yang selalu diakhiri dengan pesan: ”Jangan tanyakan apa yang sekolah berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang kamu berikan kepada sekolahmu”.
Dalam pidato perdana sebagai Presiden ke-35 AS, JFK mengadopsi pernyataan itu menjadi: ”Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu”. Ia hendak memobilisasi dan mengintegrasikan kekuatan kolektif warganya menghadapi momok komunisme Uni Soviet dan Kuba.
Reformasi sosial tak disinggungnya. Bagi pemirsa Afro- Amerika yang tengah berjuang melawan diskriminasi dan rasisme, wacananya bagaikan ledekan. Negara tampaknya tak akomodatif dan alpa dalam pergulatan mereka.
Banyak aparat negara dan pemerintahan getol meminjam pernyataan monumental JFK dalam aneka ritual komunikasi politik. Publik disugesti dan dirangsang untuk menyadari jasa, peran, dan kedigdayaan negara. Rakyat yang baik harus menjalankan kewajiban nasionalnya dan berkorban bagi negara.
Setiap warga dan penguasa bukan saja setara di hadapan hukum, melainkan juga harus tunduk di bawah hukum.
Fisikawan Albert Einstein justru berprinsip antonim: ”negara ada untuk rakyat, bukan rakyat untuk negara”. Ia membalikkan persepsi korelasi negara dan warga. Negara diberi peran baru sebagai pengayom hak asasi individu dan mengabdi rakyat, bukan lagi rakyat mengabdi negara.
Narasi JFK dinilai tak demokratis. Hakikat demokrasi dalam jargon Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Negara ada untuk warga, bukan sebaliknya. Negara, pemerintah adalah penyedia layanan bagi rakyat, bukan penguasa atas rakyat. Rakyat semestinya bertanya: apa yang kami peroleh dari negara, untuk apa uang pajak dan utang digunakan, apakah aparat negara sungguh menjalankan tugas sebagai pelayan publik.
Hanya dalam kediktatoran totaliter warga pertama-tama bertanya, bagaimana ia bisa berkontribusi positif bagi kolektif. Negara otoriter memonopoli kehendak umum dan bisa destruktif bagi warga. Negara adalah segalanya dan warga harus loyal terhadapnya.
Thomas Hobbes menggemakan konsepsi sakralisasi negara. Negara itu mahakuasa dan sakral. Rakyat wajib mengabdinya secara total. Kritik dan oposisi tak ditoleransi. Urusan kenegaraan didegradasi jadi privasi penguasa dan kroni. Rakyat dimanipulasi dan diedukasi untuk berpuasa diri dengan tetesan hasil pengelolaan sumber daya nasional (trickle down effect).
Dalam setiap konstitusi demokratis ada aksioma: rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dan seluruh kekuasaan negara berasal dari rakyat. Rakyat secara keseluruhan berada di atas konstitusi.
Suksesi kekuasaan demokratis de jure menamatkan semua praktik kedaulatan dinasti dengan legitimasi human dan supranatural. Kekuasaan negara hanya legitimate secara demokratis jika ia produk kehendak dan pilihan bebas rakyat. Pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif mesti mengekspresikan identitas statusnya sebagai pinjaman. Kepercayaan rakyat tak boleh diselewengkan.
”Imperial presidency”
Karena praksis demokrasi prosedural modern yang begitu fleksibel dan tak sempurna, terbuka kemungkinan munculnya dinasti dan geliat otoriter dari aroma demokratis dan konstitusional.
Adolf Hitler menduduki kursi kanselir Jerman bukan lewat kudeta, melainkan pencapaian mayoritas parlemen. Personifikasi kekuasaan otoriter dewasa ini seperti Viktor Orban (Hongaria), Vladirmir Putin (Rusia), dan Recep Tayyip Erdogan (Turki), justru melewati koridor demokrasi.
Fenomena terbaru ini secara gamblang memperlihatkan bahaya dan tendensi otoriter dalam sistem unifikasi kepala negara dan pemerintahan. Seluruh kapasitas kekuasaan dan akselerasi politik dikonsentrasikan dan disentralisasikan di figur presiden. Posisi presiden sebagai pelaksana fungsi eksekutif seharusnya diimbangi parlemen yang kompeten. Namun, legislatif bisa diperlemah atau digiring jika kalah kualitas atau mayoritasnya dihuni representan yang lupa identitas.
Kekuasaan negara hanya legitimate secara demokratis jika ia produk kehendak dan pilihan bebas rakyat.
Kinerja dan manuver presiden sulit dikontrol dan batas yuridis gampang dikangkangi demi kepentingan dan hasrat sempit. Strategi presiden menuju spirit otoriter diawali dari budi daya dan ekspansi pencitraan. Euforia profil presiden populer dan dekat dengan rakyat bisa digiring tanpa sadar ke arah kultus figur. Ketika kultus figur bertengger, sangat susah sepak terjang presiden dinilai secara proporsional, obyektif, dan kritis.
Fakta ini dipahat sejarawan AS, Arthur M Schlesinger, sebagai imperial presidency. Imperium atau kerajaan dikonstruksi di atas landasan dan panji demokrasi presidensial. Imperium jenis ini lazimnya ditopang oligarki serakah bertameng kepentingan umum.
Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna dan paten. Ia wajib diproteksi, dikoreksi, dan ditransformasi. Di seberang kerapuhan demokrasi, ia masih terbaik dalam meregulasi suksesi tampuk kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Demokrasi hanya berfungsi benar dan sah jika dibingkai penegakan hukum secara konsekuen.
Baca juga: Kejujuran dalam Demokrasi
Setiap warga dan penguasa bukan saja setara di hadapan hukum, melainkan juga harus tunduk di bawah hukum. Saat roda dan pengemban kekuasaan tak lagi menaati jalur demokrasi, rakyat berdaulat haus bangkit berintervensi untuk tegaknya marwah dan esensi demokrasi. Inilah tanda akuntabilitas publik demi konservasi dan kontinuitas demokrasi otentik.
Penyair legendaris Jerman Johann Wolfgang von Goethe menyinyalir: ”Siapa yang tertidur dalam demokrasi, akan terbangun dalam kediktatoran”.
Fidelis Regi Waton, Pengajar Filsafat di KHKT, Jerman