Jakarta, Dilupakan Jangan
Pemerintah pusat tak boleh melupakan jasa besar Jakarta terhadap republik dan tentunya juga kepada masyarakat Betawi.
Ada pantun nasihat yang terkenal soal pertemanan: ”kalau dapat teman baru, teman lama dilupakan jangan”. Dalam konteks pemerintahan, pantun itu bisa kita gubah, ”kalau bikin ibu kota negara baru, IKN lama dilupakan jangan”.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo terlihat sekali terlalu fokus mengurus ibu kota baru, yakni Ibu Kota Nusantara (IKN). Undang-Undang IKN Nomor 3 Tahun 2022 dikebut dengan cepat, dalam bilangan hari saja selesai. Ketika direvisi, karena terburu-buru membuatnya, revisinya pun tak berlarut-larut. Entah berapa puluh kali Presiden menengok pelaksanaan pembangunan IKN di Kalimantan Timur itu.
Sayangnya, perhatian Presiden terhadap ibu kota lama, Kota Jakarta, hampir tak ada meski ia pernah memimpin Jakarta (2012-2014). Bukti paling anyar, pengaturan ibu kota lama yang harus ditetapkan paling lambat dua tahun terhitung dari tanggal diundangkannya UU IKN No 3/2022, yaitu 15 Februari 2022, telah lewat tenggat. Seharusnya selambatnya 15 Februari 2024 Jakarta telah punya regulasi baru.
Bisa kita katakan, fungsi Presiden sebagai policy maker in-chief untuk IKN lama tidak berjalan dengan baik. Padahal, pengaturan baru bagi Jakarta setelah tak lagi menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan diperlukan. Jakarta perlu pedoman (guidance) agar bisa berbenah menjelang terbitnya keputusan presiden yang mendeklarasikan kepindahan ibu kota, estimasinya Agustus 2024. Ibaratnya, ”separuh jiwanya direnggut”, Jakarta mesti menata dirinya kembali.
Kontribusi masyarakat Betawi tak boleh dilupakan dalam menopang kemajuan Jakarta, dengan melepaskan hak mereka atas ratusan kilometer persegi tanah demi kepentingan pembangunan kota bertaraf internasional ini.
Heru Budi Hartono, Penjabat Gubernur DKI Jakarta, sebenarnya wajib proaktif mengawal pembuatan RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Ia tidak boleh bilang tak tahu tentang progres penyusunan ataupun substansi RUU itu. Ia mestinya membela hak demokrasi 11 juta warga Jakarta apabila pengaturan pemilihan gubernur secara langsung (elected) diganti jadi pengangkatan (appointed) oleh Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 RUU DKJ versi DPR.
Kenapa? Karena sesungguhnya RUU DKJ itu suatu local act, yang awal penyusunan materinya dilakukan Pemda DKI Jakarta. Draf awal RUU DKJ versi DKI itu disusun di zaman Gubernur Djarot Saiful Hidayat. Lalu, dilanjutkan Anies Baswedan yang menyampaikannya kepada pemerintah pusat (Kemendagri). Pihak Kemendagri kemudian membahasnya untuk sinkronisasi dengan kementerian/lembaga (K/L).
Belakangan, ketika Heru menjadi penjabat gubernur, Kemendagri memintanya memberi masukan. Bahkan, Pemprov DKI memberikan dukungan untuk Badan Legislasi (Baleg) DPR melakukan studi referensi ke Amerika Serikat pertengahan November 2023.
Melalui proses legislasi di tubuh eksekutif lokal dan nasional yang berbelit seperti itu, pemerintah lalu merelakan Baleg DPR mengadopsinya sebagai RUU prakarsa DPR agar penyusunannya bisa lebih cepat dan sesuai aspirasi rakyat, bukannya aspirasi pejabat.
Jasa Jakarta
Pemerintah pusat tak boleh melupakan jasa besar Jakarta terhadap republik ini dan tentunya juga kepada masyarakat Betawi sebagai orang asli Jakarta (OAJ) yang telah ”mewakafkan” wilayahnya puluhan tahun dengan segala pengorbanan yang tidak ringan.
Jakarta adalah kota tempat Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dideklarasikan Bung Karno dan Bung Hatta, di halaman depan rumah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta Pusat. Sayangnya, bangunan yang sangat bersejarah itu telah dibongkar, diganti dengan bangunan Gedung Pola.
Kita kini hanya bisa melihatnya di foto-foto. Seyogianya, pemerintah tidak hanya mengalokasikan ratusan triliun rupiah untuk membangun IKN, tetapi juga menyisihkan sekian miliar rupiah untuk membangun replika rumah tempat proklamasi dikumandangkan sebagai sarana edukasi politik bagi rakyat.
Jakarta Kota, sejarah bangsa. Di kota inilah pada 20 Mei 1908 kebangkitan nasional dicetuskan Dr Wahidin Soedirohoesodo dkk guna membangun spirit nasionalisme yang merupakan fondasi bagi paham kebangsaan Indonesia. Disusul dengan deklarasi Sumpah Pemuda oleh Muhammad Yamin cs pada 28 Oktober 1928 di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, yang menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Kontribusi masyarakat Betawi tak boleh dilupakan dalam menopang kemajuan Jakarta, dengan melepaskan hak mereka atas ratusan kilometer persegi tanah demi kepentingan pembangunan kota bertaraf internasional ini. Belum lagi budaya, adat istiadat, dan tradisinya yang memperkaya keelokan Ibu Kota.
Jakarta adalah kota tempat Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 dideklarasikan Bung Karno dan Bung Hatta, di halaman depan rumah kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta Pusat.
Karena itu, sudah pada tempatnya Presiden memberikan apresiasi kepada mereka, baik dalam bentuk pembuatan monumen maupun pengaturan khusus terkait pelestarian dan pengembangan budaya kaum Betawi di RUU DKJ.
Jakarta wilayahnya kecil, 7.660 kilometer persegi, dengan rincian: 662 kilometer persegi daratan dan 6.998 kilometer persegi lautan. Di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten dan di sebelah selatan dan timur dengan Provinsi Jawa Barat. Walau kecil, penduduk Jakarta padat sekali. Saat ini, sekitar 11 juta orang menghuni Jakarta. Jakarta adalah provinsi terpadat di Indonesia.
Jakarta adalah pusat perekonomian nasional, menyumbang 17 persen PDB nasional. Produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita Jakarta tertinggi secara nasional, sekitar Rp 300 juta. Lebih dari 16.000 perusahaan bermarkas di Jakarta. Dari 93 kota yang ada di negeri ini, Jakarta satu-satunya yang masuk dalam Global Power City Index (GPCI), seperti New York, Tokyo, dan Sydney, meski masih di papan bawah.
Pemerintahan provinsi ini dipimpin seorang gubernur, dibantu seorang wakil yang dipilih langsung oleh rakyat. Wilayah kabupaten/kotanya bersifat administratif, dipimpin oleh wali kota/bupati yang diangkat gubernur dari ASN.
Birokrasi yang dimiliki untuk melakukan pelayanan publik sekitar 140.000 orang, tersebar di 42 organisasi perangkat daerah. APBD-nya mendekati Rp 90 triliun. Karena keterbatasan regulasi yang mengaturnya, saat ini di bawah UU No 29/2007 yang ketinggalan zaman, Jakarta tak kuasa mengatasi masalah yang menerpa, seperti banjir, macet, perumahan, sampah, dan tata ruang.
Pengaturan Jakarta ke depan
Secara umum, pengaturan Jakarta lewat RUU DKJ yang sedang dibahas pemerintah dengan DPR/DPD sudah lumayan baik. Lebih maju daripada UU No 29/2007.
Pertama, status kekhususan Jakarta tak lagi sebagai ibu kota (the capital), tetapi sebagai pusat perekonomian nasional, kota global, dan kawasan aglomerasi. Keasimetrisan Jakarta itu relatif sudah menjawab dinamika pemerintahan dan pembangunan, baik karena pindahnya ibu kota maupun mimpi atau cita-cita Jakarta ke depan.
Kedua, sistem otonomi daerah Jakarta yang luas wilayahnya kecil diletakkan pada tingkat provinsi (satu level) sehingga integrasi pemerintahan tetap terjaga dan terhindar dari keterbelahan pemerintahan (fragmented local government). Wilayah kabupaten/kotanya tetap bersifat administratif. Wali kota/bupatinya diangkat oleh gubernur dari ASN (tanpa pertimbangan DPRD).
Ketiga, kewenangan yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada Jakarta berlimpah. Ada sekitar 15 urusan pemerintahan yang ditambahkan, seperti bidang pekerjaan umum (PU) dan tata ruang, perhubungan, perumahan, penanaman modal, perindustrian dan perdagangan, lingkungan hidup, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta kebudayaan.
Plus kewenangan di bidang kelembagaan, kepegawaian, keuangan daerah; serta penyerahan kawasan GBK, Monas, dan Kemayoran menjadi milik Jakarta. Dengan penambahan kewenangan itu, kapasitas pemerintahan daerah DKJ dalam pelayanan publik dan percepatan pembangunan akan menguat signifikan.
Keasimetrisan Jakarta itu relatif sudah menjawab dinamika pemerintahan dan pembangunan, baik karena pindahnya ibu kota maupun mimpi atau cita-cita Jakarta ke depan.
Keempat, badan kerja sama pembangunan (BKSP) tiga provinsi (Jakarta, Jabar, Banten) yang selama ini tak efektif diganti formatnya dengan dewan kawasan aglomerasi (DKA) yang akan lebih menjamin koordinasi dan sinkronisasi pembangunan Jakarta dengan daerah sekitar (Jabodetabekjur) seperti telah terbukti ketika menangani Covid-19.
Sinkronisasi itu tak hanya melibatkan tiga provinsi tersebut dan semua kabupaten/kota terkait, tetapi juga K/L yang memiliki kegiatan di kawasan aglomerasi. Bentuknya berupa disusunnya Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi yang memuat program dan kegiatan, seperti transportasi, sampah, lingkungan hidup, penanggulangan banjir, pengelolaan air minum, energi, kependudukan, kesehatan, penataan ruang, dan infrastruktur.
Karena urusannya bersifat lintas provinsi dan lintas K/L, DKA perlu dipimpin oleh pejabat pusat yang powerfull. Agar tak melanggar UUD 1945, sebaiknya RUU DKJ tidak memberikan posisi itu secara atributif kepada wakil presiden, tetapi dimandatkan saja kepada presiden untuk menunjuk pejabat yang tepat untuk memimpinnya.
Kelima, kritik tersisa terkait RUU DKJ yang menimbulkan polemik dan kegaduhan publik tinggal soal cara mengisi jabatan gubernur dan wakilnya.
Dalam teori politik lokal, ada dua model untuk mengisinya, lewat pemilihan (elected) dan pengangkatan (appointed). Pemilihan dibagi dua, secara tak langsung oleh DPRD (strong council) dan langsung oleh rakyat (strong governor). Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. RUU DKJ versi DPR menghendaki model pengangkatan, dan pemerintah menginginkan model pemilihan.
Baca juga: DPR, DPD dan KPK, Termasuk di Antara Lembaga yang Boleh Tidak Pindah Dulu ke IKN
Model pengangkatan di suatu daerah otonom banyak kelemahannya, seperti mencederai demokrasi, tidak ada legitimasi, tak memiliki visi-misi, seleksi rentan nepotisme, relasi dengan DPRD susah terjalin, orientasi kepada pusat kuat, dan rentan gugatan. Keuntungannya, tak ada biaya yang dikeluarkan dan pengisian dapat dilakukan dengan cepat.
Model pemilihan sebaliknya banyak kelebihannya, yaitu demokrasi diberi tempat, legitimasi kuat, visi-misi dari aspirasi rakyat, seleksi kompetitif, relasi dengan DPRD mudah, orientasi kepada rakyat kuat, dan terhindar dari judicial review. Kelemahannya, butuh biaya, memakan waktu, dan berpotensi konflik.
Maka, model pengisian gubernur dan wakil yang diusulkan pemerintah jauh lebih banyak kelebihan ketimbang yang ditawarkan DPR. Bahkan, menurut saya, desain Jakarta ke depan sebagai kota global menuntut stabilitas pemerintahan yang kuat. Itu hanya bisa didapat jika gubernur dipilih rakyat banyak, bukan diangkat oleh seorang pejabat.
Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014), Pendiri i-OTDA